Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

13 Tahun Kompasiana: Voice dari Seorang Anak Peladang

30 Oktober 2021   16:54 Diperbarui: 30 Oktober 2021   17:01 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang bisa saya sharingkan bertepatan dengan Kompasiana yang menginjak usia yang ke-13? 

Saya hampir tidak mampu mengurai jawaban atas pertanyaan tersebut. Sebab bila orang hendak berbagi pengalaman itu mengandaikan orang tersebut sudah banyak makan asam garam kehidupan. Atau bila mau ditempatkan dalam konteks berkompasiana, orang tersebut sudah memperoleh pencapaian yang fantastis. Salah satunya dapat dilihat dari jumlah artikel yang sudah pernah ditulis. 

Bagaimana dengan saya? Pencapaian saya masih jauh dari memuaskan. Sudah satu tahun lebih bergabung di Kompasiana, artikel yang sudah pernah saya tulis masih sangat minim. Jangan tanya soal K-Rewards. Sampai detik ini saya belum pernah merasakan seperti apa sensasinya mendapat K-Rewards. 

Sesuatu yang wajar dan masuk akal. Dan rasanya tidak perlu saya ratapi. Sebab, sedari awal bergabung di Kompasiana saya memiliki tujuan utama, yakni memperkenalkan suku Dayak dengan segala kekayaan tradisi dan budayanya kepada masyarakat luas. Oleh karena itulah, tulisan-tulisan saya lebih banyak berkisar tentang kebudayaan suku Dayak Desa dan tema-tema lain sekitar dunia perladangan (kearifan berladang).

Meski lebih banyak memokuskan diri pada kedua tema tersebut, saya akui kalau ide-ide untuk menulis tidak selalu mengalir dengan lancar. Di samping tentu saja ada kegiatan lain yang menyita perhatian. Bagi saya, menulis tentang kebudayaan daerah, meski kebudayaan itu sendiri sudah menjadi bagian dari hidup saya, tidak bisa sesuka hati. 

Saya tidak bisa menuliskannya hanya berdasarkan pengamatan dan penilaian saya. Tema apa pun yang hendak saya kaji harus saya tanyakan terlebih dahulu kepada para tokoh adat dan orang-orang tua agar penafsiran dan pemahaman yang dihasilkan bisa sungguh memadai. Bukan sebuah penafsiran dan pemahaman sepihak. 

Rendahnya produktivitas dalam menulis saya pandang sebagai sebuah konsekuensi dari keputusan bila memusatkan diri pada tema-tema spesifik (baca: kebudayaan lokal).  Saya selalu memandang hal tersebut bukan sebagai sebuah kegagalan, melainkan sebagai bagian dari proses. Atau dalam bahasa Michel Foucault sebagai sebuah seni menjalani hidup (estetika eksistensi).

Juga saya lihat sebagai bentuk pengakuan bahwa dengan kemampuan otak saya yang terbatas, tidak semua hal dapat saya ketahui.

Beberapa orang mungkin akan menyarankan agar keterbatasan itu mestinya diatasi dan dilampaui. Sebuah saran yang baik tentunya. Akan tetapi, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara. Demikian ditulis dalam Kitab Pengkhotbah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun