Angin malam berbisik lebih kencang dari biasanya. Lantai kayu rumah-rumah desa bersuara lirih ketika diinjak, seperti tulang-tulang bumi yang berderit karena terlalu lama menahan beban musim. Langit tampak bersih, terlalu bersih, seolah-olah hujan lupa caranya turun. Udara memeluk erat dan dingin siapa pun yang masih terjaga. Inilah yang orang desa sebut bediding.
"Udud dulu, Tong?" suara Pakde Suryokoco memecah keheningan.
Aku mengangguk, menggenggam batang rokok seperti menggenggam sumbu doa. Di seberang meja bambu, Kang Doding Rahmadi dan Mas Widarto sedang menikmati kopi. Kang Doding, sesama perokok dan politisi PDI-P, duduk bersandar dengan kepala sedikit miring ke langit. Mas Widarto, yang tak merokok, mengaduk kopinya perlahan seperti sedang menyusun strategi pembangunan.
Kami sedang berada di serambi kantor TV Desa, menggelar obrolan malam tak resmi pasca siaran Ngobrol DESA. Malam itu kami tak sedang berbicara di depan kamera, tapi pada nyala rokok dan nyaringnya kecemasan desa.
"Aku curiga, bediding tahun ini bukan sekadar dingin," gumamku sambil menatap gelas.
"Benar," jawab Mas Panudi, yang baru saja bergabung. "Ini bukan dingin biasa. Ini semacam peringatan."
Udara dingin memang bukan hal baru. Tapi ia kini datang lebih cepat, tinggal lebih lama, dan membuat para petani kehilangan ritme. Musim tanam kacau. Daun-daun mengering padahal belum waktunya. Embun turun lebih berat dari biasanya. Ada yang berubah. Iklim, mungkin. Tapi lebih dari itu. Hubungan kita dengan bumi yang sedang retak.
"Dulu, sebelum tanam, kami cukup lihat langit dan dengar burung," cerita Pak Dwinanto, Kepala Desa Krandegan yang juga bergabung malam itu. "Sekarang? Petani butuh peta risiko, prakiraan berbasis data, dan adaptasi. Tapi siapa yang ajari mereka semua itu?"
"Kita yang seharusnya," potong Mas Budiman Widyanarko, Program Officer dari SuaR Indonesia. "Termasuk memberi ruang untuk suara-suara yang selama ini dianggap pinggiran. Suara ibu hamil, anak, difabel, petani perempuan. Mereka semua yang pertama kali terdampak perubahan iklim."
Bediding itu akhirnya menjelma forum. Kami duduk melingkar, para peminum kopi yang malam ini bukan cuma pengopi tapi juga pembaca gejala. Setiap seruputan kopi menjadi pembuka percakapan panjang tentang ketahanan pangan, desa tangguh iklim, dan keterlibatan warga.
"Aku jadi ingat data RKPDes," ujarku sambil membuka catatan. "Hampir tak ada satu pun desa yang secara eksplisit menyebut 'krisis iklim'. Paling-paling cuma 'bantuan sumur bor' atau 'penanaman pohon' tanpa analisis risiko."
Pakde Suryokoco mengangguk pelan, mengepulkan asap rokok.
"Kita semua tahu bahwa desa adalah korban pertama, tapi sering kali tidak diberi bahasa untuk menceritakan luka-lukanya. Bahkan ketika mereka ingin bicara, forum-forumnya terlalu teknis."