Sorotan kenaikan kasus Covid-19 di India, Thailand, Hong Kong, Malaysia, dan Singapura dalam beberapa pekan terakhir menjadi isu hangat. Sebagai bentuk respons, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor SR.03.01/C/1422/2025 tentang Kewaspadaan terhadap Peningkatan Kasus Covid-19 pada 28 Mei 2025.
Sayangnya, banyak komentar warganet terhadap edaran kewaspadaan Covid-19 dari Kemenkes tersebut tidak direspons baik. Marak komentar seperti 'Bohong banget covid naik, negara-negara lain biasa-biasa aja; jangan nge-goreng berita covid, masyarakat udah bosan dan trauma sama masa lalu.'
Pertanyaannya, 'Benarkah setelah pandemi berakhir berarti virus Covid-19 sepenuhnya hilang?' Bagi publik awam, 'pandemi selesai' mungkin diartikan dunia terbebas dari virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19, virusnya tidak muncul lagi, dan dunia kembali normal.
Faktanya, virus Covid-19 tetap ada dan tidak hilang. Virus SARS-CoV-2 justru bereplikasi semakin banyak. Kalimat gampangnya agar mudah dimengerti, 'Virus Covid-19 ya bermutasi, beranak-pinak sampai keturunan cucu-cicitnya. Nah, cucu-cicitnya nanti punya keturunan lagi, begitu seterusnya.'
Kalau kita telusuri bak silsilah keluarga, galur virus SARS-CoV-2 beserta jenis varian dan keturunannya, dari awal kemunculan di Wuhan, Tiongkok hingga sekarang pasti sudah puluhan panjangnya. Ditambah, pelaporan surveilans setiap negara di dunia tentunya ada saja nongol varian baru Covid lain.
SARS-CoV-2 cepat berevolusi
Mirip dengan virus RNA lainnya, SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 mengalami evolusi cepat yang terjadi dalam hitungan bulan atau tahun. Saat pandemi, kita ingat kemunculan varian Covid-19 seperti Beta, Delta, Gamma, Alpha, dan Omicron yang mudah berevolusi alias bereplikasi atau bermutasi.
Hingga sekarang, subvarian garis keturunan Omicron, misalnya BA.1, BA.2, BA.3, dan lainnya semakin banyak bermunculan. Evolusi virus ini tentunya jadi tantangan yang signifikan terhadap respons kesehatan masyarakat.
Berdasarkan jurnal "Evolution and implications of SARS-CoV-2 variants in the post-pandemic era" yang terbit di Springer Nature Link pada 28 Juni 2024, faktor-faktor yang berkontribusi terhadap proses evolusi meliputi penularan virus, profil imunologi dan pergerakan manusia, faktor epidemiologi, dan semua hubungan yang menjadi ciri khas virus RNA.Â
Variabel lain yang memengaruhi evolusi virus berupa perubahan ekologi dalam kelembaban, polusi udara, dan perubahan iklim. Varian-varian ini berpotensi punya sifat penghindaran imun (immune escape) yang menjadi sorotan besar di era pascapandemi.Â
Artinya, varian Covid-19 yang berevolusi membuat sulit dikenali oleh sistem kekebalan tubuh -- walaupun individu yang bersangkutan sudah punya kekebalan dari vaksinasi atau infeksi alamiah. Inilah yang seringkali publik pertanyakan, 'Kan udah vaksinasi, kok masih juga terpapar virusnya?'Â