Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari yang Muram untuk Bercerita

9 April 2017   07:03 Diperbarui: 10 April 2017   02:00 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber llustrasi: Flickr Hive Mind

Ini hari yang muram untuk bercerita. Aku mulai memikirkannya saat menemukan kegembiraan sedang menari-nari dalam bening matamu. Kamu mengatakan akan pergi hari ini. Menuju rumah tempatmu bercengkerama. Ini kepulanganmu yang ke seratus empat puluh satu. Aku menghitungnya dengan teliti seperti mengenang setiap detik pertemuan kita: senja-senja di danau, keheningan, dan sampan-sampan yang pulang menuju ke tepian.    

“Aku akan pulang, Kira,” cetusmu. Sepasang matamu bercahaya, serupa semburat yang bermegah dengan sisa-sisa cahaya. Kamu meneriakkan kepulanganmu pada nyiur yang berbaris, bebatuan dan seekor camar yang melintas. Suaramu bercengkerama dengan angin sepoi yang menerbangkan ujung rokku yang menyentuh mata kaki.

Saat-saat ini sepertinya akan selalu terulang. Seratus empat puluh satu kali tepatnya: aku membisu kehilangan kata-kata, sementara kamu menuturkan kalimat-kalimat bernapaskan kerinduan. Ketika air pasang mulai menyeret lapisan-lapisan pasir menuju lautan, sebuah tembok telah berdiri di antara kita. Kokoh. Seseorang sedang sedang mati-matian mengemas pilu pada salah satu sisinya, sedangkan yang lain memikirkan dunia yang sedang menantinya.

“Boleh aku menitipkan cerita di sakumu?” Aku bertanya setelah kita terpisah sesaaat oleh jeda. Selain cerita, aku sungguh tak memiliki apa-apa. Cerita itu kutulis sembari melalui malam-malam sarat kecemasan. Menanti kabar tentang kepulanganmu yang seolah kepergian selamanya lalu didera perasaan akan kehilangan.

Kamu lantas tersadar dari ingar-bingar keriangan dalam benakmu. “Cerita?” tanyamu dengan nada ragu. “Untuk apa?”

“Sebagai teman perjalanan. Cuma itu yang bisa kuberikan.” Getir. Entah mengapa harus merasa begitu. Kamu mungkin akan tertawa jika mengetahuinya. Ada kemungkinan kamu takkan pernah membaca cerita yang akan kutitipkan. Karena rumah yang kamu tuju lebih menarik ketimbang cerita yang terselip di dalam saku. Mungkin pula kamu akan membacanya. Sekilas. Lalu segera melupakan isinya sebelum sempat memahami maksudnya.

Kamu menggeleng-gelengkan kepala.  “Kamu tak perlu memberikan apa-apa. Ini bukan kepulangan pertamaku. Jangan bersikap seolah-olah kita takkan bertemu lagi.”

“Menitipkan cerita belum tentu perpisahan. Bacalah.” Aku mulai ingin bersikeras. “Kamu cukup menerimanya. Jangan dibaca jika kamu tak sudi membacanya.”

“Kamu sulit dipahami, Kira.”

Aku tertawa sumbang. “Aku bahkan tak memahamiku diriku sendiri. Mengapa aku menginginkan sebungkus kembang gula meski gigiku akan berlubang lalu berdenyut kesakitan?” Aku membuang pandang ke laut lepas dan menginginkan malam bergegas agar pertemuan ini segera berakhir.

“Jangan membebani pikiranmu.” Kamu tersenyum datar. “Bukankah aku akan selalu kembali ke sisimu? Masih banyak senja yang menanti kita, Kira.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun