Kita terlanjur hidup di dunia simulasi. Batas antara yang nyata dan tidak nyata menjadi keruh. Saya jadi tidak tahu kamu ini benar-benar tulus atau tidak, sih?
So, apa yang baru dari peristiwa lebaranmu, Sobat? Mending saya, mengasingkan diri di kota, tidak merayakan lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak juga beli pakaian. Peristiwa baru, kan?
Jangan dulu menuduh saya "seorang manusia pesimis dan tidak maju tidak peduli keluarga".
Saya debat Anda!
Saya hanya sedang merayakan keterasingan, seperti Anda yang sedang merayakan keumuman.
Saya merasa sunyi. Jelas!
Menikmati lebaran di sekretariat, dengan rumah dua teras, tiga ruang tamu, satu ruang makan, lima kamar tidur, dan dapur dengan bentuk lorong, plus tempat di mana teman sebantal saya baru meninggal. Ngeri, bukan? Sunyi berbaur horor.
Masih mau jadi manusia tidak normal?
Saya ulangi, kesunyian itu adalah ketidaksukaan pada kenyataan. Dengan cara mencari kesunyian sebenarnya kita sedang berharap pada inti dari manusia. Suatu masyarakat yang selalu ingin ramai. Ramai dalam arti tidak seperti di pantai, banyak manusia namun banyak yang tidak kita tahu.
Ramai itu ketika kita harus memperbaiki rambut kita saat di pantai karena yakin bahwa semua orang akan menegur jika rambut saya setengah acak.
Aristoteles berkalimat: bagaimana menguji kebijaksanaanmu? Yaitu dengan cara menempatkan dirimu di situasi yang mungkin membuat Anda tidak bisa bijaksana, misalnya dengan meminum anggur. Apakah masih bisa bijaksana jika sedang mabuk? Artinya jika ingin mengasah sifatmu, atau pikiranmu, lawankanlah dengan situasi yang terbalik.