Mohon tunggu...
Fradj Ledjab
Fradj Ledjab Mohon Tunggu... Guru - Peziarah

Coretan Dinding Sang Peziarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Komdan, Patriot Senyap di Tapal Batas

11 Mei 2021   06:00 Diperbarui: 11 Mei 2021   06:00 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komdan Piet Meran di desa Lewogroma, kabupaten Lembata (foto: facebook.com)

Selalu menarik, ada saja cerita baru jika bersama orang ini. Iya, dia adalah Piet Meran Roma. Beliau mentahbiskan dirinya sebagai Komdan (baca : Komandan) Linmas (Hansip) sehingga ia lebih dikenal/disapa sebagai Komdan; iya Sang Komdan Linmas. Status/jabatan sebagai Komdan Linmas sepertinya akan menjadi jabatan abadi dan tak pernah tergantikan. Berani ganggu, berani tegur, apalagi coba-coba mau ganti jadi Komdan? Maka siap-siaplah menghadapi 'pertumpahan darah!' 'Perang!'Istilah latin bilang, Si Vis Pacem Para Bellum! Tanggung jawab, integritas, kesetiaan, wibawa sebagai Linmas apalagi sebagai Komdan, tetap ia rawat, dipelihara, dan dipegang teguh. Marwah Linmas adalah junjungannya. Tidak ada tawar menawar. Harga mati!

Secara lahiriah, sang komdan memang memiliki keterbatasan namun tidak menjadi alasan untuk diperlakukan sesuka hati. Ia memiliki martabat luhur sebagai manusia yang menjadi hak asasi dan identitas yang melekat padanya. Ia sebagai ciptaan mulia yang memiliki hak untuk dicintai layaknya orang lain sebagai sesama makhluk sosial karena Tuhan tak pernah salah dalam mencipta. Tampilan fisik boleh berbeda itu pasti dan manusiawi, tetapi dibalik itu semua Tuhan sedang berencana dan berkarya untuk menunjukkan keagungan-Nya sebagai Pencipta. Caranya sederhana, tabur benih kebaikan walaupun di tanah bebatuan, urusan tumbuh dan berbuah adalah pekerjaan Sang Empunya kehidupan. Inilah prinsip berpatner dengan Tuhan.

Sang komdan adalah patriot penjaga kampung, siap dan berani pasang badan untuk memastikan kampung dan setiap orang di dalamnya merasa aman melalui cara dan tindakannya yang tepat terukur. Selain sebagai penjaga, sang komdan adalah penghibur kampung, tanpa dia kampung terasa mati. Dari itu maka ia selalu dirindukan. Wajah sang komdan kadang tampil sangar, ganas karena itu tuntutan sebagai komdan. Namun dibalik wajah sangar dan  ganas itu sang komdan berhati mawar, iya berhati mawar tak berduri. 

Ia sangat sayang anak-anak, sahabat bagi anak-anak. Sebagai patriot gagah berani, ia tidak mundur jika disodorkan tuak (minuman khas orang Lembata). Tuak telah menjadi bagian tak terpisahkan, mendarah daging pada hidup sang komdan. Tuak bukan untuk memabukkan tetapi simbol perekat persaudaraan disamping sekedar sebagai pelepas dahaga, pemulih tenaga dari kerasnya kehidupan. Sang komdan tidak suka minum susu (susu putih). Jika ditawari minuman susu ia mual-mual bahkan muntah-muntah. Ia jijik tapi bukan alergi dengan yang namanya susu, padahal itu minuman sehat. Entah kenapa? 

Manakala situasi 'berlebihan' ia bisa mengeluarkan kata-kata keras dan terkesan kotor, maki-maki. Baginya (mungkin?) maki-maki bukan dosa tapi caranya mengendalikan situasi, menenangkan massa. Ia tidak sembarang maki orang karena ia tahu dan sangat paham akan hukum kekekerabatan, mana yang bisa dimaki dan mana yang tidak boleh. 

Yang dia maki itu mereka punya ikan ayam (istri pusaka) dan atau mereka yang dalam kekerabatan masih kakak-adik. Ia suka bermain kartu tapi bukan judi. Dengan kartu ia bisa menemani sang surya yang lelap tertidur hingga plafon langit di timur merah merona pertanda surya terbangun. Sang komdan main kartu sendirian, seorang diri tapi sesungguhnya tak sendirian. Ia ditemani 'pasukan' tak kelihatan. Dia juga pandai urus perkara, ya perkara apa saja. Perkara itu ia simulasikan dengan menggunakan batu kerikil, siapa sebagai pelaku, korban, saksi, dst. Kerikil-kerikil itu bisa ia tinju jika ditanya tidak menjawab atau salah menjawab apalagi berbohong. Rupanya masih kental dengan rezim tapi baginya kebenaran harus dijunjung tinggi.

Komdan Piet Meran bersama bapak Petrus Ata Tukan di lokasi sumber air panas desa Lewogroma dalam kegiatan penghijauan (foto: ina tukan/facebook.com)
Komdan Piet Meran bersama bapak Petrus Ata Tukan di lokasi sumber air panas desa Lewogroma dalam kegiatan penghijauan (foto: ina tukan/facebook.com)
Jika sang komdan lelah ronda merayu malam ia dapat membaringkan diri di mana saja. Baginya bumi adalah balai-balai pembaringan dan langit adalah atapnya. Mungkin ia jarang atau bahkan tak pernah bermimpi karena ia selalu terjaga di saat segala penghuni bumi sedang asyik bercumbu dalam mimpi-mimpi mereka. 

Lagi-lagi, marwah dan tuntutan sebagai seorang komdan dijunjung tinggi. Sang komdan memang lelaki kuat, tak gentar, seorang pemberani. Ia tak pernah takut gelapnya malam.

 Manusia dan segala makhluk baik yang hidup maupun yang sudah mati adalah sahabatnya. Dari kegelapan malam ia mampu melihat cahaya yang dimanfaatkannya dalam menunjang strategi senyap yang dikenal sangat taktis dan teruji. Ia bisa saja muncul dengan tiba-tiba, tanpa bunyi, derap langkah tak terdengar. Ini taktik senyap sangat mematikan lawan. 

Sang Komdan tidak sekolah apalagi mendalami strategi senyap ala militer karena alam adalah guru sejatinya. Ia hidup dan berjalan bersama sang waktu pada alam sebagai guru, ibu dan rumahnya. Bila situasi dirasa aman, ia dengan santai meronda dengan bernyanyi kecil, bersiul, kadang-kadang sambil bercerita seperti sepasukan bala tentara yang berpatroli padahal dia seorang diri. Ia mampu berkomunikasi dengan anggota pasukannya yang tak dapat terlihat oleh kita. Ia tidak seorang diri, ia memiliki pasukan senyap, maka benar ketika ia mau disebut Komdan.

Ketika ibundanya masih hidup bahkan sampai sekarang sepeninggal ibunya, sang komdan sangat mencintai dan bangga memiliki ibu yang luar biasa. Bagi sang komdan, kata-kata ibu adalah ucapan Tuhan. Ia paham ditelapak kaki ibu ada surga. Ia selalu berusaha agar ibunda selalu tersenyum walau hidup terasa berat. Ibunda adalah harta milik satu-satunya yang tak dapat ternilai oleh apapun, perak atau emas sekalipun. Ia sangat terpukul ketika harta milik satu-satunya yang sangat dikasihinya harus mendahuluinya kembali kepada Sang Pencipta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun