Matteo Bruni, direktur kantor pers Takhta Suci, pada Sabtu 31 Desember 2022 mengeluarkan berita tertulis demikian: "Saya dengan sedih menginformasikan kepada Anda bahwa Paus Emeritus, Benediktus XVI, meninggal dunia hari ini pukul 09.34, di Biara Mater Ecclesiae (Bunda Gereja) di Vatikan. Informasi selanjutnya akan menyusul secepatnya."
Berita itu -- yang dikeluarkan dalam beberapa versi bahasa sekaligus -- segera dikutip berbagai media dan tersiar ke berbagai belahan dunia, tak terkecuali juga hingga ke Indonesia. Sebagai anggota dari Gereja Katolik Roma, kesedihan dan rasa kehilangan tidak dapat disembunyikan. Dalam pengharapan secara spontan muncul kalimat "Danke und ruhe in Frieden, Ratzinger!" (Terima kasih dan beristirahatlah dalam damai, Ratzinger!).
Terima kasih karena dia telah menyelesaikan dengan baik pertandingan sebagai seorang beriman, lebih lagi sebagai pemberi teladan iman, sebagai Jembatan (Latin: Pons, Pontis). Kata 'jembatan' bagus untuk diamati dalam kaitan dengan kata 'Paus' (Lat.: Pontifex). Paus itu pengganti Petrus, yang menempati kursi Petrus, untuk menggembalakan domba-domba Tuhan. Ia menyelesaikan perjalanan hidup dengan baik, sekitar sembilan tahun sebagai Paus Emeritus dalam doa dan kesunyian di Biara Mater Ecclesiae.
Terinspirasi oleh Santo Benediktus, Pendiri Benediktin (Pengikut Santo Benediktus) dan pendasar monastisime Barat sekaligus pelindung Eropa, Kardinal Joseph Ratzinger yang terpilih pada konklaf 2005 itu, mengambil nama kepausan sebagai Benediktus. Ia menjadi Benediktus XVI karena ingin juga meneruskan semangat besar dari pendahulu jauhnya -- Giacomo della Chiesa -- yang mengambil semangat Santo Benediktus, yaitu Paus Benediktus XV (menjabat Paus dari tahun 1914-1922). Ratzinger ingin meneladaninya karena ia telah setia memimpin Gereja pada masa sulit Perang Dunia I.
Anak bungsu dari tiga bersaudara itu telah menunjukkan keutamaan hidupnya, secara khusus dalam studi dan refleksi. Doktor teologi dengan predikat summa cum laude dari Fakultas Teologi Universitas Ludwig-Maximilians tahun 1951 itu membanggakan. Disertasinya yang berjudul Volk und Haus Gottes in Augustins Lehre von der Kirche (Umat dan Rumah Allah dalam Ajaran Gereja Agustinus) merupakan yang perdana dengan predikat tersebut di fakultasnya.
Sebagai Profesor muda di Universitas Bonn (1956) dan kemudian mengajar di Universitas Mnster (1963) membuat ia terkenal. Kardinal Josef Richard Frings, uskup agung Cologne, meminta Ratzinger sebagai peritus, teolog yang hadir dalam konsili dan berhak memberikan saran. Ia ikut ambil bagian dalam pembaharuan Gereja lewat Konsili Vatikan II (1962-1965). Sebagai teolog muda, ia bertemu dan berkolaborasi dengan Hans Kng dan Edward Schillebeeckx, para teolog tersohor. Perjumpaan itu membawanya lebih akrab dengan Kng di Universitas Tbingen (1966). Ia memimpin dan mengajar teologi dogmatik di sana. Pada tahun 1969, sang penyuka kucing ini, pindah ke Bavaria dan mengajar di Universitas Regensburg. Bersama dengan Hans Urs von Balthasar, Henri de Lubac, Walter Kasper, dan yang lainnya mereka mendirikan jurnal penelitian teologis dengan nama Communio. Tentu ia sudah banyak belajar dari jurnal Concilium-nya Kng selama masih di sana.
Lewat tulisan-tulisan, Ratzinger menunjukkan kedalaman refleksinya. Secara teologis, karena mendalami Agustinus dan Bonaventura, ia berada di jalur tersebut. Sebagai teolog pembaharu, namun corak konservatif tidak dapat dilepaskan. Ratzinger menulis sejumlah karya teologi penting, termasuk Einfhrung in das Christentum: Vorlesungen ber das Apostolische Glaubensbekenntnis/ Pengantar ke dalam Kekristenan: Ceramah tentang Pengakuan Iman Rasuli (1968) dan Dogma und Verkndigung/ Dogma dan Wahyu (1973).
Meski begitu, Ratzinger termasuk teolog yang progresif dan terbuka, berani, dan jujur dalam berdialog. Dalam pengantar Jesus von Nazareth (Yesus dari Nazareth) ia menulis, "Pastilah saya tidak perlu secara khusus menyatakan bahwa buku sama sekali bukan merupakan ajaran resmi Gereja, melainkan hanya merupakan pencarian pribadi saya dalam menemukan wajah Tuhan. Oleh sebab itu, setiap orang boleh membantah saya." Banyak tanggapan terhadapa karyanya itu datang dari para teolog, umumnya dari Jerman.
Setelah hampir empat tahun memimpin Keuskupan Agung di Bavaria, pada 25 November 1981 Kardinal Ratzinger dipanggil ke Roma oleh Paus Yohanes Paulus II dan diberi tugas sebagai prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman (sekarang namanya Dikasteri untuk Ajaran Iman). Salah satu tugas khusus di bawah kepemimpinan Kardinal Ratzinger adalah mempersiapkan Katekismus Gereja Katolik sebagaimana dikehendaki oleh para bapa sinode. Saat peluncuran karya monumental itu, Paus Yohanes Paulus II, melalui konstitusi apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992), mengatakan bahwa ia pada tahun 1986 memberi tugas kepada suatu komisi yang terdiri dari 12 kardinal dan uskup di bawah pimpinan Kardinal Ratzinger.
Jabatan yang diemban dan karya yang dikerjakannya membuatnya diperhitungkan. Majalah Time (Monday, Apr. 18, 2005) memasukkan Ratzinger dalam daftar satu dari 100 orang yang paling berpengaruh di dunia karena hidup dan gagasan.
Sudah beberapa kali Kardinal Ratzinger mengajukan pensiun dari Kongregasi untuk Ajaran Iman, tetapi ia justru terus dipertahankan. Pada 19 April 2005, Kardinal Ratzinger, terpilih menjadi Paus. Saat itu usianya 78 tahun. Ia menjadi Paus tertua yang baru terpilih sejak Paus Clement XII (1730--1740).