Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pentingnya Realitas Rasa dalam Sebuah Cerita

18 Maret 2018   19:00 Diperbarui: 19 Maret 2018   15:30 2415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.theodysseyonline.com

Seorang gadis sedang duduk gelisah dalam angkutan umum yang sedang melaju. Sebentar-sebentar, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, melihat layar, lalu memasukkan kembali benda itu ke dalam saku. Parasnya berubah mendung. Sepasang matanya berkaca-kaca. Sejurus kemudian, ia mendekatkan ponselnya ke telinga untuk mendengarkan lagu. Ia tampak larut dalam kesedihan. Sambil bersenandung lirih, kedua bahunya berguncang hebat. Tangisnya semakin kencang. Sekonyong-konyong, gadis itu melemparkan ponselnya ke jalanan...

Adegan di atas bukanlah adegan dalam sebuah film atau sinetron. Saya menyaksikan adegan itu beberapa tahun yang lalu, ketika harus keluar kota untuk sebuah urusan. Saya sangat terkejut kala itu. Bayangkan saja, gadis remaja di depan saya tiba-tiba melemparkan ponselnya keluar dari angkutan umum yang sedang melaju kencang. Gadis itu lalu bersenandung sambil terus menangis sepanjang perjalanan, seakan-akan tidak mempedulikan kehadiran orang lain di dalam angkutan. Sejujurnya, saya kehilangan kata-kata waktu itu, bahkan saya sampai lupa untuk menenangkan gadis itu.

Saya tak pernah melupakan sorot mata gadis itu. Kesedihannya, tangisannya, dan ekspresi kegeramannya saat melemparkan ponsel begitu membekas dalam ingatan. Setiap kali saya mengenangnya, ada kepiluan yang turut menggerogoti hati saya. Kenangan itu menjadi salah satu "harta karun" berharga (maaf) yang sangat berguna ketika saya harus menyajikan kesedihan dalam sebuah cerita. Sebuah adegan kehidupan ternyata dapat menjadi hal yang sangat membekas dalam ingatan seseorang.

Ketika kita menikmati makanan, ada berbagai rasa yang dapat dicecap oleh lidah kita. Entah itu rasa manis, asin, asam, bahkan pahit. Demikian juga halnya dengan sebuah cerita. Kita bisa merasakan kesedihan, kekecewaan, kegembiraan, kebencian, keharuan, bahkan kemarahan saat membaca sebuah cerita. Aneka rasa itulah yang membuat sebuah cerita menjadi "bernyawa" dan membuat pembaca larut bahkan turut merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam sebuah cerita. 

Penyajian rasa itu sendiri sangat bergantung pada pengalaman empiris, yaitu berdasarkan pengalaman langsung yang dialami seseorang, atau pengalaman intelektual, yaitu pengalaman yang diperoleh dari pendidikan (formal, non formal, atau informal).

Selain menjadi pembaca yang baik untuk memperkaya pengetahuan, ada baiknya seorang penulis cerita juga menjadi seorang pengamat yang baik pula. Cerita yang lahir dari dunia subjektif seorang penulis, akan menjadi karya yang miskin rasa jika penulis tidak peka menggunakan sentuhan perasaan (emotional touch) dalam sebuah cerita. 

Hal ini sangat dipengaruhi oleh seberapa giat seorang penulis cerita mengamati dan merenungkan rangkaian kejadian, karakter (perwatakan), interaksi sesama manusia, interaksi manusia dengan alam, serta hal-hal lain dalam kehidupannya. Pengamatan dan perenungan yang dilakukan secara terus-menerus pada akhirnya akan membantu seorang penulis untuk menyajikan realitas rasa yang mampu memberikan nyawa dalam sebuah cerita.

Lantas, apakah realitas rasa tidak berlaku untuk cerita absurd? Menurut saya, tidak demikian. Absurditas bukan berarti lepas kendali atau kehilangan tujuan. Sebuah cerita sebaiknya tetap berjalan pada sebuah rel yang akhirnya berujung kepada pembacanya. Jika cerita hanya mengutamakan jejalan diksi unik, rumit, sehingga pembacanya harus mengerutkan kening dan gagal menemukan esensi, mungkin penulis harus bertanya kepada diri sendiri: apakah bijak menyajikan sebuah cerita dengan embel-embel milik "kalangan sendiri"? 

Sudah bukan rahasia lagi, sebuah cerita seringkali sulit berkompetisi dengan artikel atau tips sebagai bacaan yang bersifat lebih umum. Maka, sebaiknya jangan bebani sebuah cerita dengan stempel eksklusif. Sebagai seorang kurir, seorang penulis harus bijak menggunakan kendaraannya agar surat atau paket yang dibawanya sampai kepada penerimanya. Kendaraan milik penulis itu tak lain adalah cerita.

Seorang penulis cerita memang harus giat memperkaya teknik bercerita, tetapi hendaknya tidak mengabaikan pentingnya realitas rasa dalam sebuah cerita. Sesuatu yang ada di sekitarnya bahkan mungkin berasal dari dirinya sendiri. Mungkin itu pula sebabnya, mengapa J.K Rowling berkata: "Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri."

***

Tepian DanauMu, 18 Maret 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun