"Seluruh rumah kita kini didominasi warna putih," komentarku. Kami duduk bersisian di atas sofa baru dan tak henti-hentinya mengamati seluruh penjuru rumah.
"Seharusnya, kita lakukan ini sedari dulu," timpalnya riang.
"Tak masalah terlambat. Perabot-perabot lama itu," aku menunjuk beberapa perabot lama yang telah hadir sejak kami menikah, "meski tak putih namun memiliki kenangan sendiri."
"Kau benar."
Keesokan harinya, suamiku pulang dengan membawa sekaleng besar cat putih. Tentu saja hal itu membuatku kebingungan. Seluruh dinding sudah dilapisi dengan warna yang sama. Lalu, untuk apa ia membeli cat sebanyak itu?
"Ini untuk jaga-jaga. Kita tidak pernah tahu kapan noda akan mengotori dinding-dinding rumah kita," jelasnya saat aku bertanya.
"Tapi... kau kan baru saja mengecatnya," bantahku.
"Suamiku menatapku lama. "Selalu akan ada noda. Kau tahu itu," desisnya.
Kata-katanya membuatku terdiam. Untuk pertama kalinya, aku merasa takut padanya. Ketakutan itu semakin bertambah manakala ia terus mencari-cari noda di dinding sebagai alasan untuk menggunakan sekaleng cat yang baru dibelinya. Iring-iringan semut, darah nyamuk, atau noda lain sekecil apa pun akan membuatnya murka. Ia akan membersihkan noda itu satu persatu dengan saksama. Hal itu terus berulang setiap hari sehingga membuatku resah.
"Bisakah kau menghentikannya? Kau sekarang sering bolos bekerja," protesku padanya. "Kita masih membutuhkan biaya untuk dapur dan lainnya." Saat mengucapkan kalimat terakhir, sebenarnya hatiku agak gentar. Aku takut akan mengundang kemarahannya. Tapi aku harus mengatakannya. Aku tak ingin suamiku dipecat dari pekerjaannya.
"Apa maksudmu? Aku sedang mengawasi dinding-dinding rumah kita," ucapnya tanpa ekspresi.