"Kau! Itu kau! Mengapa kau tak menolong kami? Jangan-jangan kau yang menyebabkan semua petaka ini!" Seseorang berkata lantang menjatuhkan tuduhan. Suara-suara semakin riuh ketika orang-orang membenarkan tuduhan itu.
"Kalian menuduhku? Aku sudah memberikan banyak harapan kepada kalian!" Kau mulai kehilangan kesabaran dan membuka jati dirimu. "Mengapa kalian malah menyalahkanku?" Kau menatap nanar pada wajah-wajah yang dulu memujamu dan nyaris tak percaya. "Ingatlah, aku pernah menjaga kota ini dengan setia."
"Kau pendusta!" Orang-orang berseru-seru. "Harapan-harapan yang kau berikan semuanya palsu! Imitasi! Kehadiranmu di kota ini adalah kutukan!" Kemarahan mulai menggelegar dan siap menghanguskan.
"Tidak! Kalian keliru! Matahari bersinar atas kehendaknya sendiri. Pikiran kalian sedang tersesat!
Orang-orang tak ingin dihentikan. Mereka mulai mengepungmu. Kau dicekam ketakutan luar biasa. Sisa-sisa tenaga membawamu berlari. Mereka berusaha menahan tangan dan kakimu. Namun, kau berjuang melawan ketakutanmu. Kau melepaskan diri dan melesat menuju bukit kecil yang tiba-tiba kau rindukan. Sesampainya di sana, kau memuaskan dahaga lalu tersedu-sedu menyesali kehilangan.
Matahari di bukit tak pernah membakar jiwamu. Ketika malam tiba, kau menatap ke kejauhan. Sepi mengurungmu. Sesekali kau masih merindukan kota. Pada waktu itulah, kota mulai tumbuh dalam belantara pikiranmu. Meskipun begitu, kau tak berniat lagi untuk mengunjunginya.
***
Tepian DanauMu, 13 Mei 2018