Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Daun-daun yang Meringkus Sunyi

8 Maret 2018   17:41 Diperbarui: 8 Maret 2018   22:07 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shuttershock

Pohon-pohon haminjon itu telah lama memanggil-manggilku, jauh sebelum aku harus menerima kenyataan bahwa aku telah gagal bertarung di kota. Mereka mendatangiku dalam mimpi, seakan berbisik di telingaku lewat gemerisik daun-daunnya. Pohon-pohon itu mengajakku pulang ke huta, mengunjungi bukit kecil yang berjarak beberapa kilometer dari rumah tempatku dilahirkan dan dibesarkan. Di bukit kecil itulah, mereka tumbuh dan menua dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Mimpi-mimpi hanyalah bunga tidur. Itu adalah hal yang benar-benar kuyakini. Hingga suatu malam, seraut wajah hadir dalam mimpiku. Ompung boru-ku. Sorot mata perempuan tua itu tenang dan teduh. Ia menuntunku menelusuri lorong ruang dan waktu, mengunjungi pohon-pohon haminjon berusia lanjut. Pohon-pohon itu kini menjulang tinggi, jauh dibandingkan saat aku pergi merantau dulu. Ketika bibir perempuan tua itu menggumamkan kata mulak, sekonyong-konyong angin berembus kencang. Pohon-pohon itu menjelma menjadi bayang-bayang, kemudian lenyap seiring raibnya sosok beliau.

Saat terjaga dari mimpi, kerinduanku untuk pulang kian menggebu. Kerinduan itu semakin mengaduk-aduk hatiku tatkala pada malam-malam berikutnya, pohon-pohon itu senantiasa hadir dalam mimpiku. Jiwaku terperangkap dalam kegelisahan. Aku harus pulang. Namun, kapan? Hidup keras di perantauan membuatku terbiasa memperhitungkan segalanya. Pulang berarti biaya besar. Lebih banyak keringat yang harus dikucurkan. Padahal, ada hal penting lainnya yang mengganggu pikiranku. Jodoh.

Pulanglah kau, ompung doli-mu ini sakit-sakitan. Itulah kata-kata yang diucapkan oleh orang yang telah membesarkanku sebulan yang lalu. Aku tahu pasti, itu cuma alasan. Meski hidup seorang diri di huta, ompung doli bukanlah sosok yang lemah. Kerja kerasnya telah mengantarku hingga mengecap jenjang pendidikan tertinggi. Istrinya yang tak lain adalah ompung boru-ku, berpulang setahun setelah ibuku dilahirkan. Ibarat takdir yang sejalan, setahun setelah aku dilahirkan, kedua orangtuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan. Aku harus tinggal bersama lelaki tua itu. Inilah alasan lainnya mengapa aku enggan pulang. Huta mengingatkanku pada orangtuaku, pada kesunyian yang senantiasa bersemayam dalam relungku.

Sebenarnya, alasan ompung doli memintaku pulang adalah Rimta, boru tulang-ku. Sejak dulu, beliau ingin kami berjodoh agar bisa bersama-sama mengurus haminjon. Meski aku hanyalah putra dari seorang boru, ompung doli berniat mewariskan sebagian haminjon miliknya untukku. Niatnya membuat beliau kerap menjadi bahan celaan di huta. Ia dianggap menentang adat. Anak-lah yang seharusnya berhak atas tanah warisan. Namun, ompung doli bersikukuh. Lelaki tua itu memang berani menentang arus. Itu pula hal yang membuatku sangat mengaguminya.

Berjodoh dengan pariban adalah hal yang kuhindari. Alasannya sederhana, menikah dengan gadis dari keluarga dekat tak memperluas ikatan kekerabatan. Lagipula, Rimta sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Mustahil aku jatuh cinta padanya. Meski begitu, aku juga tak ingin melukai hati ompung doli. Aku memilih diam dan menunda kepulangan sampai aku mampu membawa pulang calon istri sebagai alasan untuk menolak keinginan beliau. Sayangnya, calon istri itu belum juga kutemukan.

Hingga suatu hari, aku berhadapan dengan kenyataan pahit. Stok barang di gudang dicuri oleh orang kepercayaanku. Segala upaya pencarian sia-sia. Sang pelaku lenyap tanpa jejak. Selain sedikit uang di dompet dan rekening, aku tak memiliki apa-apa. Stok barang itulah modalku. Usaha kecil-kecilan yang kurintis mulai dari nol bangkrut. Aku seperti prajurit yang kalah di medan pertempuran. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang.

***

Kepulanganku disambut gembira oleh ompung doli. Peluk cium bertubi-tubi darinya membuatku merasa, aku adalah pahompu yang hilang lalu ditemukan. Beliau menjamu makan seluruh orang di huta. Setiap hari, ompung doli membawaku berkeliling mengunjungi rumah para tetangga sekadar untuk berbincang-bincang. Kegagalanku di perantauan bukan masalah baginya. Kerinduannya terpuaskan, itu lebih dari cukup baginya.

Rimta hampir setiap hari berkunjung. Aku tak dapat mengelak karena tak ingin mengecewakan tatapan ompung doli yang penuh harap. Tiada yang tahu, benakku dipenuhi oleh pohon-pohon haminjon yang kini pergi dari mimpi-mimpiku. Aku harus segera ke sana. Saat kuungkapkan keinginanku, ompung doli merangkulku erat-erat. Sepasang matanya berbinar-binar. Lelaki tua itu bahagia karena keinginan itu berasal dariku sendiri, bukan karena suruhan atau permintaannya. Beliau mengatakan, sudah saatnya aku mempelajari seluk-beluk haminjon, karena suatu hari nanti, aku akan memilikinya.

Keesokan paginya, ompung doli mengajakku bersiap-siap untuk manugi ke tombak. Sebelum berangkat, kami menyantap menu istimewa berupa itak gurgur, lalu berdoa meminta berkat agar pohon-pohon haminjon menghasilkan getah lebih banyak. Rimta yang menyiapkan segala sesuatunya, termasuk bekal kami selama menginap nantinya. Gadis itu melambaikan tangan saat kami mulai berjalan meninggalkan huta. Ompung doli tak henti-hentinya tersenyum sambil sesekali memandang ke arahku. Sikapnya itu mau tak mau membuatku salah tingkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun