Mohon tunggu...
Panji Hadisoemarto
Panji Hadisoemarto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Nama saya Panji. Lahir di Bandung tahun 1979. Sedang belajar tentang kesehatan masyarakat global di Harvard University.\r\n\r\nhttp://panjifortuna.jimdo.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mereka-reka Dampak Aksi Mogok Profesi Dokter Indonesia

27 November 2013   20:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:36 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokter Indonesia memang bukan yang pertama kali melakukan aksi mogok, atau aksi “tafakur” seperti yang dinamakan oleh rekan-rekan dokter untuk aksi hari ini. Dokter di banyak negara pernah melakukan aksi mogok karena berbagai sebab, saya persilakan Anda meng-Google sendiri informasi tentang “physician strike”. Seperti aksi serupa yang dilakukan profesi lain – entah itu buruh, guru atau pilot – hasilnya bisa sukses dengan dipenuhinya tuntutan, atau gagal. Nah, karena saya sedang menulis paper di bidang “political economy” di bidang kesehatan, saya ingin mencoba mereka-reka dampak aksi mogok profesi dokter Indonesia.

Sekali lagi kesimpulan saya hanya rekaan.

Di ujung dari tulisan ini, saya ingin bisa menyimpulkan rekaan tentang apa kira-kira dampak dari aksi dokter hari ini, baik dalam 1) bentuk respon terhadap tuntutan, dan 2) bentuk respon terhadap profesi dokter itu sendiri. Untuk itu, pertama saya ingin menyampaikan tentang suatu teori yang disebut “teori konstruksi sosial” yang akan saya pakai untuk membuat rekaan ini. Lalu saya akan menulis tentang makna dari aksi mogok yang (akhirnya) dipilih oleh para dokter berdasarkan pandangan teori konstruksi sosial tadi, sebelum akhirnya mencoba menyimpulkan hasil rekaan saya.

Apa itu teori konstruksi sosial?

Teori ini lengkapnya disebut sebagai “social construction of target populations”. Menurut teori ini, konstruk sosial dari populasi target adalah “karakterisasi budaya atau gambaran populer terhadap orang-orang atau kelompok-kelompok yang perilaku dan kesejahteraannya dipengaruhi oleh kebijakan publik” (Schneider & Ingram, 1983). Konstruk ini dapat berupa stereotipe positif (mis. jujur, pengabdian, “deserving”) atau negatif (mis. korup, malas, “undeserving”) yang dibentuk oleh banyak proses dan pelaku, sebut saja proses politik, ekonomi, sejarah atau media. Lebih jauh lagi, teori ini berpendapat bahwa kebijakan dibuat oleh pemerintah, tepatnya politikus dan birokrat yang duduk di bangku pemerintahan, dengan memperhatikan populasi target dari suatu kebijakan berdasarkan konstruk-konstruk tersebut berdasarkan kekuatan politik mereka.

Berikut skema penyederhanaan dari konstruk sosial tersebut (Schneider & Ingram, 1983):

Memperhatikan konstruk-konstruk sosial di atas, kebijakan akan dibuat sedemikian rupa sehingga pihak yang tepat akan menerima beban atau keuntungan dari kebijakan tersebut. Biasanya, akan ada tekanan untuk mendistribusikan keuntungan kepada pihak-pihak yang mempunyai konstruk sosial positif, terutama yang dianggap memiliki kekuatan politik besar, dan membuat kebijakan yang lebih bersifat menghukum kepada kelompok yang mempunyai konstruk sosial negatif, terutama yang kekuatan politiknya dianggap lemah.

Dimanakah profesi dokter berada?

Nah, ini yang menarik, tapi sepenuhnya adalah pendapat saja.

Menurut saya, ada perbedaan konstruk tentang dokter di antara pemerintah, masyarakat umum dan profesi dokter itu sendiri. Ini wajar, karena konstruk terhadap satu kelompok bisa berbeda dari kelompok-ke-kelompok dan dari waktu-ke-waktu. Konstruk itu relatif dan dinamis.

Menurut saya, masyarakat kebanyakan masih memandang dokter sebagai profesi yang “advantaged”. Kekuatan politik dokter dianggap besar: dokter banyak yang menjadi pemimpin di berbagai instansi pemerintahan, dokter mempunyai autonomi yang besar dalam mengambil keputusan, dan, walaupun kurang tepat, penampilan dokter lebih mirip dengan mereka yang mempunyai kekuatan politik ketimbang yang tidak. Dan saya rasa sebagian besar masyarakat masih menganggap profesi dokter sebagai profesi yang baik.Memang semakin banyak tuduhan malpraktek atau konspirasi dengan pabrik obat yang dilayangkan kepada profesi dokter dan menempatkan dokter ke pihak “contender”, namun saya rasa bias informasi dari media dan internet terlalu membesar-besarkan hal ini dibandingkan penilaian masyarakat sebenarnya terhadap profesi dokter.

Sebaliknya, saya melihat rekan-rekan dokter memandang profesinya sendiri sebagai kelompok yang diposisikan sebagai “deviants”. Walaupun sebagai profesi yang bekerja di bidang kemanusiaan, namun kekuatan politiknya kecil dan sering kali mendapatkan dampak negatif dari kebijakan pemerintah; sebut saja adanya anjuran penempatan di daerah terpencil dengan upah dan fasilitas hidup minim, dan dengan itu pun masalah dokter sepertinya tidak dianggap sebagai masalah pemerintah karena profesi dokter adalah profesi yang identik dengan pengabdian. Saya rasa ini semakin menguat dengan isu skema pembayaran layanan medis yang akan ditanggung Jaminan Kesehatan Nasional mulai 1 Januari 2014 nanti. Singkatnya, pemberlakuan JKN dengan skema yang saat ini ditawarkan akan mengambil autoritas dokter di dalam melakukan tindakan (dengan pembatasan tanggungan) dan tidak menawarkan remunerasi yang dianggap layak oleh rekan-rekan di kalangan dokter. Lebih jauh lagi, saya melihat rekan-rekan dokter menganggap bahwa skema JKN sekarang adalah hasil dari kurangnya representasi politik profesi doker di dalam proses pengambilan keputusan tersebut, yang mungkin ada benarnya.

Ringkasnya, saya memandang ada perbedaan konstruk profesi dokter yang dibangun oleh masyarakat – sebagai kelompok “advantaged” – dengan konstruk yang dibangun oleh profesi dokter itu sendiri – sebagai kelompok “deviants”.

138555781638115151
138555781638115151

Lalu, apa makna aksi mogok dari sudut pandang konstruk sosial ini?

Menurut saya, aksi mogok ini akan dimaknai dengan, dan mungkin memang dimaksudkan untuk, menggeser posisi konstruk profesi dokter.

Profesi dokter, dengan melakukan pengerahan masa yang terorganisir, ingin atau akan menunjukkan bahwa mereka mempunyai kekuatan politik yang harus diperhitungkan. Misalnya, bisa terlihat dari pernyataan Ketua IDI Sulut, Taufik Pasiak, yang mengatakan bahwa “dokter itu sangat penting, seperti polisi yang harus setiap saat sigap dan bekerja. Jadi jika kita selama tiga hari mogok, negara ini bisa lumpuh" (Kompas online, 26/11/2013). Aksi nanti juga akan melibatkan tuntutan yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan dokter, entah dalam bentuk materi ataupun non-materi. Bisa dipastikan, dalam melakukan aksi nanti rekan-rekan dokter akan tetap menyampaikan pesan bahwa profesi dokter masih merupakan profesi yang berpihak kepada kemanusiaan, sehingga PB IDI menyatakan bahwa pasien miskin dan pasien darurat tetap akan dilayani. Di samping pesan-pesan lain yang ingin mengatakan bahwa aksi tersebut dijalankan supaya, pada akhirnya, dokter bisa melayani pasien lebih baik. Singkat kata, profesi dokter ingin membangun image profesi yang positif, memiliki posisi “advantaged” dan layak diperhitungkan dan diuntungkan oleh kebijakan pemerintah.

Namun demikian, saya khawatir konstruk sosial profesi dokter di masyarakat pun akan bergeser. Karena, menurut saya, masyarakat sudah mempunyai persepsi bahwa dokter adalah profesi yang memiliki “advantaged”, saya melihat ada kemungkinan masyarakat menilai profesi dokter sebagai kelompok yang sudah mendapatkan cukup banyak. Artinya, tidak perlu meminta lebih. Oleh karenanya, aksi massa oleh dokter ini berpotensi dianggap sebagai tindakan tamak dan pada akhirnya menggeser konstruk profesi dokter di masyarakatdari “advantaged” menjadi “contenders”. Dari konstruk positif menuju konstruk negatif. Barangkali apa yang diungkapkan oleh Bapak ini bisa menggambarkan perubahan konstruk tersebut: “Dokter itu kan pekerjaan mulia, kalau sudah begini, sudah tidak lagi mencerminkan kemuliaan dari profesi mereka” (Kompas online edisi yang sama).

1385557857341677097
1385557857341677097

Jadi, apa rekaan saya terhadap hasil dari aksi ini?

Tidak positif.

Pertama, bagaimana respon pemerintah terhadap aksi dokter? Ini yang memang belum saya tulis sedari tadi: konstruk sosial profesi dokter di mata pemerintah. Saya rasa pemerintah berada di posisi yang sulit untuk menempatkan dokter di dalam salah satu konstruk di atas. Pemerintah sangat tahu pentingnya peranan dokter di dalam program-program mereka, namun tidak bisa mengabaikan konstruk sosial yang ada di masyarakat. Barangkali semua yang membaca tulisan ini sudah pernah mendengar tentang “ancaman” Ibu Menteri Kesehatan yang mengatakan “kalau mogok, kalian akan saya bunuh pelan-pelan”. Tentunya hal itu tidak akan pernah terjadi, tapi saya rasa kalimat tersebut sangat jelas mengungkapkan pentingnya peranan dokter di mata pemerintah, sekaligus menunjukkan kongruensi konstruk antara pemerintah dengan masyarakat.

Jadi bagaimana kalau dokter melakukan aksi masa? Saya rasa pemerintah akan dapat memenuhi yang menjadi tuntutan para dokter, selama tuntutan tersebut tidak akan diartikan sebagai memenuhi tuntutan dari kelompok “contenders”. Misalnya, tuntutan meningkatkan anggaran kesehatan menjadi minimal 5% seperti yang diamanatkan undang-undang bisa mudah di-iya-kan oleh pemerintah. Tapi, menjanjikan remunerasi lebih akan lebih sulit. Memberi tekanan kepada proses hukum, saya rasa akan sia-sia. Dan, masyarakat umum akan mendukung keputusan pemerintah yang sesuai untuk konstruk yang mereka miliki.

Kedua, saya khawatir kalau aksi ini akan menggerus kepercayaan masyarakat kepada profesi dokter. Jika benar ini terjadi, akan ironis sekali karena maksud mulia dari aksi tersebut untuk memajukan kesehatan masyarakat malah akan menjadi langkah mundur bagi upaya pemerintah untuk meningkatkan hal tersebut. Sayangnya, ini mungkin akan berujung dengan semakin banyaknya kasus berat yang harus ditangani dokter akibat upaya pengobatan non-medis. Sesuatu yang sudah sering dikeluhkan oleh para dokter.

Jadi kesimpulan rekaan saya, aksi massa dokter kecil kemungkinan akan membawa dampak positif bagi profesi dokter itu sendiri. Setidaknya sampai dokter bisa meyakinkan masyarakat bahwa profesinya secara salah ditempatkan sebagai profesi “deviant” dan aksi tersebut perlu untuk menempatkan dokter di posisi “advantaged”. Namun ini tidak bisa dikerjakan post-hoc. Sekarang, mungkin lebih penting memikirkan upaya damage control.

Begitulah rekaan saya…

Edit:

Setujukah Anda, bahwa saat ini dokter berada di posisi "deviant", yang banyak dirugikan oleh kebijakan pemerintah atau disudutkan oleh pihak lain? Jika ya, apa yang kita harus lakukan? Dimanakah seharusnya dokter berada?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun