Antara Kretek, Tembakau Tambeng, dan Tekad Menulis dari Pinggir Desa
Salam hangat dari lereng desa.
Saya menulis cerpen ini sebagai semacam "jawaban hati" terhadap tulisan Pakde Koco yang menyebut nama saya---Itong---dalam satu cerita reflektif tentang menulis dan mendampingi. Saya merasa terpanggil untuk meneruskan cerita itu dengan gaya saya sendiri: penuh asap kretek, aroma Tambeng, dan suasana pagi yang kami bagi bersama dalam program Ngobrol DESA.
Semoga cerita ini bisa menemani Anda, para pembaca yang sedang lelah, sedang rindu, atau justru sedang menimbang: "masih perlukah kita menulis?"
Sore itu, kabut tipis mulai turun perlahan di teras rumah Pakde Koco. Angin dari kebun belakang membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi kretek yang menggantung di udara. Aku baru saja memarkirkan Kijang matic tahun 1997-ku---sahabat setia yang telah lama menemaniku menjelajah desa demi desa. Rem tangan mobil itu sudah lama kuganti dengan model khusus yang bisa kuoperasikan sambil menggenggam kruk.
Dengan langkah perlahan dan ritme yang telah kukenal betul, aku berjalan menuju teras Pakde. Tiga kali ketukan di tiang kayu, dan suara khas Pakde menyahut, "Wah, ini aroma Tambeng atau Itong yang datang?"
Aku tertawa kecil. "Dua-duanya, Pakde. Tambeng-nya yang mewah, Itong-nya yang kere."
Pakde menyambut dengan senyum lebar. Rambutnya putih bersih, disisir rapi ke belakang. Kretek sudah menyala di jemarinya. Aku duduk di bangku panjang, menurunkan kruk, dan menerima secangkir kopi panas yang mengepul dari gelas enamel.
"Mas Panudi tadi pagi cerita soal tulisanmu yang mulai banyak dibaca. Aku diam-diam bangga, Tong," kata Pakde, menatap ke depan.
"Biasa aja, Pakde. Itu cuma nulis apa yang kami rasakan. Yang tiap pagi kita omongin di Ngobrol DESA juga kadang lebih jujur daripada surat edaran kementerian," jawabku sambil menyeruput kopi.
Kami memang punya kebiasaan unik: setiap hari Senin sampai Jumat, dari jam enam sampai setengah delapan pagi, aku, Mas Panudi, Mbak Indah, Pakde Koco, dan ratusan pendamping lain berkumpul via Zoom. Nama acaranya Ngobrol DESA. Isinya? Campur aduk antara obrolan remeh sampai strategi pendampingan jangka panjang. Tapi yang pasti, itu jadi rumah kedua kami. Ruang aman. Tempat waras.