Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Kemanusiaan dari Tunanetra

29 September 2019   13:16 Diperbarui: 29 September 2019   13:37 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: mudanews.com

Ada beberapa orang yang menganggap istilah spiritualitas hanya terbatas pada definisi agama. Padahal, spiritualitas lebih besar definisinya dan bisa lepas dari pendekatan agama.

Bagi beberapa orang, spiritualitas adalah hasrat pembangkit harapan yang mendorong manusia untuk bertahan hidup. Spiritualitas juga merupakan konektifitas hati nurani antar manusia -- seperti Mahatma Gandhi yang memanfaatkan hati nurani lawannya yang memukul dirinya hingga berhenti memukul. Artinya juga, semua orang yang berpikir mempunyai spiritualitas pada dirinya dan juga berjuang untuk harapan-harapannya, tidak terkecuali kelompok penyandang tunanetra.

Beberapa bulan ini, saya mendampingi salah satu organisasi Tunanetra, Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Sulawesi Utara, dalam satu kegiatan nasional. Mendampingi untuk mondar-mandir di pintu pemerintahan membawa lembar-lembar surat proposal permohonan dana. Sekedar menagih partisipasi pada pemimpin sembari mengukur seberapa jauh keramahan pemerintah setempat akan kelompok tunanetra.

Kegiatan kali ini adalah Musyawarah Nasional (Munas ITMI) yang diadakan di Cimahi pada tanggal 21 September 2019. 

Tentunya, harapan untuk menghadiri kegiatan, selain karena diundang, terus mendorong semangat untuk sampainya proposal permohon dana di tangan yang berwenang agar cepat dieksekusi.

Dari segala macam upaya, termasuk follow up surat instruksi Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia  (KEMENDAGRI RI) terhadap pemerintah setempat untuk menanggulangi keberangkatan ke Munas ITMI, nyatanya pemerintah tidak punya dana untuk kegiatan ini. Dalih yang primitif.

Saya mengikuti terus proses dari pintu ke pintu dan mematuhi administrasi yang memuakkan; jerat paragdigma birokratisme yang berbasis efisiensi, efektifitas, yang dibalut dengan jerat rasionalitas, memang tidak tebang pilih. Semua rakyat sama di mata administrasi negara. Kecuali mereka.

Hal ini tidak lumrah kita temukan dalam keluhan rakyat akan proses tata kelola sektor publik, analisis tentang pergeseran konsep government ke governance. Yaitu, para oligarki.

Teman-teman ITMI yang sangat pintar merasa dari pengalaman-pengalaman, tentunya, punya harapan seperti manusia di luar pulau Jawa pada umumnya; sekedar ingin merasakan kerasnya benturan sosial pulau Jawa ataupun mencari pengalaman baru lepas dari kediaman halaman.
Hasilnya, sudah jelas: dalih primitif. Dengan membangun alasan di atas dalih administrasi yang berbelit-belit dan membingungkan. Mengoceh dan mengecoh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun