Mohon tunggu...
Panji Hadisoemarto
Panji Hadisoemarto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Nama saya Panji. Lahir di Bandung tahun 1979. Sedang belajar tentang kesehatan masyarakat global di Harvard University.\r\n\r\nhttp://panjifortuna.jimdo.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Survey Abal-abal

27 Maret 2014   06:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:24 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Biasa lah.. kalau sudah menjelang pemilu atau pilkada, kita bakal kebanjiran hasil survey. Saya sendiri termasuk pengguna survey dan tergolong orang yang suka mengikuti hasil-hasil survey. Kadang-kadang untuk kepentingan ilmiah (seperti survey yang saya lakukan untuk penelitian saya), kadang-kadang karena curious, kadang-kadang just for fun.

Tapi pada hakekatnya survey adalah suatu metode yang ilmiah sehingga apapun alasan melakukan survey, survey tersebut harus didasari oleh justifikasi ilmiah yang kuat. Sama halnya, apapun alasan untuk mengikuti hasil survey, kepercayaan kita terhadap hasil tersebut harus didasari oleh kemahfuman kita akan kuatnya dasar ilmiah yang dipakai dalam pelaksanaan survey tersebut.

Mengikuti hasil survey politik menjelang pemilu/pilkada buat saya paling pas buat kegiatan just for fun. Pasalnya, di waktu-waktu seperti ini kita bisa menonton dagelan survey. Ada survey yang mengatakan calon A menang mutlak, lalu disusul dengan survey tandingan yang mengatakan calon B akan menang mutlak. Karenanya, tidak heran kalau banyak survey dianggap abal-abal dan hasilnya adalah pesanan. Bicara tentang survey abal-abal, survey dari Gerakan Pemuda Keadilan yang dipublikasikan baru-baru ini tentang penolakan terhadap kepemimpinan Ahok rasanya sudah membawa abal-abalisme ke level yang tidak saya bayangkan sebelumnya.

Mengapa. Mengutip harian Merdeka, penyelenggara survey mengatakan kalau "...survei ini tidak memakai tingkat kepercayaan dan margin of error." Dan dengan demikian hasil survey tersebut diberitakan sebagai "93 persen warga tolak Ahok menjadi gubernur".

Yang salah dengan survey ini, seperti diakui oleh penyelenggaranya, tidak memakai tingkat kepercayaan dan margin of error. Dengan kata lain, survey ini memang asli sekedar dagelan, tidak ada unsur ilmiahnya sama sekali.

Perlu saya ungkapkan di sini kalau beberapa jenis survey, yang murni kualitatif, memang biasanya tidak memakai kedua hal tersebut. Tapi biasanya survey-survey kualitatif seperti itu punya tujuan yang sangat berbeda dengan survey kuantitatif, bukan untuk menghasilkan suatu angka yang bisa mewakili suatu penduduk. Angka yang biasa kita sebut sebagai "statistik".

Barangkali hal ini lebih tepat dijelaskan dengan sebuah contoh.

Misalkan saya ingin berjualan sebuah produk, katakan saya ingin mengisi hari Minggu saya dengan menjual lumpia basah di kelurahan tempat saya tinggal. Untuk memperkirakan berapa lumpia yang harus saya siapkan setiap hari Minggu, saya ingin mengetahui berapa orang penduduk kelurahan yang akan membeli lumpia pada hari itu.

Saya bisa mengetahui ini dengan, tentunya, menanyakan apakah seseoarang akan membeli lumpia di hari Minggu. Kalau kelurahan saya berpenduduk 100 ribu jiwa, saya bisa menanyakan hal tersebut kepada ke-100 ribu orang itu, istilahnya melakukan sensus. Tapi saya tidak yakin kalau saya punya cukup waktu, tenaga atau uang untuk mensensus 100 ribu orang, maka saya berpaling kepada cara lain yang disebut: survey.

Intinya sih, dengan melakukan survey, saya ingin mengetahui berapa warga kelurahan yang akan membeli lumpia di hari Minggu, tanpa harus bertanya ke seluruh warga kelurahan. Istilahnya, saya hanya perlu bertanya kepada sejumlah sample. Tapi ya itu, tujuan dari survey ini sejatinya adalah untuk mengetahui berapa orang dari seluruh warga kelurahan yang akan membeli lumpia saya di hari Minggu. Istilahnya, saya ingin melakukan statistical inference: menarik kesimpulan tentang semua warga kelurahan (populasi) berdasarkan informasi dari sebagian warga saja (sampel).

Tentunya, hasil yang saya peroleh tidak akan tepat betul. Bayangkan misalnya saya mengambil sampel sebanyak 1000 orang dan saya menyimpulkan 50 orang akan membeli lumpia saya setiap minggu. Kalau misalnya saya mengulang survey saya dan mengambil sampel 1000 orang yang berbeda dari survey pertama, mungkin saya akan mendapat hasil 45, bukan 50. Kalau saya ulangi lagi, mungkin hasilnya 52.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun