Sudan adalah negara di Afrika Timur Laut dengan luas sekitar 1,88 juta km dan populasi hampir 50 juta jiwa. Terletak di sepanjang Sungai Nil dan berbatasan dengan tujuh negara, Sudan memiliki posisi strategis sekaligus potensi besar di bidang pertanian dan sumber daya alam, terutama karena berbatasan langsung dengan Laut Merah yang merupakan salah satu kunci perdagangan internasional.Â
Namun, di balik letak geografisnya yang penting, Sudan justru terjebak dalam krisis internal yang berkepanjangan. Sejak lama negara ini dicap sebagai negara konflik, mulai dari perang saudara, isu etnis, hingga perebutan kekuasaan militer yang masih terjadi hingga kini. Kondisi rapuh di dalam negeri ini berimbas pada posisinya dalam isu regional, terutama sengketa air Sungai Nil. Sudan, bersama Mesir dan Ethiopia, terlibat dalam ketegangan mengenai pembangunan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD).
Apa yang sebenarnya terjadi di Sudan?
Sejak meraih kemerdekaan dari Inggris dan Mesir pada tahun 1956, Sudan telah menghadapi perang saudara yang panjang antara wilayah utara dan selatan. Perbedaan budaya, agama, serta ketidakadilan distribusi sumber daya memicu konflik bersenjata yang berlangsung puluhan tahun. Konflik ini berakhir dengan pemisahan Sudan Selatan pada tahun 2011, tetapi bukannya membawa stabilitas, justru membuka babak baru ketegangan politik di Sudan. Perebutan kekuasaan antara militer dan kelompok paramiliter, serta lemahnya institusi sipil, membuat negara ini rapuh.
Pada tahun 2023, Sudan kembali dilanda konflik ketika Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) saling berebut kekuasaan. Pertempuran yang awalnya berlangsung di ibu kota Khartoum dengan cepat meluas ke berbagai wilayah, menimbulkan gelombang penderitaan luar biasa. Puluhan ribu orang dilaporkan tewas, sementara lebih dari 13 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka, baik sebagai pengungsi internal maupun melintasi perbatasan ke negara tetangga. Kondisi ini menjadikan krisis Sudan sebagai salah satu bencana kemanusiaan terbesar di dunia saat ini, di mana jutaan warga menghadapi ancaman kelaparan akut serta penyebaran penyakit menular yang semakin sulit dikendalikan.
Perang yang berkepanjangan tidak lagi sekadar perebutan kekuasaan, melainkan telah berubah menjadi perang melawan masyarakat sipil sendiri. Fasilitas publik seperti rumah sakit, pasar, dan infrastruktur vital kerap menjadi sasaran serangan, membuat kehidupan sehari-hari semakin tidak menentu. Anak-anak kehilangan akses terhadap pendidikan karena sekolah hancur atau dijadikan tempat perlindungan, sistem kesehatan nyaris runtuh, dan perempuan menjadi kelompok paling rentan terhadap kekerasan berbasis gender. Laporan dari PBB serta organisasi kemanusiaan menegaskan bahwa lebih dari separuh populasi Sudan kini hidup dalam kondisi darurat kemanusiaan. Situasi ini menunjukkan bahwa konflik tidak hanya meruntuhkan struktur negara, tetapi juga secara perlahan menghancurkan fondasi sosial dan masa depan rakyat Sudan.
Adakah jalan keluar?
Dalam artikelnya di Financial Times, mantan Perdana Menteri Sudan, Abdalla Hamdok, menegaskan bahwa konflik bersenjata yang kini berlangsung di Sudan tidak memiliki jalan keluar militer. Menurutnya, sekalipun salah satu pihak berhasil meraih kemenangan taktis, itu tidak akan menyelesaikan akar masalah. Solusi jangka panjang hanya dapat dicapai melalui gencatan senjata, pembentukan pemerintahan sipil yang kredibel, serta transisi demokratis yang inklusif. Hamdok menekankan pentingnya mengatasi persoalan struktural seperti ketimpangan sosial, eksklusi politik, dan perpecahan identitas. Jika hal-hal mendasar ini tidak diatasi, Sudan akan terus berada dalam lingkaran konflik tanpa ujung.
Pernyataan Hamdok ini menegaskan bahwa krisis Sudan sejatinya menyangkut fondasi negara yang gagal mengakomodasi keberagaman dan menyalurkan aspirasi rakyatnya secara adil. Di sinilah keterkaitan dengan isu Sungai Nil kembali muncul: tanpa stabilitas internal, Sudan tidak akan pernah mampu memainkan peran penting dalam sengketa air yang melibatkan Ethiopia dan Mesir. Padahal, jika negara ini berhasil memperkuat posisinya, Sudan bisa menjadi kunci untuk mendorong tercapainya kesepakatan yang berkeadilan bagi semua pihak.
KESIMPULAN