Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Disabilitas dan Ketidakjelasan

15 Agustus 2022   01:16 Diperbarui: 15 Agustus 2022   01:24 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: rapat Pertuni Sulut

Setiap manusia lahir bersamaan dengan "hak alami" (the state of nature), yaitu : dia bebas, dia setara, dia independen. Itu pernyataan John Locke di abad ke 17. Seorang filsuf yang juga ahli sebagai dokter medis. Karena demikian, otoritas tertentu, misalnya negara, tidak boleh menggunting hak alami itu. 

Jenis kebebasan ini merupakan "kebebasan negatif" (freedom from) yang dirumuskan oleh Isaiah Berlin (1909-1997), filsuf dan ahli sejarah pemikiran; setiap orang harus bebas dari kekangan.

Apa pasal setiap orang mesti bebas dari kekangan? Sebab setiap orang menjadi tuan bagi dirinya. Inilah ciri "kebebasan positif" (freedom to). "Kebebasan" ini menjadi biang HAM Gelombang Kedua: Hak Asasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Hak Ekosob). HAM Gelombang Pertama dibiangi oleh Locke, yaitu kebebasan negatif.

Namun, meski orang telah bebas, itu hanyalah bunga-bunga dari hal yang paling mendasar: manusia harus kerja, harus makan; menjadi bahagia. Jadi, pekerjaan, lingkungan yang sehat, kebudayaan, adalah hak seluruh manusia. Inilah semangat dari HAM Gelombang Kedua (dan ini merupakan pertama dan paling utama).

Anda boleh teriak-teriak tentang kebebasan berekspresi, bebas dari kekangan, dominasi, dan pantauan negara. Tapi, apalah arti kebebasan itu jika Anda dalam keadaan lapar dan ketidakjelasan kerja. Pasti Anda akan berteriak bahwa "dunia ini tidak adil." Itulah asal-usul krisis kecemasan seperempat abad.
"Kebebasan" bisa dirampas sejauh tindakan seseorang bisa mengambil jenis kebebasan orang lain, artinya ada pertanggungjawaban. Dan di sinilah peran otoritas negara: menjaga hak setiap orang (dalam diskusi sering disebut sebagai liberty, karena hadir dalam kontrak sosial).

Jenis HAM di atas telah menjadi acuan dasar PBB, termasuk Indonesia. Di samping itu, ada semacam "pengkhususan" HAM. Misalnya pada Penyandang Disabilitas. Lalu orang mulai bertanya, "Katanya semua sama di mata hukum (equality before the law)? Kenapa harus ada yang dikhususkan?"

Pertama, tidak semua orang lahir dengan potensi yang sama. Setiap orang dilahirkan dengan situasi alami yang beda, termasuk keterbatasannya dalam dunia sosial. Lalu, kedua, karena setiap orang bisa berbeda keterbatasannya (didukung oleh ketidakadilan konstruksi sosial), jadi hukum perlu hadir untuk memberikan jaminan pada hidupnya, termasuk haknya (Hak Ekosob). 

Maka, ketiga, pengkhususan hukum, misalnya bagi Penyandang Disabilitas, tidak boleh disamakan dengan asumsi "setiap orang beda di mata hukum". Justru hukum menjamin kesempatan yang sama bagi setiap orang. Inilah equality before the law: hukum menjamin setiap orang mempunyai akses yang sama berangkat dari keterbatasan yang berbeda.

Coba bayangkan jika persamaan di hadapan hukum dipahami sebagai pemberian hak yang sama tanpa pandang keterbatasan manusia. Artinya hukum justru berlaku tidak adil karena membiarkan yang lemah dimangsa yang kuat.

Namun, meski hukum telah menjamin hak setiap orang, tapi nyatanya masih ada saja yang melanggar. Inilah yang saya temui dalam kasus Undang-Undang Penyandang Disabilitas (8/2016). Telah lama dibuat pelindungan hukum beserta perintah turunannya, tapi ada juga institusi atau sektor swasta yang tidak memperhatikan amanat Undang-Undang -- saya telah menyinggungnya dalam dua tulisan sebelumya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun