Mohon tunggu...
Fitri Hidayati
Fitri Hidayati Mohon Tunggu... Pendidik -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pakaian Surga

8 November 2017   09:54 Diperbarui: 9 November 2017   13:55 2040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini aku merencanakan  berangkat lebih awal,  banyak tugas yang akan ku selesaikan . Aku tak ingin kehilangan sedikit pun kesempatan belajar dari tempat magang. Meskipun itu berarti aku harus  ekstra kerja keras, aku baru merasakan betapa kerasnya dunia kerja, apalagi di lingkungan yang memiliki disiplin tinggi, tak ada kesempatan untuk bersantai.

 Sudah satu bulan lebih aku  tak pernah merasakan nikmatnya tidur siang, apalagi bisa molor bangun pagi, tidur siang yang dulu merupakan rutinitas  sekarang menjadi suatu  yang  istimewa . Semuanya terjadwal dengan baik, serba disiplin. Makanya aku tak pernah ingin jadi pegawai kantoran, aku tertarik belajar mengelola perusahaan dan cara memasarkan produk ini  untuk mempersiapkan diri mengelola usaha menjemput  masa depan penuh kemandirian. Sebagai generasi yang siap mencetak lapangan kerja  bukan pencari kerja.

Kelengkapan berkendara sudah siap, aku segera  menghidupkan mesin dan perlahan motor bergerak diiringi pandangan Si Kakak dan Si Dedek , dua kucing kesayanganku  yang selalu mengantar berangkat dan menyambut saat dia pulang aktivitas. Baru saja aku mau tancap gas, tiba-tiba ku dengar dentangan keras " Grobyak...prang..prang.... prang...". Spontan aku  menghentikan kendaraan. Aku cari asal suara, bersamaan dengan itu beberapa tetangga berlarian keluar rumah.

" Bu Aminah....", seru seorang ibu dan langsung berlari diikuti para tetangga yang lain . Spontan aku mematikan mesin motor, kemudian aku menyusul berlari ke rumah Bu Aminah.

 " Astaghfirullah...." , pekik para tetangga.

 Bu Aminah  ditemukan tergeletak di lantai di antara  serpihan piring dan gelas kaca. Tampak wajahnya pucat pasi , lemas, dan tak sadarkan diri.

"Minyak kayu putih",  Bu Hadi memberi intruksi. Aku membuka tas, freshcare aku berikan dan langsung dioleskan ke pelipis Bu Aminah, tak ada reaksi sedikitpun, akhirnya beliau dipindahkan ke tempat tidur yang berada di  ruang tengah.

Aku mulai gelisah, aku lirik arlojinya sudah menunjukkkan pukul  07.15, tinggal 15 menit lagi jam kerja sudah dimulai. padahal perjalanan ke tempat kerja memerlukan waktu 30 menit. Perlahan aku  bergeser untuk menyelinap dan  segera berangkat, belum sempat dia melangkah tiba-tiba ada suara yang menghentikan.

" Mbak Tarra, tolong dihubungi keluarganya ya, kondisi Bu Aminah makin parah."  Bu Hadi setengah berteriak.

" Maaf Bu , saya tidak mempunyai nomor keluarga Bu Aminah , kalau ada yang punya biar saya telefon nanti."  jawab ku spontan.

Sambil menunggu  aku  menelfon ke kantor, memberitahukan bahwa aku  akan datang terlambat , karena aada urusan mendadak menolong tetangga sakit . Aku merasa lega karena pihak kantor mengizinkannya. Suami dan anak-anak Bu Aminah tidak ada yang mengangkat saat  ku telefon  , kemungkinan karena nomor asing atau mereka sedang sibuk bekerja. Sementara kondisi Bu Aminah makin memburuk,  Perasaan ku makin gundah  maka segera ku usulkan Beliau segera dibawa ke RSU. Ternyata para tetangga tidak ada yang mau membantu dengan alasan kesibukan masing-masing, bahkan mereka justru menyuruh ku untuk mengantar ke RSU dengan alasan aku dianggap mempunyai pengalaman dalam menangani pasien. Aku tak mampu mengelak lagi sementara para tetangga berangsur surut . Tinggal aku, Bu Hadi , dan Pak Amir, Sopir Bu Hadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun