Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kehadiran Orang Lain Itu Menguatkan

8 Juli 2020   16:05 Diperbarui: 8 Juli 2020   16:09 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebersamaan....

Bagian penting inilah yang seolah digoyahkan, untuk tidak hendak mengatakan diruntuhkan, oleh pandemi COVID-19 ini. Dalam hidup bersama, kebersamaan merupakan fondasi yang sangat esensial dalam hidup sehari-hari. 

Tiadanya atau hilangnya kebersamaan tentu saja memunculkan kekhawatiran. Sebuah komunitas manusia menjadi khawatir karena tiadanya kebersamaan dapat menjadi awal lahirnya sebuah kehancuran.

Ketika pemerintah memutuskan untuk menghentikan sementara segala bentuk kegiatan keagamaan, sebagai salah satu bentuk mencegah penyebaran COVID-19, kepada seorang rekan pastor saya mengirim pesan lewat WhatsApp, bertanya bagaimana perasaannya merayakan misa hari Minggu seorang diri tanpa dihadiri oleh umat. 

Dia membalas dengan singkat, "Sedih rasanya." Sebagai sesama rekan pastor saya sungguh memahami kesedihannya. Mungkin inilah pertama kali dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang pastor merayakan misa hari Minggu seorang diri. Karena pandemi ini sendiri belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, kesedihan rekan saya tersebut akan masih terus berlanjut.

Menatap bangku-bangku di dalam gereja yang kosong melompong mungkin bukan alasan utama mengapa rekan saya menjadi sedih. Dia menjadi begitu sedih karena keadaan tersebut menyentuh langsung pada bagian terdalam dari jati dirinya sebagai seorang pastor.

Yakni bahwa tanpa kehadiran umat, hidupnya sebagai seorang pastor tak akan bermakna. Kehadiran umat membantu para pastor untuk menghayati hakikat panggilan mereka seperti diajarkan oleh Konsili Vatikan II dalam Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam (Presbyterorum Ordinis) art. 2: "Maka, bila para imam meluangkan waktu bagi doa dan sembah sujud, atau mewartakan sabda atau mempersembahkan kurban Ekaristi dan menerimakan sakramen-sakramen lainnya, atau menjalankan pelayanan-pelayanan lain bagi sesama, mereka ikut menambah kemuliaan Allah dan membantu sesama berkembang dalam kehidupan Ilahi."

Peran penting umat bagi hidup seorang pastor tidak hanya terletak pada partisipasi mereka dalam perayaan-perayaan liturgi, tapi juga dalam keseharian hidupnya.

Dalam perjumpaan dan pergaulan dengan umat itulah terpancar sebuah kebenaran bahwa hidup ini menjadi bermakna untuk dijalani bila satu sama lain mau menerima kelebihan sekaligus kekurangan masing-masing. 

Saya teringat pernah suatu kali sedang berjalan di pasar membeli keperluan-keperluan pribadi. Saat sedang berkeliling, rupanya ada seorang umat yang melihat saya. 

Dia lalu menghampiri saya. Dan kami pun bercerita banyak hal sambil menikmati kopi. Sebuah perjumpaan yang sederhana, namun memberi makna yang mendalam akan apa artinya "diterima".

Pastornya sedih, begitu juga dengan umatnya. Umat memang bisa mengikuti perayaan Ekaristi atau Misa secara online di rumah. Namun, secanggih-canggihnya teknologi tidak akan pernah mampu memuaskan kerinduan terdalam dari umat, yakni menyambut komuni kudus. 

Bagi umat Katolik, Ekaristi menjadi "jantung" dari iman Katolik. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa Ekaristi adalah "sumber dan puncak seluruh kehidupan Kristiani" (KGK 1324) dan "hakikat dan rangkuman iman kita" (KGK 1327).

Pandemi COVID-19 ini tidak hanya menggoyahkan kebersamaan dalam lingkup keagamaan, tapi juga kebersamaan dalam hidup sosial kemasyarakatan. Ketika terjadi bencana, saat ada sesama mengalami kesusahan, penderitaan dan kemalangan, sejatinya kita akan menunjukkan empati dan solidaritas. 

Akan tetapi, dengan mengharuskan kita untuk menjaga jarak, bekerja dari rumah dan protokol-protokol lainnya, pandemi COVID-19 ini seakan membuat kehidupan bersama menjadi absurd. 

Pandemi ini seakan menutup jalan bagi kita untuk berbela rasa secara nyata dengan sesama yang menderita. Namun, sebagai makhluk yang dianugerahi akal budi oleh Sang Pencipta, kita tak akan pernah kehabisan akal untuk menunjukkan empati dan solidaritas kepada sesama yang sedang berada dalam kesulitan.

Terbatasnya ruang gerak kita untuk berbela rasa dengan sesama bukan berarti melunturkan rasa kebersamaan dalam diri kita. Gotong royong, solidaritas tanpa membeda-bedakan suku, ras dan agama adalah jati diri bangsa kita. 

Dengan semangat inilah bangsa kita terbukti bisa melewati berbagai rintangan yang menghadang. "Dalam negara-negara demokrasi, pengetahuan tentang bagaimana untuk bersatu merupakan ibu dari segala pengetahuan", begitu kata Alexis de Tocqueville.

Bagi bangsa kita, bagaimana cara untuk bersatu mungkin bukan lagi topik yang harus dipelajari sehingga itu menjadi sebuah pengetahuan. Semboyan Bhinekka Tunggal Ika yang menjadi semangat hidup bersama sudah menjadi sebuah cara hidup (way of life), bukan lagi sekadar pengetahuan. 

Melalui semboyan tersebut kita diingatkan untuk memiliki kepedulian serta rasa memiliki terhadap satu sama lain. Adanya rasa memiliki ini memanggil masing-masing kita untuk bertanggung jawab dalam menjaga dan melindungi satu sama lain.

Semoga wabah virus corona ini cepat berakhir agar kita bisa kembali ke kehidupan yang normal. Sebuah kehidupan di mana kita bisa saling bersalaman, berpelukan, saling menyapa bertanya kabar berita, karena di situlah kita menemukan kekuatan untuk menjalani hidup.

GN, Polandia, 8 Juli 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun