Mohon tunggu...
fivi erviyanti
fivi erviyanti Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota 19 Universitas Jember

191910501051- S1 PWK Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Money

Covid-19, Gejolak Ekonomi, dan Perpajakan

11 April 2020   15:04 Diperbarui: 11 April 2020   16:18 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Seperti yang kita ketahui, pajak memiliki arti dan peran yang sangat penting pada suatu negara. Pajak merupakan sumber penerimaan yang utama bagi negara untuk menyokong pembiayaan pembangunan nasional. Penyelenggaraan negara dapat terlaksana berkat pendanaan yang tersedia bersumber dari penerimaan pajak yang dibayar oleh masyarakat. 

Pembayaran pajak juga merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta langsung masyarakat dalam menjalankan kewajibannya sebagai warga negara. 

Pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan di berbagai bidang, bisa disadari bersumber dari dukungan pajak bagi pembiayaan pembangunan. 

Dengan dukungan pajak tersebut, kegiatan ekonomi masyarakat mengalami peningkatan dan kemajuan, serta turut mendorong kesejahteraan masyarakat makin bertambah tinggi.

Belakangan ini, dunia menghadapi suatu wabah baru yang cukup menggemparkan, yaitu munculnya Corona Virus Disease atau yang kini disebut dengan Covid-19. Kehadiran virus ini menimbulkan sejumlah kekhawatiran bagi masyarakat dan menjadi pusat perhatian utama seluruh penghuni dunia. 

Virus ini diketahui pertama kali dilaporkan menginfeksi seseorang di Wuhan, China pada Desember 2019. Kemudian virus ini menyebar ke berbagai negara seperti Italia, Amerika, Korea, Jepang, bahkan Indonesia. Wabah virus Corona hampir mirip dengan Sindrom Pernapasan Timur Tengah atau MERS dan Sindrom Pernapasan Akut Parah atau SARS.

Dalam rangka upaya mencegah penyebaran covid-19, pemerintah menghimbau untuk membatasi aktivitas yang membutuhkan kontak secara langsung. Berbagai kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti sekolah, pertemuan, maupun bekerja mulai dilakukan secara online, bahkan dihentikan sementara.

Tidak dapat dipungkiri bahwa wabah Covid-19 berdampak serius terhadap penekanan pertumbuhan ekonomi dunia. Kebijakan karantina wilayah atau lockdown di puluhan negara dan pembatasan sosial mulai turut menyeret arus ekonomi di Indonesia. 

Penyebaran corona sudah mulai berdampak pada sektor transportasi, perhotelan, perdagangan ritel, manufaktur, pariwisata, dan bahkan investasi. Sejumlah lembaga memproyeksikan turunnya pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2020 ini. 

Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan bangsa-bangsa (UNCTAD) memperkirakan pertumbuhan dunia di bawah 2 persen, sementara Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,4 persen turun dari perkiraan sebelumnya 2,5 persen. Adapun menurut perkiraan Bank Indonesia proyeksi pertumbuhan ekonomi negara akan berada di kisaran 4,2-4,6 persen, lebih kecil dari perkiraan semula 5,0-5,4 persen.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia tersebut pada akhirnya berimbas pula pada besaran penerimaan pajak nasional. Dengan merebaknya Covid-19, penurunan penerimaan negara akibat terganggunya aktivitas ekonomi tentu akan berdampak buruk baik bagi sektor perpajakan, bea, cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Penerimaan ini terutama dari sektor perpajakan sebagai penyumbang penerimaan negara yang paling dominan. 

Penerimaan pajak yang turun disebabkan dunia usaha yang mengalami tekanan karena pandemi Covid-19 sehingga tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Selain itu penerimaan yang berasal dari sektor lain turut mengalami tekanan. Karena Covid ini menyebar hampir ke semua sektor perekonomian Indonesia seperti buruh dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah. 

Kondisi pelaku ekonomi yang melemah ini akibatnya menurunkan kemampuan untuk membayar pajak. Di sisi lain, belanja negara justru mengalami peningkatan demi mitigasi dari dampak Covid-19 ke perekonomian dengan memberikan stimulus kepada semua sektor yang mengalami penekanan.  

Selain faktor faktor domestik, penerimaan pajak di tahun 2020 ini juga banyak mendapat pengaruh dari tekanan ekonomi global. Secara garis besar, dampaknya terlihat dari penurunan volume perdagangan ekonomi internasional. Tekanan global itu ujungnya bisa memperngaruhi kinerja penerimaan pajak tahun ini. 

Tekanan penerimaan pajak juga tampak timbul pada penerimaan PPh migas. Anjloknya harga minyak dunia karena perang harga antara Rusia dan Arab Saudi mempengaruhi penerimaan pajak dari sektor minyak dan gas. Harga minyak sempat menyentuh level terendah sejak tahun 2016, yaitu 30 dollar AS per barel, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan awal januari 2019 saat harga minyak WTI masih berada di nominal 61.18 dolar AS per barel. 

Dari perhitungan yang dilakukan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menunjukkan bahwa setiap harga minyak dunia turun 1 dolar AS per barel per tahun akan menekan penerimaan PPh migas hingga Rp 776 miliar. Padahal pemerintah menetapkan harga minyak Indonesia atau ICP dalam APBN sebesar 63 dolar AS per barel . Rata-rata ICP minyak mentah Indonesia pada Februari 2020 pun turun dari bulan sebelumnya.

Untuk mengendalikan penurunan pajak di tengah pandemi Covid-19 ini, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah  antisipatif dalam rangka tetap menjamin kestabilan penerimaan pajak. 

Misalnya dengan memperluas basis pajak. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara mengoptimalkan data keuangan dari perbankan dan lembaga lainnya berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Selain itu ada juga informasi perpajakan yang dihimpun secara otomatis sebagai bentuk penerapan hasil konsensus global. 

Pengoptimalan tersebut bisa dilakukan pada kepatuhan dari sektor atau wajib pajak. Otoritas pajak semestinya memperkaya data serta informasi basis pajak, sehingga aspek kepatuhan formal bisa tumbuh dan kepatuhan material memiliki kualitas pajak yang baik. Pemerintah sendiri memiliki target tingkat kepatuhan formal wajib pajak di level 80-85 persen di tahun ini. 

Pemerintah pun dapat mengambil strategi yang diarahkan demi mendorong meningkatnya rasio pajak melalui beberapa inovasi insentif fiskal agar mendongkrak daya saing dan investasi. Moderasi pemungutan juga bisa menjadi salah satu alternatif pilihan pemerintah di tengah gejolak ekonomi akibat Corona virus. Moderasi pemungutan tersebut yakni pemerintah tidak perlu memaksakan pemungutan pajak. Pemungutan pajak yang terlalu keras saat ini akan membuat kontraksi perekonomian.

Dalam menghadapai dampak Covid-19 pemerintah Indonesia juga akan menerapkan pemajakan atas transaksi elektronik guna menjaga basis pajak, sehingga Direktorat Jendral Pajak (DJP) bisa memungut PPN dan pajak transaksi elektronik tersebut. Ada dua poin yang akan dilakukan pemerintah. Yang pertama yaitu pemungutan dan penyetoran PPN atas impor barang tidak berwujud dan jasa oleh platform luar negeri. 

Kedua, pengenaan pajak kepada subjek pajak luar negeri yang memiliki significant economic present di Indonesia dengan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Pasal mengenai PMSE juga sudah masuk dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penangan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Oleh karena itu, kini perusahaan berbasis digital seperti Netflix, Zoom, Google, dan Spotify harus membayar pajak di Indonesia, dan pelanggan aplikasi tersebut bakal dikenakan biaya tambahan 10% sebagai pajak digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun