Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memikirkan Kembali Ritual Tolak Bala Suku Dayak

1 September 2021   05:39 Diperbarui: 2 September 2021   02:45 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masyarakat Dayak sedang melaksanakan ritual adat tolak bala. Sumber: pontianak.tribunnews.com

Kenyataan pahit itu sudah cukup menjadi alasan bagi Gereja untuk hadir di tengah umat, turut merasakan dan menanggung beban derita mereka. Karena itu, bila Gereja hadir dan melibatkan diri dalam ritual tolak bala, semata-mata bukan untuk menunjukkan rasa hormat terhadap budaya lokal. 

Kehadirannya adalah untuk memberi peneguhan dan penghiburan. Juga untuk membangkitkan semangat dalam diri umat agar terus melanjutkan hidup dengan penuh iman dan harapan.

Gereja mesti hadir karena sebagaimana ditandaskan dalam dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes (Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini), "KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga" (art. 1).

***

Lalu terhadap peristiwa pertama, bagaimana kita mesti menyikapinya?

Kita patut berterima kasih kepada para leluhur yang telah mewariskan kearifan lokal dalam bentuk ritual adat tolak bala kepada kita. Ada banyak sekali pengajaran yang dapat kita petik dari ritual adat ini bagi kehidupan pribadi maupun bersama.

Saya sendiri melihat bahwa dengan menciptakan ritual adat tolak bala, nenek moyang kita ingin mengingatkan bahwa bencana dan penyakit (penderitaan) akan selalu menjadi bagian dari peziarahan hidup kita sebagai mensia (manusia).

Selain itu, nenek moyang kita ingin mengajarkan agar kita tidak menyerah pasrah begitu saja terhadap segala penyakit dan penderitaan. Manusia boleh berupaya, namun selebihnya kita serahkan dalam tangan Tuhan (Petara, Jubata, Duata, Penompa, Duataq, Duato, Tanangaan, Ranying Hatalla Langit). Itulah kiranya pengajaran yang hendak disampaikan kepada kita.

Dan bahwa upaya tersebut tidak dilakukan seorang diri, tapi melibatkan semua anggota komunitas, juga mau mengajarkan kepada kita betapa pentingnya gotong royong dan kebersamaan dalam menghadapi dan mengatasi setiap kesulitan dan tantangan hidup.

Salah seorang sahabat, yang juga turut menuliskan komentar pada status yang saya unggah di akun facebbok itu, mengatakan bahwa dalam suku Iban ritual tolak bala juga disebut dengan ngampun. Yang artinya sudah jelas, yakni manusia memohon ampun kepada Yang Kuasa atas segala dosa dan kesalahan yang telah mereka perbuat.

Dari pengajaran-pengajaran di atas memang sudah tak terbantahkan lagi bila ritual tolak bala kita kategorikan sebagai sebuah kearifan lokal. Mengapa? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun