Mohon tunggu...
Fradj Ledjab
Fradj Ledjab Mohon Tunggu... Guru - Peziarah

Coretan Dinding Sang Peziarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memilih Menjadi Orang Benar

10 Juni 2021   20:42 Diperbarui: 10 Juni 2021   21:03 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fradj Ledjab di air terjun Moramo, Konawe Selatan, Sultra (foto: dokpri)

Berbicara tentang cita-cita dan pilihan hidup berarti berbicara pada tataran panggilan dan perutusan. Pilihan dan/atau cita-cita seseorang menjadi apa pun (tentu pilihan positip) sudah semestinya disandarkan pada konsep panggilan dan perutusan. Dengan begitu orang secara sadar memilih jalan kebaikan, jalan kebenaran. Maka berdosalah kita ketika pilihan hidup itu mulai menyimpang dari aras panggilan dan perutusan itu.  Memilih untuk melalui jalan kebenaran berarti memilih untuk berkonfrontasi dengan segala konsekuensi yang menanti di depan. Sudah menjadi rahasia umum di negeri kita ini dan hampir di semua belahan dunia, orang benar yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran sering diasingkan dari kehidupan sosial masyarakat. Orang benar dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi orang-orang 'tidak benar' dan segala keburukannya sehingga orang-orang benar ini harus disingkirkan bila perlu dibumi-hanguskan dari muka bumi. Inilah fenomena kehidupan saat ini. 

Yesus, Sang Guru Sejati, mengalami hal yang sama pada masa hidupnya. Walaupun kebenaran akan Yesus telah dinubuatkan Musa (Kel 32:7-14) dan Yohanes Pembabtis (Mat 3:11-12, Yoh 1:15) namun tidak membuat orang Yahudi percaya dan justru menganggap Yesus sebagai ancaman yang harus disingkirkan. Orang-orang fasik berkata: “Marilah kita menghadang orang yang baik sebab bagi kita ia menjadi gangguan serta menentang pekerjaan kita. Pelanggaran-pelanggaran hukum dituduhkan kepada kita, dan kepada kita dipersalahkannya dosa-dosa terhadap pendidikan kita” (Keb 2:12).

Kedangkalan iman orang-orang Yahudi menjadi titik lemah hidup keimanan mereka. Mereka hanya mengenal Yesus dari perspektif asal usul semata, sedangkan Yesus secara substansial tidak mereka kenal. “Tetapi tentang orang ini kita tahu dari mana asal-Nya, tetapi bilamana Kristus datang, tidak ada seorangpun yang tahu dari mana asal-Nya" (Yoh.7:27). Orang-orang Yahudi lupa bahwa Yesus ada di dunia bukan karena kehendak-Nya sendiri tetapi kehedak Dia (Bapa) yang mengutus-Nya (bdk Yoh.7:28). Yesus dituduh menghujat Allah karena menganggap Allah sebagai Bapa-Nya dan dipersalahkan karena meniadakan hari Sabat. Bagi orang-orang Yahudi, manusia seperti ini (Yesus) harus dihabisi bahkan secara terang-terangan mengungkapkan usaha mereka. “Itu sebabnya orang-orang di Yerusalem berkata: “Bukankah Dia ini yang mereka mau bunuh? (Yoh.7:25).

Apakah Yesus takut menghadapi rencana, usaha, persekusi dari orang-orang Yahudi? Tidak. Yesus tidak takut. Ia tetap pergi ke Yerusalem bahkan berani berkonfrontasi dengan orang-orang Yahudi. Dan lihatlah, Ia berbicara dengan leluasa dan mereka tidak mengatakan apa-apa kepada-Nya. Mungkinkah pemimpin kita benar-benar sudah tahu, bahwa Ia adalah Kristus? (Yoh.7:26).

Keberanian Yesus berlandaskan pada pilihan dan panggilan hidup-Nya yang telah ditetapkan Allah kepada-Nya. Yesus telah siap menghadapi segala konsekuensi pada diri-Nya karena secara sadar memilih untuk menjadi Orang Benar demi keselamatan dunia. Pengenalan akan Allah membutuhkan kedalaman spiritual untuk dapat mengerti misteri keilahian Yesus.  

Seperti orang-orang Yahudi, kita sering melakukan hal yang sama. Primordialisme sepertinya menjadi substansial menyangkut urusan kehidupan sosio politik, sosio budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Asal usul orang lain mulai dari suku, agama, ras, dan jika kita sedikit menyinggung pilihan politik maka hal-hal ini sering menjadi standar penilaian bahkan sebuah senjata pamungkas yang digunakan dalam kekuasaan untuk menghabisi mereka yang tidak berada satu rel dengan tuan kekuasaan. Kita tahu saja, adegan penangkapan hingga penyaliban Yesus adalah sebuah drama politik kong kali kong para penguasa Yahudi terlepas dari perspektif rencana keselamatan yang diinisiasi oleh Allah, Bapa-Nya sendiri.

Sekarang ini, orang lebih suka memilih jalan sunyi, aman, nyaman bahkan rela menjadi penjilat dengan menganeksasi kepentingan yang menguntungkan kelompok sendiri ketimbang kebenaran umum. Kebenaran, prestasi, bukan menjadi standar pengambilan keputusan namun yang menjadi domain adalah apa yang bisa kamu buat untuk 'saya'. Mentalitas seperti ini hanya dimiliki orang pengecut dengan paham nomaden yang sama artinya dengan badan berpindah-pindah tapi otaknya tidak 'berpindah'. Corak hidup yang carut marut demikian menjadi sebuah indikasi akan hidup seseorang atau kelompok (sistem) yang sedang berada dalam ketersesatan. Parahnya lagi adalah ketika tersesat itu pada belantara diri dan kelompoknya sendiri yang sama-sama tidak tahu arah jalan pulang. Jika ini diperbincangkan pada taraf kepemimpinan maka inilah yang disebut ketersesatan kepemimpinan yang sistemik dan masif. Kepemimpinan yang sesat hanya akan membawa bencana kemanusiaan yakni kehancuran, penderitaan bahkan berandil besar pada runtuhnya wujud peradaban (civilization). Koentjaraningrat (dalam Manusia dan Sejarah, Sebuah Tinjauan Filosofis oleh Yulia Siska (2015:62)) wujud peradaban adalah moral, norma dan aturan, etika, dan estetika yang mencakup unity (kesatuan), balance (keselarasan), dan contrast (kebaikan). Hilangnya wujud peradaban sama dengan menghilangkan manusia dari jati diri sebagai makhluk sosial dan bermartabat luhur sebagai makhluk sejarah dalam peradaban itu sendiri. 

Dalam pada itu kepemimpinan termasuk pemimpin dituntut untuk menjalani panggilan untuk merawat peradaban dalam wujud-wujudnya. Yesus, Guru Alam Bebas menunjukkan itu dengan berani berkonfrontasi karena sebuah kebenaran akan nilai keutamaan manusia beserta segala wujudnya yang beradab. 

Pada tahap ini manusia, siapa saja dituntut untuk masuk kepada pertobatan sejati. Pertobatan dibutuhkan agar setiap orang kembali melihat dirinya, sesal, agar bisa menemukan jalan pulang, jalan pembaharuan hidup. Yesus, Sang Guru, berpesan kepada kita; pertama, jadilah orang benar yang diutus untuk mewartakan dan bersaksi tentang kebenaran. Kedua, janganlah mau jadi toa pecah tetapi toa baik dengan suara memecah langit untuk berani berkonfrontasi akan sebuah kebenaran. Jika salah katakan salah, jika benar katakan benar. Dan, ketiga, jangan takut menjadi orang benar tetapi takutlah menjadi orang jahat. Kesimpulan dari ketiga hal itu adalah nilai hidup manusia; moral, norma dan aturan, etika, dan estetika adalah di atas segalanya bukan jabatan atau kekuasaan.

“Wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi. Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya. TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya. Kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu” (Mzm 34:17-20). (Fradj)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun