Mohon tunggu...
Frankincense
Frankincense Mohon Tunggu... Administrasi - flame of intuition

bukan pujangga yang pandai merangkai kata, hanya ingin menumpahkan inspirasi dengan literasi menguntai pena. Kata dapat memburu-buru kita untuk menyampaikan perasaan dan sensasi yang sebenarnya belum kita rasakan. Tetapi, kata juga bisa menggerakkan kita. Terkadang, kita tidak mengakui kebenaran sebelum mengucapkannya keras-keras. Salam hangat Kompasianers... Blog: franshare.blogspot.com Web: frame.simplesite.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

EnTe| 1 Oktober Hari Kesaktian Apa dan Siapa?

1 Oktober 2018   11:59 Diperbarui: 1 Oktober 2018   12:24 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
franshare.blogspot.com

Tepat hari ini 1 Oktober, Indonesia dicanangkan memperingati peristiwa tewasnya para anggota ABRI yang menjadi korban Gerakan 30 September (G 30 S) atau juga dikenal sebagai GESTOK (Gerakan Satu Oktober) sebagai hari Kesaktian Pancasila. Tapi jika menilik kembali jejak rekam Indonesia sejak saat itu hingga saat ini sebagai era Reformasi, apakah benar sesuai namanya bahwa kesaktian itu untuk Pancasila?

Mungkin dengan adanya penataran P4 terkait Kepancasilaan bisa menjadi program yang baik pada masanya mempererat pendidikan dan pengamalan ideologi Pancasila di antara para generasi penerus bangsa. Namun pada kenyataannya tidak lebih Pancasila itu sendiri hanya menjadi tameng Orde Baru dalam menyembunyikan jalur-jalur simpang mereka. Jika kita melihat sudung pandang Ketuhanan yang maha esa pada peredaman gerakan ormas PKI yang dikatakan tidak beragama ini dapat mengancam keberlangsung sila pertama itu, mungkin sekilas kebenaran itu memang harus menjadi prioritas mutlak. Akan tetapi, apakah tidak lebih ironis, jika dibalik P4 itu sendiri justru Orde Baru seperti mengganggap agama tak lebih dari permainan politik yang ampuh untuk membangun pengaruh kuat seperti pengadaan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dengan PKI dan Konghucu sebagai objek pelampiasan kekuasaan dari berbagai situasi dan kondisi. Tak lebih seperti mengulang pergolakan akhir zaman Majapahit yang semakin kental dengan pergesekan antar keyakinan menuju puncak kejayaan, dengan sebelumnya pergolakan Perang Salib di Barat Nusantara pun menjadi semakin satir membawa-bawa nilai keagamaan dalam kejayaan politik feodal untuk memperbesar pengaruh kekuataan dan kekuasaan segelintir bangsawan atau konglomerat di masa kini. Pada akhirnya, dunia politik bukan lagi paten untuk agama menjadi dalih dan tolak ukur nota kesepahaman birokrasi dan sipil dengan seberapa besar peran demokrasi itu sendiri?

Demokrasi pada dasarnya adalah people rule. Dalam sistem politik yang demokratis, warga mempunyai hak, kesempatan, dan suara yang sama dalam mengatur pemerintahan di dunia publik.1 Secara bahasa, istilah Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang artinya rakyat, dan kratein yang artinya pemerintah. Dengan demikian, demokrasi berarti kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat.2 

Kekuasaan itu sendiri tidak hanya berkaitan dengan bidang politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi dan sosial. Karena itu, pengertian demokrasi mencakup tidak hanya demokrasi politik semata, tetapi juga demokrasi ekonomi dan sosial karena pada akhirnya pun berbagai permasalahan mengerucut pada kedua hal tersebut. Pengertian ini agak berbeda dengan kecenderungan pengertian di negara-negara Barat. Di Barat, demokrasi hanya dipahami dalam konteks politik, sedangkan dalam bidang ekonomi dikaitkan dengan istilah kapitalisme, bukan demokrasi. Maka hal itu setidaknya seperti saat Kedutaan Besar Amerika Serikat dengan pendekatan politis mempublikasikan dokumen kenegaraan di Indonesia antara tahun 1963-1968 karena tergelitik oleh tekanan warganya pada  dua film tentang G 30 S  (Jagal dan Senyap) yang viral di sana juga besutan warga Amerika Serikat sendiri dan setidak sudah sesuai dengan aturan main hukum untuk pertimbangan publikasi dokumen rahasia setelah jangka 25 tahun. Sedangan secara ekonomi bisa seperti yang kita amati dari awal PT. Freeport atau pergerakan lainnya berkibar di Indonesia, di manakah tempat untuk demokrasi itu? Karena yang ada tempat untuk kapitalisme itu sendiri bukan?

Dengan ini, setidaknya kita kembali pada saat Soekarno mengumandangkan NASAKOM dan tidak membubarkan PKI yang dianggap membahayakan negara Pancasila itu sendiri karena tindakan anarkis PKI di masa lalu. Soekarno di sini pun sedang bertaruh pada kesadaran PKI atau aliran komunis di Indonesia  saat itu untuk tidak seperti komunis lain di belahan dunia lainnya yang cenderung ditaktor. Karena setelah program nasionalisasi hingga gerakan non-blok yang di sasarkan Soekarno pada PKI setidaknya adalah sebagai fondasi untuk sistem kooperatif seperti yang telah dirintis oleh Raden Bei Aria Wiryaatmadja saat mendirikan De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden atau yang sekarang kenal sebagai Bank Rakyat Indonesia (BRI) serta seperti Mohammad Hatta memberdayakan koperasi dan hingga dijuluki sebagai Bapak Koperasi Indonesia walau ia pun bertengkar dengan Soekarno karena unsur komunisme dalam kabinet. Dengan massa ormas PKI ini adalah sebagian besar buruh dan tani, maka slogan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" menjadikan Soekarno berusaha mencairkan suasana keruh saat itu dengan NASAKOM untuk mempersatukan kembali berbagai kalangan yang semakin memanas oleh konfrontasi berbagai situasi dan kondisi di dalam dan luar negeri pada saat itu. Setelah semua bisa disatukan dan terjalin dengan baik sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia menuju demokrasi, setidaknya mungkin Soekarno pun akan menyusul Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan setelah pemilu daripada menjadi Presiden Seumur Hidup mengingat kesehatannya yang semakin kronis saat itu.

Dengan sistem ekonomi koperasi itu, setidaknya usaha Soekarno mengamalkan dan mengamankan sekaligus 5 sila dari Pancasila itu. Sistem koperasi yang terbuka dan transparatif serta pluralitas peran serta anggotanya untuk mengurangi sifat ketertutupan dan dominasi kapitalis yang mengundang korupsi, kolusi, dan nepotisme dan berbagai guncangan keimanan ini sebagai bagian dari Ketuhanan yang Maha Esa. Lalu bagaimana kebenaran akan pembataian yang saling berkelindaan dari peristiwa G 30 S hingga berbagai pelanggaran HAM pada Orde Baru hingga saat ini, siapakah yang sakti atas semua hal itu?

Oligarki justru semakin hidup dan meletup, maka NASAKOM pada saat itu dimaksudkan untuk merangkul tiga kaum yang berpengaruh besar pada saat itu Nasionalis, Agamis, dan Komunis menjadi basis ideologi masyarakat dalam berorganisasi untuk menjalin kemanusiaan yang adil dan beradab di mana pada sistem koperasi memiliki azas kekeluargaan. Namun apa yang tidak ada dalam NASAKOM akhirnya tetap lebih besar dan kuat pengaruhnya itu menjadi gelombang balik tsunami hingga kini, yaitu kapitalis. Manakah akhirnya yang lebih berbahaya, komunisme sesungguhnya dengan azas kekeluargaannya yang kooperatif atau kapitalis sesungguhnya dengan azas kartel yang liberal untuk mematenkan segala sesuatunya?

Jika dalam kajian Bahasa Indonesia umumnya "Paten" adalah (surat) perniagaan atau izin dari pemerintah, yang menyatakan, bahwa orang atau perusahaan boleh membuat barang pendapatannya sendiri (orang atau perusahaan lain tidak boleh membuatnya)3  yang pada intinya adalah suatu ketetapan untuk suatu hak cipta atau karya pada suatu kepemilikan. Sedangkan jika kita alihkan secara khusus pada istilah Bahasa Jawa, "Paten" yang berarti bunuh. Nah, hingga saat ini dua artikulasi kata ini sangat ironis kesaktiannya saling berkejar-kejaran melengkapi berbagai daya dan upaya seperti peristiwa G 30 S tersebut dan terus berlanjut menuju penumpasan terduga PKI, kericuhan gono-gini pergerakan kapitalis dan birokrasi Orde Baru, MATIUS (Mati Misterius) dan PETRUS (Penembakan Misterius) serta berbagai hal yang melanda aktivis serta masyarakat, belum lagi pembungkaman pers dan jual-beli hukum dan peraturan. Sepertinya persatuan Indonesia yang disaktikan itu adalah "Paten" yang bagai pinang dibelah dua, serupa tapi tak sama... begitu pula Liberalis dan Kapitalis. Maka kesepahaman yang menyatukan Indonesia dalam komunisme sesungguhnya yaitu azas kekeluargaan dalam musyawarah menuju demokrasi yang utuh untuk berbagai bidang, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Karena jika mengikuti Liberalis barat, dalam perekonomian yang ada hanyalah kapitalisme bukan?

"Kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada kemerdekaan yang kalian ciptakan. Aku merasa bahwa kemerdekaan itu tidak kalian rancang untuk kemaslahatan bersama. Kemerdekaan kalian diatur oleh segelintir manusia, tidak menciptakan revolusi besar. Hari ini aku datang kepadamu, wahai Soekarno sahabatku... Harus aku katakan bahwa kita belum merdeka, karena merdeka haruslah seratus persen. Hari ini aku masih melihat bahwa kemerdekaan hanyalah milik kaum elit, yang mendadak bahagia menjadi borjouis, sukacita menjadi ambtenaar... kemerdekaan hanyalah milik kalian, bukan milik rakyat. Kita mengalami perjalanan yang salah tentang arti merdeka, dan apabila kalian tidak segera memperbaikinya maka sampai kapan pun bangsa ini tidak akan pernah merdeka! Hanya para pemimpinnya yang akan mengalami kemerdekaan, karena hanya mereka adil makmur itu dirasakan. Dengarlah perlawananku ini...karena apabila kalian tetap bersikap seperti ini, maka inilah hari terakhir aku datang sebagai seorang sahabat dan saudara. Esok, adalah hari di mana aku akan menjelma menjadi musuh, karena aku akan tetap berjuang untuk merdeka seratus persen..."4 Tan Malaka berkata lantang pada pertemuan suatu malam (24 Januari 1946) yang dihadiri para tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, dan K.H Agus Salim.

Meski hadir tanpa diundang, Tan Malaka yang beraliran Komunis dari Partai Murba itu lebih bermaksud memperingatkan akan azas Pancasila itu sendiri daripada mengancam mereka. Terutama pada sila ke-4, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Di mana pada kata-kata Tan Malaka menekan pada kemerdekaan yang diatur oleh segelintir orang. Maka selain pengaruh dari luar yaitu antek-antek kompeni juga adalah pengaruh antar golongan kepentingan masih kuat, sehingga pemberontakan untuk menentukan nasib pun mengalir di setiap kesempatan politik devide et empera berbagai pihak berkepentingan kembali membumi di Nusantara. Peringatan Tan Malaka pun terbukti seperti pemberontakan PKI, DI/TII,  Andi Aziz, G 30 S, GAM, hingga OPM. Belum lagi 'parade tutup mulut' rezim Orde Baru yang membayangi kehidupan masyarakat hingga saat ini.

Dengan arah politik antar golongan macam itu pun tak lebih menggiurkan kapitalis sebagai jaminan beberapa kalangan berkepentingan menindaki Soekarno pada program Nasionalisasi yang mengancam keberlangsungan mereka seolah Soekarno akan seperti Joseph Stanlin yang akan merampas hak-hak mereka dengan dalih kepemilikan negara. Soekarno pun tegas akan hal itu pun bukan tanpa alasan, dengan kita renungkan pasal 33 UUD 1945 berikut:

  • Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan.
  • Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
  • Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dengan ini pulalah Soekarno masih ngotot mempertahankan partai-partai komunis, sebab jika kita samakan persepsi itikad kepemilikan bersama komunis yang sesungguhnya salah satunya adalah pada pasal ini. Komunis muncul untuk mendekatkan kesenjangan yang selama ini diciptakan oleh sistem feodal yang kini menjelma menjadi sistem kapitalis pada pasal ke-5 dengan perekonomian kooperatif atas dasar asas kekeluargaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menuju demokrasi secara keseluruhan (ekonomi, sosial, dan politik). Maka sisi positif komunis meniadakan agama dalam visi-misi mereka adalah karena agama diperuntukan bagi keimanan rohani bukan untuk keambisian duniawi. Nah sekarang ini, apa dan siapakah yang lebih sakti untuk berpengaruh pada keberlangsungan hidup masyarakat?

Daftar Pustaka:

1 St. Sularto (ed.), Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi (Jakarta: Buku Kompas, 2001) hlm. 113.

2 Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan, Membangun Warga Negara yang Demokratis; untuk kelas VIII Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008), hlm. 109.

3 W.J.S. Poerwadarminta (diolah kembali oleh: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), hlm. 717.

4 Tan Malaka, Muslihat, Politik, & Rencana Ekonomi Berjuang (Yogyakarta: Narasi, Cetakan kedua 2016), hlm. v-vi.

Frankincense (Purwokerto, 1 Oktober 2018)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun