Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Tentang Hidup dan Makan: Sebuah Perspektif Eksistensialisme dan Fenomenologi

23 Juli 2020   18:09 Diperbarui: 24 Juli 2020   12:08 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makanan sehat (Sumber: shironosov via lifestyle.kompas.com)

Di mata mereka, ungkapan semacam itu hanya sebuah retorika indah namun tanpa makna. Sebab, bagaimana mungkin berkata dengan begitu indah kepada mereka, sementara sebutir nasi pun tak ada di hadapan mereka?

Apakah kedua paham tersebut merupakan kritik terhadap kaum idealis? Boleh dikatakan iya. Kalau begitu, apa yang keliru dari paham idealisme dalam memaknai realitas? Kritik Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis asal Denmark, terhadap Hegel bisa menjadi contohnya.

Di mata Kierkegaard, filsafat Hegel yang hendak membangun sebuah sistem yang komprehensif, mampu memahami segala-galanya, merupakan sebuah proyek yang ambisius dan tak masuk akal. 

Menurut Kierkegaard, dengan pemikirannya itu, Hegel praktis menghilangkan daya sengat perasaan-perasaan eksistensial manusia, misalnya kecemasan, kemarahan, penderitaan dan keputusasaan.

Berfilsafat dengan cara Hegel, bagi Kierkegaard, bagaikan naik ke puncak gunung dan memandang ke bawah. Dari puncak gunung orang dapat melihat tatanan atau sistem pengaturan wilayah tersebut. 

Semuanya kelihatan indah, rapi dan teratur. Yang tidak kelihatan ialah apa yang terjadi di bawah atap rumah dan apa yang bergolak dalam hati penghuni rumah itu: anak-anak yang mengalami kekerasan, suami-istri yang sedang bertengkar, mereka yang berjuang untuk sembuh dari penyakit, para karyawan yang kehilangan pekerjaan dan tidak tahu bagaimana harus menghidupi keluarganya, seorang pemuda/pemudi yang bersedih karena diputus oleh pacarnya, dan sebagainya.

Jadi, sekali lagi, apakah hidup untuk makan atau makan untuk hidup? Saya sendiri tidak akan memilih prinsip mana yang indah dan bagus untuk menjalani kehidupan. Saya lebih senang menempatkan keduanya tidak saling bertentangan, tapi berjalan beriringan. 

Jadi, bukan lagi apakah hidup itu untuk makan atau makan untuk hidup, melainkan hidup untuk makan dan makan untuk hidup. Untuk hendak mengatakan bahwa konteks anak manusia dalam bergelut dan berjuang untuk bertahan hidup menjadi penting dalam memahami realitas hidup sehari-hari.

Namun, terhadap mereka yang haus akan harta, mereka yang tega mengebiri bantuan untuk rakyat kecil, para koruptor, kita tidak perlu berdebat apakah kita seorang eksistensialis, fenomenolog atau kaum idealis. 

Saya rasa kita akan sepakat kalau mereka-mereka itu adalah orang yang hidupnya hanya memikirkan urusan perut sendiri. Orang-orang yang hidup hanya untuk memakan jatah milik orang lain.

Sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun