Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RTC] Kita Harus Melawan Lapar

8 November 2021   15:24 Diperbarui: 8 November 2021   21:16 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kesedihan Ibu Sumber: rimma.co

Aku menentang mata ibu tanpa menjawab apa-apa. Aku menahan keinginan untuk mengatakan agar ia bersikap layaknya seorang ibu dan berbohong sama sekali tidak termasuk di dalamnya.

“Sudah nasibku.” Ibu mulai menepuk dadanya. “Anak gadisku sendiri bahkan tidak memercayaiku.”

“Tolong, jangan mulai lagi. Apa yang Ibu harapkan dariku?” Tiba-tiba aku ingin sekali meninggalkan rumah jika aku bisa melakukannya. Cahaya dari jendela kami mulai remang dan kata-kata ibu seperti sekumpulan omong kosong yang harus segera kutinggalkan. Aku bahkan tak memahami mengapa aku mampu bertahan tinggal bertahun-tahun bersama sekumpulan itu.

“Tidak ada. Kau boleh menyimpan rahasia itu atau membuangnya.” Ibu lalu memandang ke luar jendela. Keluhan mulai meluncur dari bibirnya. Ibu mulai menyesali hidupnya seperti hari-hari sebelumnya di bawah jendela kayu, beralaskan sebuah tikar.

Kutinggalkan ibuku dan berjuang masuk ke dalam kamar. Lewat jendela kamarku, aku memandangi matahari yang bergulir turun sambil memikirkan kata-katanya.

***

Sejak saat itu, Cileni mulai hadir dalam kehidupanku. Aku tidak tahu dari mana gadis itu berasal atau di mana ia tinggal. Mungkin ia sedang mengunjungi keluarganya di sekitar sini, begitulah yang kupikirkan. Ia ada ketika aku merasa sesak mendengar kata-kata ibu. 

Berbeda denganku, Cileni sungguh rapuh. Ia selalu melihatku dengan sepasang mata sayu. Awalnya, kupikir keberadaan Cileni akan membuatku sama kesalnya seperti keberadaan ibu. Namun, Cileni tidak pernah mengeluh. Karena itu pula aku bisa menerima kehadirannya.  

Keberadaan Cileni membuatku mulai terbiasa dengan adanya seseorang di sekitarku. Ia hadir saat aku merasa jenuh sendirian. Ketika kemarahanku sedang menyala, ia akan  mendengarkan dengan sabar. Tak banyak yang ia katakan, ia lebih banyak mengangguk. Hingga suatu hari, aku menemukan Cileni menangis tersedu-sedu di bawah jendela kamarku. Tingkahnya sungguh mirip dengan ibu.

“Aku tak suka kau menangis,” kecamku. Kalau mau, Cileni bisa bercerita padaku seperti yang sering kulakukan padanya karena aku benci melihat air mata.

Cileni memandangku dengan sepasang matanya yang sayu. “Aku lapar.” Ia kembali menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun