Mohon tunggu...
Fitri Haryanti Harsono
Fitri Haryanti Harsono Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024

Akrab disapa dengan panggilan Fitri Oshin. Lebih banyak menulis isu kebijakan kesehatan. Bidang peminatan yang diampu meliputi Infectious disease, Health system, One Health, dan Global Health Security.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tor-tor dan Gondang Sambilan: Kapan Polemik Rebutan Ini Berakhir?

26 Juni 2012   10:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:31 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tor-Tor dan Gondang Sambilan via antarafoto.com

[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="Tor-Tor dan Gondang Sambilan via antarafoto.com"][/caption] Tor-Tor dan Gondang Sambilan merupakan warisan kebudayaan orang Mandailing, Sumatra Utara, Indonesia. Beberapa hari ini polemik muncul bak minyak disulut api, kedua seni ini diakui Malaysia dan didaftarkan ke UNESCO sebagai bagian budaya di Malaysia. Berbagai komentar dan kritik pun mengalir deras di jejaring-jejaring sosial atas “pengklaiman” oleh Malaysia.

Kesalahpahaman arti “diperakui atau memperakui”

Konsul Jenderal Malaysia di Medan, Norlin binti Othman menegaskan kesalahpahaman yang tengah terjadi mengenai arti kata “diperakui atau memperakui.”

"Diperakui atau memperakui di Malaysia dimaksudkan diangkat atau disahkan atau disetujui, bukan diklaim seperti yang diartikan di Indonesia. Masalah pengartian kata atau kalimat memang tampaknya sering menimbulkan masalah, tetapi dengan penegasan seperti ini, saya harap tidak ada masalah lagi," katanya di Medan, Rabu (20/6/2012). [Kompas.com, Kamis, 21 Juni 2012, 01:15 WIB]

Menanggapi kesalahpahaman arti tersebut, kita dapat mengetahui ada perbedaan makna dalam bahasa Malaysia dan bahasa Indonesia. Sejauh pengetahuan mempelajari bahasa Indonesia, penulis belum pernah mendengar kata itu (red-“diperakui atau memperakui”) dan terasa janggal di telinga. Dalam bahasa Indonesia biasa menggunakan kata “diakui atau mengakui”. Konsep kata ini dalam bahasa Indonesia bisa mengarah pada kata “mengklaim”.

Menurut tata bahasa Indonesia, imbuhan memper-i bermakna kausatif, “membuat jadi” dan biasanya dilekatkan pada kata dasar adjektif. Misal, ‘baik’ diberikan imbuhan tersebut menjadi ‘memperbaiki’, maka bermakna ‘membuat jadi baik’. Jadi kata “mengakui” menurut kamus besar bahasa Indonesia menyatakan berhak atas sesuatu.

Konteks kata “mengklaim” dalam bahasa Indonesia berarti menuntut pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang/negara/organisasi berhak atas sesuatu. Oleh karena itu, kata “mengakui” dan “mengklaim” pada tatanan bahasa Indonesia bisa dikatakan memiliki makna dan pandangan sama (red-berhak atas sesuatu). Wajar jika masyarakat Indonesia memiliki pandangan bahwa pengakuan Malaysia terhadap Tor-Tor dan Gondang Sambilan dianggap sebagai “klaim budaya”.

“Klaim budaya”, kapan polemik rebutan ini berakhir?

Bukan hanya Tor-Tor dan Gondang Sambilan (Sumatra Utara), tapi batik, tari Pendet, wayang kulit, angklung, reog ponorogo, hingga lagu Rasa Sayange (Maluku) dan Soleram (Riau) pun pernah diklaim Malaysia [Merdeka.com: Budaya Indonesia yang Pernah Diklaim Malaysia]. Tak ayal, persoalan ‘mengakui’ alias ‘mengklaim’ budaya Indonesia oleh Malaysia selalu menimbulkan kontroversi dan kritikan dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia.

Pendaftaran Tor-Tor dan Gondang Sambilan sebagai bagian budaya di Malaysia harus melalui sistem perundang-undangan yang mengurusi Warisan Nasional Malaysia, yaitu Akta Warisan Kebangsaan 2005. (Kompas, Minggu, 24 Juni 2012, hlm 20). Menurut penafsirannya, kedua warisan budaya didaftarkan itu justru menjadi “Warisan Budaya Malaysia”, bukan lagi milik orang Mandailing.

Menurut pemahaman penulis, Malaysia yang mengakui Tor-Tor dan Gondang Sambilan kemudian didaftarkan maka kepemilikan berada di pihak Malaysia. Siapa yang mendaftarkan? Malaysia. Tentu yang mendaftarkan ingin ‘memilikinya’ bukan. Disadari atau tidak, jika masalah ini tak diselesaikan, kemungkinan kedua warisan budaya Mandailing, Sumatra Utara, Indonesia pun akan berpindah tangan ke Malaysia.

Budaya sebagai identitas suatu bangsa

Sebuah negara tidak hanya maju dalam aspek ekonomi, teknologi, atau pertahanan keamanan saja, tapi aspek budaya negara menjadi hal yang berharga. Budaya sebagai ciri khas suatu bangsa yang membedakan bangsa itu dengan bangsa lain. Setiap bangsa tentu memiliki budaya khas masing-masing.

Tidak ada negara di dunia iniyang tidak memiliki budaya. Salah satu unsur-unsur kebudayaan, yakni kesenian (tarian, musik) menunjukkan perkembangan masyarakat negara tersebut. Kekhasan kesenian suatu negara tidak bisa disamakan dengan negara lain, meskipun negara tetangga yang berdekatan.

Dalam hal ini, warisan budaya kesenian Indonesia yang dimiliki tiap suku bangsa tidak bisa begitu saja diklaim oleh Malaysia. Begitu pula dengan Malaysia, tidak dibenarkan ‘mengakui’ warisan budaya Indonesia sebagai bagian warisan budaya di Malaysia. Pengakuan Malaysia ini memunculkan pandangan ‘klaim’ di mata masyarakat Indonesia.

Pemerintah Indonesia sebaiknya lebih sensitif, tegas, dan berjuang agar warisan budaya Indonesia tidak diklaim dengan begitu mudah oleh negara lain. Penting sekali untuk mematenkan warisan budaya Indonesia sebagai langkah pertahanan dan perlindungan dari unsur ‘klaim’ yang begitu menjerat dan pelik ini.

Budaya kita, milik kita bersama

Salah jika kalimatnya, budaya kita, milik negara lain

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun