Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masih tentang Kearifan Berlandang Suku Dayak

6 Juli 2020   22:22 Diperbarui: 6 Juli 2020   22:22 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga sedang menanam padi (nugal) di ladang.

Dialah adalah ciptaan yang paling mulia dan sempurna. Di dalam dirinya ada percikan ilahi. Mereka menyebut percikan ilahi itu dengan semengat (jiwa). Adanya semengat ini memampukan manusia menjalin relasi dan berkomunikasi dengan Sang Pencipta. 

Semengat ini memampukan manusia untuk membaca tanda-tanda alam yang bisa berupa berkat maupun kutuk. Karena itulah, aktivitas berladang kaya akan ritual-ritual mulai dari proses membuka lahan sampai dengan pesta syukur atas hasil panen (gawai). 

Ritual dilakukan sebagai bentuk permohonan ijin kepada Petara sekaligus memohonkan berkat agar pengerjaan ladang berjalan dengan lancar, serta agar mendapat hasil panen yang berlimpah. 

Ritual-ritual yang mereka tampilkan dalam proses berladang hendak menunjukkan keterbukaan pada Yang Ilahi. Sekaligus juga sebagai rasa hormat, sembah dan puji kepada Sang Petara yang telah menganugerahkan alam sebagai tempat untuk berladang. 

Pada titik ini, kita juga sampai pada pemahaman bahwa manusia itu adalah homo symbolicus (makhluk simbolis). Melalui bahasa-bahasa simbolis, manusia menemukan medium untuk mengalami Yang Transenden.

Kedua, manusia sebagai pribadi bagi sesama. Aktivitas berladang menghadirkan dengan jelas betapa tingginya semangat kerja sama dan gotong royong. Menghidupi semangat ini, warga akan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. 

Hadirnya kerja sama dan gotong royong dalam arti tertentu boleh dikatakan sebagai upaya untuk meredam sikap individualisme warga. Individualisme bertentangan dengan semangat hidup masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan kebersamaan. 

Mereka yang menganut paham ini cenderung akan menutup diri terhadap sesama, bahkan terhadap penderitaan sesamanya. Bagi mereka, menghabiskan waktu demi kepentingan diri mereka sendiri lebih berarti daripada melibatkan diri dalam kegiatan bersama.  

Paham yang dapat merusak tatanan kehidupan bersama sebagai sebuah komunitas sedapat mungkin jangan sampai diberi ruang untuk berkembang subur. Karena itu, sistem kerja gotong royong dapat menjadi salah satu sarana untuk menangkal perkembangan tersebut. Melalui gotong royong warga sesungguhnya di ajak untuk "keluar" dari dirinya. 

Dengan mau membuka diri, keluar dari ruang sempit dirinya, maka seseorang bisa belajar dari orang lain. Dalam dunia perladangan, misalnya, seseorang bisa belajar dari yang lain bagaimana cara yang tepat dalam mengolah ladang. 

Namun, lebih dari berbagi keterampilan, orang diajak untuk memaknai bahwa kepenuhan hidup akan tercapai bila mereka mau memberikan dirinya bagi orang lain dan berkorban bagi sesama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun