Mohon tunggu...
Akhmad Fourzan Arif Hadi P
Akhmad Fourzan Arif Hadi P Mohon Tunggu... Profesi saya sebagai Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Kabupaten pada Kemendesa PDT

Saya adalah seorang pria disabilitas daksa yang memiliki kegemaran berkelana, berdiskusi, dan tentu saja ngopi di berbagai kedai formal (seminar, workshop, dan ruang-ruang diskusi lainnya) serta kedai non formal. Urusan menulis artikel tidak begitu mahir. Nama panggilan saya adalah ITONG.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan Itong di Teras Pakde Koco #KompasianaDESA

20 Mei 2025   00:07 Diperbarui: 20 Mei 2025   00:07 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngobrol di Teras Rumah Pakde Koco (Sumber: Dokumen Pribadi)

Antara Kretek, Tembakau Tambeng, dan Tekad Menulis dari Pinggir Desa

Salam hangat dari lereng desa.
Saya menulis cerpen ini sebagai semacam "jawaban hati" terhadap tulisan Pakde Koco yang menyebut nama saya---Itong---dalam satu cerita reflektif tentang menulis dan mendampingi. Saya merasa terpanggil untuk meneruskan cerita itu dengan gaya saya sendiri: penuh asap kretek, aroma Tambeng, dan suasana pagi yang kami bagi bersama dalam program Ngobrol DESA.

Semoga cerita ini bisa menemani Anda, para pembaca yang sedang lelah, sedang rindu, atau justru sedang menimbang: "masih perlukah kita menulis?"

Sore itu, kabut tipis mulai turun perlahan di teras rumah Pakde Koco. Angin dari kebun belakang membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi kretek yang menggantung di udara. Aku baru saja memarkirkan Kijang matic tahun 1997-ku---sahabat setia yang telah lama menemaniku menjelajah desa demi desa. Rem tangan mobil itu sudah lama kuganti dengan model khusus yang bisa kuoperasikan sambil menggenggam kruk.

Dengan langkah perlahan dan ritme yang telah kukenal betul, aku berjalan menuju teras Pakde. Tiga kali ketukan di tiang kayu, dan suara khas Pakde menyahut, "Wah, ini aroma Tambeng atau Itong yang datang?"

Aku tertawa kecil. "Dua-duanya, Pakde. Tambeng-nya yang mewah, Itong-nya yang kere."

Pakde menyambut dengan senyum lebar. Rambutnya putih bersih, disisir rapi ke belakang. Kretek sudah menyala di jemarinya. Aku duduk di bangku panjang, menurunkan kruk, dan menerima secangkir kopi panas yang mengepul dari gelas enamel.

"Mas Panudi tadi pagi cerita soal tulisanmu yang mulai banyak dibaca. Aku diam-diam bangga, Tong," kata Pakde, menatap ke depan.

"Biasa aja, Pakde. Itu cuma nulis apa yang kami rasakan. Yang tiap pagi kita omongin di Ngobrol DESA juga kadang lebih jujur daripada surat edaran kementerian," jawabku sambil menyeruput kopi.

Kami memang punya kebiasaan unik: setiap hari Senin sampai Jumat, dari jam enam sampai setengah delapan pagi, aku, Mas Panudi, Mbak Indah, Pakde Koco, dan ratusan pendamping lain berkumpul via Zoom. Nama acaranya Ngobrol DESA. Isinya? Campur aduk antara obrolan remeh sampai strategi pendampingan jangka panjang. Tapi yang pasti, itu jadi rumah kedua kami. Ruang aman. Tempat waras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun