Mohon tunggu...
fivi erviyanti
fivi erviyanti Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota 19 Universitas Jember

191910501051- S1 PWK Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Money

Perimbangan Keuangan sebagai Implementasi Desentralisasi Fiskal

18 April 2020   22:02 Diperbarui: 18 April 2020   22:02 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Banyak perubahan terjadi pada pemerintahan Indonesia seiring dengan berakhirnya kekuasaan orde baru tahun 1998. Sebelumnya negara Indonesia pernah menganut sistem pemerintah yang terpusat atau sentralistik. Hal tersebut terlihat jelas dari cara kerja yang kurang melibatkan peran stakeholder di daerah secara langsung dan adanya sifat dominasi pemerintah pusat dalam merencanakan dan menetapkan prioritas pembangunan di daerah. Kondisi ini berubah ketika dimulainya era reformasi yang mulai beralih ke sistem desentralisasi. Dalam hal ini desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, terutama agar bisa memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan bersama yang lebih demokratis.

            Dimulainya penerapan konsep desentralisasi di negara Indonesia ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini menjadi landasan dasar bagi pemberian wewenang otonomi daerah yang semakin besar kepada daerah. Dengan adanya otonomi daerah maka pemerintah dituntut untuk menyelenggarakan pemerintahan yang akuntabel dan transparan. Selain itu implikasi dari kebijakan otonomi daerah tersebut adalah supaya daerah memiliki tanggung jawab serta wewenang dalam mengolah rumah tangganya sendiri dan memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai kepentingan pemerintah daerahnya masing-masing.

            Dalam pelaksanaannya, kebijakan otonomi daerah daerah juga didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah seperti yang tertera dalam peratuan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat-Daerah. Menurut undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perimbangan keuangan pusat dan daerah ialah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan. Diantaranya yaitu menyangkut pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah  serta pemerataan antardaerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan kondisi, potensi, serta kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata acara penyelenggaraan kewenangan tersebut.

            Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian direvisi lagi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Di dalamnya terdapat aturan mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan diarahkan untuk mempercapat kesejahteraan rakyat, termasuk juga kewenangan untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah sendiri. Pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal (157) menyebutkan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari :

  • hasil pajak
  • hasil retribusi daerah
  • hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
  • lain-lain yang sah

Perkembangan dan pembangunan suatu daerah dapat dipengaruhi oleh kemampuan daerah dalam mengelola PAD itu sendiri.

            Secara umum, konsep demokrasi dapat dikategorikan menjadi Desentralisasi Politik (Political Decentralization), Desentralisasi Administrasi (Administration Decentralization), Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization), dan Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization).

            Salah satu komponen utama dalam konsep desentralisasi yaitu desentralisasi fiskal. Apabila pemerintah daerah diberi kebebasan dalam pengambilan keputusan penyedian pelayanan publik serta mengimplementasikan fungsi desentraliasi fiskal secara efektif, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang bersal dari PAD termasuk surcharge taxes, subsidi/bantuan dari pemerintah pusat, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, maupun pinjaman. Implementasi desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik jika berpedoman pada hal-hal sebagai berikut :

  • adanya pemerintah pusat yang kompeten dalam melakukan pengawasan dan enforcement
  • terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.

Dari sisi keuangan negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Terbukti dari waktu pertama kali pelaksanaanya (2001), terlihat adanya peningkatan yang cukup signifikan. Transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menyebabkan pengelolaan fiskal pemerintah pusat secara umum berkurang. Sementara itu proporsi pengelolaan fiskal dalam penyelenggaraan pemerintah yang menjadi tanggung jawab daerah sepenuhnya melalui APBD akan meningkat tajam. Perubahan pada peta fiskal ini juga dibarengi dengan kenyataan bahwa daerah akan mempunyai fleksibilitas yang cukup tinggi, bahkan dikresi penuh dalam pemanfaatan sumber-sumber utama pembiayaan tersebut.

Sumber-sumber pembiayaan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat berasal dari PAD, dana perimbangan ( bagian daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan/ revenue sharing, DAU, DAK), dan pinjaman daerah. Salah satu wujud dari pelaksanaan desetralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dalam UU no. 34 tahun 2000 dan PP no.66 tahun 2001 tentang retribusi daerah. Berdasarkan UU dan PP tersebut daerah memiliki kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi yang didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut di hampir semua daerah dan pungutan ini merupakan jenis yang secara teori dan prakteknya jenis yang baik.

Pola bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak (SDA) antara pusat dan daerah dapat dilakukan untuk menambah pendapatan daerah. Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumidan Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri darisektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam,dan perikanan.

Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri) tujuannya untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayan dan penguasaan pajak antara pusat dan daerah. Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Dana Alokasi Khusus (DAK) yang hakikatnya berasal dari APBN dialokasikan kepada daerah untuk membantu kebutuhan khusus. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN. Selain itu dalam rangka pemenuhan kebutuhan daerah terkait penyediaan prasarana, daerah juga bisa melakukan pinjaman modal baik yang berasal dari dalam negeri (Pusat dan Lembaga Keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan dari pusat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun