Mohon tunggu...
Asadhiya Syahidah
Asadhiya Syahidah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pembelajar Sejati.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pasal Lingkungan Undang-Undang Prematur yang Salah Atur

21 Oktober 2020   20:41 Diperbarui: 21 Oktober 2020   20:45 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah tangan manusia dengan operasi senyap mengetok palu mengesahkan sebuah Undang-undang yang masih kontroversi. Katanya, Undang-undang yang kali ini disahkan adalah produk spesial dari hukum manusia Indonesia. Pun makhluk baru bernama omnibus law yang berkedok dalam Undang-undang Cipta Kerja (UU CK) ini digadang-gadang akan memberi dampak berpengaruh pada pembangunan Indonesia. Namun kita sadar, aturan ciptaan manusia pasti akan menimbulkan banyak pertentangan. Demokrasi yang dikehendaki dalam sistem saat ini, dikatakan tidak berjalan dengan semestinya. Seharusnya Undang-undang yang telah disahkan ini, harus mengikuti aturan sebelumnya yang telah disepakati. Tapi nampaknya, aturan baru, yang busuknya sudah tercium masyarak umum sudah nyata kontradiktif dengan aturan-aturan yang ada.

Kelemahan omnibus law ini dibicarakan oleh banyak pakar hukum. Mereka mengakui bahwa banyak kejanggalan yang ada di dalam naskah UU Cipta Kerja yang prematur disahkan. Bahkan dengan adanya cacat ini, para pakar lingkungan, ahli hukum lingkungan, pegiat dan pecinta lingkungan semakin khawatir akan kelestarian lingkungan Indonesia. 

Wahana  Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan dalam siaran persnya. "Omnibus law Cipta Kerja tidak sah." Salah satu anggota WALHI mengatakan adanya omnibus law secara substansi hanya demi kepentingan investasi, mengganggap tanah sebagai permasalahan bagi investor, dan instrumen lingkungan hidup dianggap penghambat investasi. 

Serupa dengan WALHI, seorang Peneliti Institute Development of Economi and Finance (Indef), menyatakan UU CK pasal lingkungan hidup bisa berdampak pada masyarakat yang berada di lingkungan hutan. Adanya UU CK ini akan berdampak pada pemilik tanah ulayat, menggenjot deforestasi, dan khawatirnya menimbulkan persengketaan dengan masyarakat adat. Intinya UU CK ini selain sudah salah secara formil dan materiil, tapi juga mengorbankan hak asasi rakyat dan juga kelestarian alam. 

Berbicara mengenai pasal perpasal yang bermasalah, Hariadi Kartodihardjo (Guru Besar Kebijakan Hutan Fakultas Kehutanan IPB) menemukan sepuluh pasal bermasalah yang melemahkan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), di antaranya:

  1. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) tidak lagi diperlukan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan izin penyelenggara usaha, seperti tertera dalam pasal 1 angka 22;
  2. Pasal 1 angka 35 tentang kewajiban industri mendapatkan izin lingkungan dihapus dan diubah menjadi persetujuan lingkungan;
  3. Sembilan kriteria usaha yang berdampak penting dihapus (pasal 1 angka 35);
  4. Dalam perubahan pasal 24, selain menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat, pemerintah bisa melakukan sendiri uji kelayakan lingkungan hidup, yang didasarkan pada dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), untuk menentukan kelayakan lingkungan hidup dalam penerbitan izin berusaha;
  5. Dalam penyusunan Amdal, masyarakat yang diizinkan terlibat dalam penyusunannya hanya mereka yang terdampak. Tak ada lagi pemerhati lingkungan hidup dan/atau masyarakat yang terpengaruh, seperti bunyi pasal 26 sebelum diubah;
  6. Menghapus pasal 29, 30, 31, mengenai Komisi Penilai Amdal. Untuk kegiatan yang wajib memenuhi standar UKL-UPL, pemerintah pusat langsung menerbitkan Perizinan Berusaha ketika sudah ada pernyataan kesanggupan korporasi mengelola lingkungan hidup;
  7. Tak ada lagi penegasan bahwa kelayakan lingkungan hidup harus diakses dengan mudah oleh masyarakat seperti pasal 39 UUPPLH;
  8. Pengawasan dan sanksi administratif seluruhnya dijalankan oleh pemerintah pusat, seperti perubahan Bab XII pasal 72 hingga 75;
  9. Jenis-jenis sanksi administratif ditiadakan dengan mengubah pasal 76. Delegasi kepada peraturan pemerintah hanya akan berisi tata cara pengenaan sanksi tersebut;
  10. Tak ada celah atau pintu masuk bagi warga negara menggugat lembaga lain yang merusak lingkungan seperti tercantum dalam pasal 93 UUPPLH, sebagai konsekuensi dihapusnya izin lingkungan.

Dari penjelasan di atas, telah terbukti bahwa jalan perusakan lingkungan bisa dilakukan secara bebas. Tapi tidak bagi pemerintah, Mahendra Siregar (Wakil Menteri Luar Negeri) beranggapan lain terhapada UU CK ini. Dia berkata, “Seperti seluruh negara dunia, Nusantara selalu ingin melakukan pembangunan ekonomi secara seimbang dengan yang tumbuh berdampingan dengan menjaga lingkungan secara berkelanjutan dan kesejahteraan sosial. Ketiganya tetap menjadi inti dan basis pertumbuhan nasional kita dan seperti seluruh dunia kita mengakui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDG.” Jadi, dia menolak fakta bahwa adanya UU CK ini akan menimbulkan kerusakan lingkungan. 

Serupa dengan Mahendra, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pun beranggapan bahwa UU CK tidak akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Pernyataan-pernyataan tentang kekhawatiran lingkungan ditepisnya. Dikatakannya, “tidak benar bahwa ada anggapan terjadi kemunduran dengan perlindungan lingkungan. Kenapa? Karena prinsip dan konsep dasar pengaturan Amdal di dalam UU ini tidak ada perubahan. Yang berubah adalah kebijakan dan prosedurnya. Kenapa? Karena dia harus disederhanakan supaya sesuai dengan tujuan dari UU Cipta Kerja ini. Artinya apa? Harus diberikan kemudahan kepada pelaku usaha."

Para ahli hukum lingkungan sebetulnya merasa khawatir jika penyederhanaan dari sisi administrasi realitanya akan turut melemahkan substansi. Para ahli hukum telah mencukupkan dengan adanya aturan UUPPLH dan yang lainnya sudah cukup bagus dalam mengatur administrasi hukum yang ada. Jika ada perubahan dengan omnibus law yang telah disahkan, justru khawatirnya akan merusak sistem yang sebelumnya telah terlaksana.  Lalu, adanya banyak administrasi dalam perizinan lingkungan sebagai bentuk penjagaan secara hukum adanya pelanggaran yang terjadi terhadap lingkungan. Karena masalah isu lingkungan adalah kehati-hatian dini. 

Jika tidak dicegah maka bentuk pertanggungjawaban terhadap pemulihan kerusakan lingkungan akan lebih sulit dilaksanakan. Bahkan banyak kasus yang terjadi, kerusakan-kerusakan yang ada tiada bentuk pertanggungjawabannya.

Jelas sudah bahwa aturan ini berbahaya, karena aturan tangan manusia menimbulkan banyak perselisihan, perdebatan dan pertentangan. Bahayanya dari aturan buatan manusia itu bukan hanya berefek pada lingkungan saja, tapi juga bagi fisik manusia kedepannya. Karena jika merusak bumi sama saja merusak manusia. Tapi fakta saat ini beberapa demonstran sejatinya dirusak fisiknya, bahkan masyarakat secara umum mendapatkan luka mental yang juga berbahaya. Sudah terlihat jelas rusaknya aturan manusia ini. Lalu masihkah mau percaya bahwa aturan ini bisa memberi dampak pada pembangunan? Di saat pandemi belum berakhir pula?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun