Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RTC] Kita Harus Melawan Lapar

8 November 2021   15:24 Diperbarui: 8 November 2021   21:16 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kesedihan Ibu Sumber: rimma.co

“Kau benar.” Cileni mulai menangis.

Setelah tangisnya reda, kuajak Cileni untuk belajar melawan rasa lapar. Kami bersenandung, bercerita, dan berkhayal tentang makanan lezat. Cileni masih menangis sesekali. Namun, aku terus memompa semangatnya. Adakalanya Cileni kuat, tetapi di lain waktu ia kalah dan kehilangan kesadaran sesaat. 

Ia menceracau bahwa ia sedang berada di langit biru cerah dan berbaring di mega-mega empuk seputih kapas. Cileni berkata bahwa mega-mega itu jauh lebih empuk dari lantai kayu di kamarku.

Kita harus melawan lapar. Kalimat itu berulang-ulang kubisikkan pada Cileni saat ia terbius rasa lapar. Kini Cileni lebih banyak tersenyum. Ia bahkan bisa tertawa dan mengatakan bahwa akhirnya ia berhasil mengalahkan rasa lapar. Aku sungguh bahagia mendengarnya. Kami mulai membuang semua ubi rebus yang disediakan ibu diam-diam.

“Cilesi... Cilesi... bangunlah.” Sayup-sayup kudengar suara ibuku memanggil. Ibu berada di dekatku, tetapi parasnya terlihat samar. Lenganku menggapai-gapai hingga ujung jemariku berhasil menyentuh rupa ibu. “Makanlah ini.” Aroma ubi rebus memenuhi penciumanku. Bibirku menyentuh ubi yang disuapkan ibu, masih hangat, membuatku hampir tergoda. Kulirik Cileni, tapi ia menggeleng. Cileni benar-benar telah berhasil melawan rasa lapar. Ia bahkan mengalahkanku.

“Ti-dak u-sah, Bu,” tolakku.

“Kau harus makan. Kalau tidak, kau bisa mati.” Kali ini keluhan ibu tidak terdengar. Ia mulai berkata-kata dengan nada panik sambil berusaha menyuapkan ubi ke dalam mulutku. Lalu, aku mendengar ibu mengucapkan kata maaf.

“Ti-dak per-lu. A-ku ti-dak la-par.”

Ibu memegang dahiku. Mulutnya terus berkata-kata. Namun, aku tak bisa mendengar apa-apa.

“Rasa lapar itu sudah kita kalahkan,” bisikku pada Cileni dengan rasa puas.           

Kami berpandangan sesaat sebelum Cileni melayang keluar dari jendela kamarku. Tak lama kemudian, aku pun mengikutinya. Sayup-sayup, terdengar suara ibu memanggil-manggil namaku. Ketika aku menoleh ke belakang, belum pernah kulihat hujan di mata ibu turun begitu derasnya. Tiba-tiba aku sangat merindukan ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun