Mohon tunggu...
Firmansyah
Firmansyah Mohon Tunggu... Guru - #TeacherBlogger

I'm a proud #TeacherBlogger who loves Writing, Traveling, and Taking Pictures. Currently teaching English, Arabic and several Arabic-related lessons at one of Islamic Boarding Schools in Tangerang, Banten. Visit my blog at www.bangfirman.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Memaknai Kehilangan Sebagai Nasihat untuk Menjaga Aset Paling Berharga

16 November 2019   23:49 Diperbarui: 16 November 2019   23:53 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya percaya di dunia ini tidak ada seorang pun yang tidak pernah merasakan kehilangan. Karena sejatinya tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini. Dan saya yakin, setiap orang pun pasti sepakat bahwa sepahit-pahitnya kehilangan adalah saat ditinggalkan oleh orang tercinta untuk selamanya."

Berbicara tentang kehilangan, rasanya diri ini tidak mampu menampik dan menghindari kenangan penuh duka dan air mata yang menghiasi masa kanak-kanak saya dahulu. Bahkan hingga saat ini pun, rasanya kedua mata saya akan selalu berlinang ketika pikiran ini seketika mengawang membayangkan kembali masa-masa kelam itu.

Apakah Anda pernah membayangkan bagaimana seorang anak terbangunkan tidurnya saat tengah malam karena mendengar kabar duka dan orang-orang menangis sesenggukan di sekitarnya? Apakah Anda pernah membayangkan bagaimana rasanya dijemput pulang dari sekolah secara tiba-tiba, lalu ketika sampai di rumah disambut oleh bendera kuning terpasang di depan halaman rumah? 

Anda pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan dua orang tercinta untuk selamanya hanya dalam perbedaan waktu tepat seminggu? Jika Anda pernah, maka kisah kita tidaklah jauh berbeda.

Sebagai manusia biasa dan sebagai seorang anak berumur 10 tahun kala itu, momen tersebut tentu tidak pernah terbayangkan, pun tidak ada seorang anak yang berharap demikian dalam menjalani masa kanak-kanaknya. Tapi, Tuhan berkata lain dan berkuasa atas segala kehendak-Nya. Sejak saat itu, saya, adik, dan kakak-kakak kandung saya resmi mendapatkan gelar baru, sebagai anak Yatim Piatu. Gelar yang tidak pernah diharapkan dan tidak pernah disebutkan dalam doa. 

Menjadikan Kehilangan Sebagai Nasihat Kesehatan

Sebagai seorang Muslim, saya diajarkan bahwa kehilangan atau kematian seseorang seyogianya cukup dijadikan sebagai sebuah pelajaran, nasihat, serta pengingat bagi setiap orang yang masih bernyawa. Namun, selain pengingat untuk meningkatkan kualitas beribadah, nasihat lain yang perlu diperhatikan adalah pentingnya menjaga salah satu aset yang paling berharga dalam diri kita selama hidup, yaitu kesehatan.

Sebelum wafat Ayah saya memang sudah menderita sakit Diabetes selama beberapa tahun. Masih terekam jelas dalam memori ingatan saya, saat menjelang dan memasuki usia setengah abad Ayah banyak menghabiskan hari-harinya hanya dengan berbaring dan tidur di atas amben (bahasa sunda) semacam bale bambu di teras rumah, makan dengan kemampuan gigi mengunyah yang sudah payah, terkadang juga duduk sambil menonton televisi. Ada satu kebiasaan Ayah lainnya yang tidak pernah saya lupakan adalah segelas besar teh manis yang harus selalu hadir menemaninya hampir di setiap waktu. 

Selembar sisa foto kenangan bersama Ayah dan Ibu. Sumber: Dokumentasi Pribadi
Selembar sisa foto kenangan bersama Ayah dan Ibu. Sumber: Dokumentasi Pribadi
Pola hidup inilah yang mungkin membuat penyakit Diabetes Ayah semakin menjadi-jadi. Ditambah, saya juga sering kali melihat pemandangan sekelompok semut-semut kecil berwarna merah yang biasanya lumayan pedih jika menggigit, mereka mengerubungi kaki Ayah khususnya bila ada bagian yang terluka, darah-darah yang muncul pada bagian luka tersebut mungkin cukup manis sebagai sumber 'makanan' mereka, sehingga mencuri perhatian dan menjadikannya tempat mereka berkerumun mencari 'makan'. Sungguh pemandangan yang menyiksa mata.

Tidak lama setelah kepergian Ayah, Ibu pun mulai jatuh sakit. Sepertinya saat itu, Ibu belum sepenuhnya menerima kepergian Ayah untuk selamanya dan merasa shock berat. Keadaan tersebut membuat kondisi fisiknya lemah tak berdaya selama beberapa hari, hingga akhirnya sakit paru-paru yang pernah diidapnya pun kambuh. Bahkan kondisi kesehatan Ibu lebih parah dibanding Ayah, karena Ibu sempat dirawat dalam ruang ICU (Intensive Care Unit) di Rumah Sakit Umum kala itu. Ruang ICU itu pulalah yang akhirnya menjadi saksi bisu detik-detik terakhir Ibu menghembuskan nafas terakhirnya, tepat pada hari Selasa, seminggu setelah meninggalnya Ayah. 

Pengalaman Pribadi Rawat Inap Seminggu di Rumah Sakit

Pentingnya menjaga kesehatan sebagai aset berharga dalam diri kita, memang tidak perlu ditawar-tawar lagi. Tidak ada nikmat hidup yang lebih berharga dan bermakna selain merasakan nikmat sehat itu sendiri. Sederhana saja, karena sehat itu aset. Saya pribadi pun pernah merasakan betapa tidak enaknya menghabiskan waktu selama seminggu di Rumah Sakit karena kondisi kesehatan saya yang memburuk pada tahun 2013.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun