Mohon tunggu...
Fitriyah Latifa
Fitriyah Latifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Saya adalah seorang mahasiswi jurusan S1 Ekonomi Islam di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ijabsah Dini sebagai Solusi Kemiskinan atau Justru Penyebab Kemiskinan?

23 Juni 2022   21:12 Diperbarui: 23 Juni 2022   22:22 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kata ijabsah dini mungkin menjadi kata yang asing ditelinga banyak masyarakat, padahal maknanya sama seperti fenomena yang marak di sekitar mereka. Sebenarnya, ijabsah dini merupakan nama lain dari fenomena menikah atau pernikahan dini. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang diizinkan adalah apabila pria dan wanita telah berumur 19 tahun. Sehingga, dapat dipahami bahwa pernikahan sebelum usia 19 tahun adalah pernikahan dibawah umur atau pernikahan dini. Aturan ini hadir tentu karena adanya pertimbangan mengenai banyak dampak negatif yang akan terjadi akibat pernikahan dibawah usia tersebut. Namun jika kita menengok pada realita yang ada, kasus pernikahan dini masih menjadi kasus yang tidak ada habisnya baik secara global maupun nasional. 

UNICEF bahkan menyebutkan bahwa ada sekitar 650 juta perempuan atau anak perempuan yang hidup hari ini melangsungkan pernikahan sebelum usia mereka genap 18 tahun. Sedangkan, di Indonesia sendiri maraknya fenomena pernikahan dini masih terus meningkat apalagi pada masa pandemi Covid-19. Dilansir dari katadata.com yang meneruskan data dari Direktorat Jenderal Peradilan Agama yang menyebutkan bahwa ada 34 ribu permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari-Juni 2020 dimana jumlah ini meningkat sebanyak 10.300 permohonan. Dari jumlah permohonan tahun 2020 tersebut, 97% permohonan dikabulkan yang mana 60% yang mengajukannya adalah anak dibawah usia 18 tahun. 

Ijabsah dini sebenarnya tidak dibenarkan dan masih perlu banyak sekali pertimbangan dalam menjalankannya. Hal ini dikarenakan berbagai dampak dari banyak sisi yang mungkin menjadi batu hambatan yang besar bagi suatu hubungan serius yang dijalankan oleh mereka yang dianggap belum dewasa. Banyak pula faktor yang melatarbelakangi hal ini, salah satunya adalah faktor ekonomi atau kemiskinan. Penelitian dari UNICEF dan UNFPA menunjukkan bahwa kemiskinan menjadi faktor pendorong utama dari ijabsah dini di berbagai negara berkembang. Anak perempuan dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah cenderung dianggap sebagai beban dalam keluarga dan pernikahan dianggap sebagai jalan pintas yang dapat menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Paradigma para orang tua dengan latar belakang kondisi ekonomi seperti itu menganggap bahwa dengan menikahkan anak perempuannya maka kesejahteraan dan kondisi ekonomi rumah tangga mereka akan membaik terlepas dari resiko kedepannya yang akan dirasakan oleh anak perempuannya yang belum mencapai usia mampu untuk melaksanakan pernikahan. 

Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi perempuan usia 20-24 tahun di pedesaan yang melangsungkan pernikahan sebelum usia 18 tahun masih lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan di daerah perkotaan. Data tersebut mencatat bahwa persentase pernikahan dini di desa adalah 16,87% sementara di perkotaan hanya sebesar 7,15%. Dari data ini dapat diartikan bahwa perbedaan kondisi sosial dan paradigma masyarakat di perkotaan dan di pedesaan memang berpengaruh pada maraknya pernikahan dini yang terjadi. Hal ini dapat terjadi karena kondisi kewaspadaan, edukasi, dan perhatian mengenai bahaya dan resiko dari pernikahan dini antara masyarakat perkotaan dan pedesaan yang masih terdapat kesenjangan.

Lalu, apakah benar ijabsah dini dapat menjadi jalan keluar bagi keluarga miskin?

Setelah mengulas kemiskinan sebagai faktor penting yang turut mendorong terjadinya pernikahan dini di Indonesia, maka bukan berarti pernikahan dini benar-benar dapat menjadi solusi akhir bagi terpuruknya kondisi ekonomi suatu rumah tangga. Namun, pada realitanya kasus pernikahan dini yang ada justru membuka rantai kemiskinan baru bagi suatu keluarga. Kondisi fisik dan mental anak di bawah usia dewasa yang dihadapkan dengan tekanan dan tanggung jawab rumah tangga tentu masih belum dapat dikatakan mumpuni sehingga perlu banyak sekali kesiapan sebelum melaksanakannya. Mindset keluarga miskin yang menikahkan anaknya dengan alasan agar dapat mendorong kondisi ekonomi keluarganya tanpa sadar justru akan menjadi tambahan beban bagi keluarga pihak lainnya. Apalagi jika kedua keluarga ternyata memiliki kondisi ekonomi yang cenderung serupa. 

Anak usia remaja yang terlibat dalam pernikahan dini tentu akan berdampak pula pada kondisi sosial, pendidikan, ketenagakerjaan, dan lainnya yang dampak-dampak pada beberapa bidang itu akan berkorelasi pula pada kondisi ekonomi suatu negara. Anak usia remaja atau di bawah usia cukup untuk menikah yang seharusnya masih duduk dibangku sekolah dan menjadi generasi emas penerus bangsa akan terputus masa depannya. Jumlah generasi yang seharusnya dapat melanjutkan pendidikan dan menjadi SDM unggul yang nantinya dapat mendorong keberlanjutan pembangunan ekonomi bangsa akan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan baik anak laki-laki atau perempuan yang melangsungkan pernikahan dini biasanya adalah mereka yang telah putus pendidikan sebelum menikah atau tidak melanjutkan pendidikan setelah menikah. Anak-anak tersebut tanpa sadar akan terisolasi dari jangkauan lingkungan sosial mereka yang seharusnya lebih luas dimana cenderung tidak mendapatkan pengetahuan baru, keterampilan baru, dan lainnya yang seharusnya dapat mendorong pembangunan ekonomi suatu negara.

Oleh karena itu, usaha pencegahan dan penyelesaian fenomena pernikahan dini bukanlah tanggung jawab satu atau dua pihak saja namun menjadi tanggung jawab semua pihak. Hal ini karena faktor atau dampak dari ijabsah dini sangatlah berkorelasi, mulai dari sosial, tradisi, pendidikan, ketenagakerjaan, pembangunan ekonomi, dan lainnya. Berbagai upaya harus terus digalakkan dan menjadi perhatian serta prioritas banyak pihak, mulai dari usaha pengentasan kemiskinan, memastikan kesetaraan layanan pendidikan dan kesehatan yang merata dan berkualitas, menguatkan sistem perlindungan dan kesejahteraan anak, perubahan pola pikir mengenai perlindungan anak dan penguatan edukasi bagi orang tua mengenai risiko pernikahan dini bagi anak. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun