Mohon tunggu...
Fitri Barokah
Fitri Barokah Mohon Tunggu... Guru SD

Fitri Barokah, S.Pd. adalah seorang pendidik yang mencintai dunia belajar, menulis, dan dakwah. Meski awalnya enggan bekerja karena lebih suka belajar, hidup membawanya pada banyak pelajaran berharga yang kini dituangkan dalam bentuk cerita dan refleksi. Ia percaya bahwa setiap momen dalam hidup menyimpan makna, dan menulis adalah cara terbaik untuk mengabadikannya. Melalui tulisan-tulisannya, Fitri berharap bisa berbagi semangat, harapan, dan nilai kehidupan dari sudut pandang seorang wanita yang terus belajar menjadi lebih baik setiap harinya. 🌿 "Aku tidak sempurna, tapi aku terus berusaha. Menulis adalah bagian dari ikhtiarku menjadi manusia yang lebih bersyukur."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seratus Ribu dan Satu Pelajaran

14 Juni 2025   10:54 Diperbarui: 20 Juni 2025   11:48 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Seratus Ribu dan Satu Pelajaran"

Aku tidak pernah benar-benar menyukai kata kerja. Bukan karena aku malas, tapi karena aku lebih mencintai kata belajar. Duduk berlama-lama di depan buku, mengamati tingkah anak-anak, atau sekadar menulis catatan hati di sela-sela materi kuliah---itulah duniaku. Tapi hidup, seperti biasa, tidak selalu sejalan dengan keinginan.

Waktu itu, kondisi keluarga sedang tidak baik. Ayah sudah tidak bisa lagi bekerja seperti dulu, dan biaya hidup terus berjalan. Mau tidak mau, aku harus turun ke lapangan. Aku harus kerja.

Dengan setengah hati dan penuh kecanggungan, aku menerima tawaran menjadi asisten guru di sebuah sekolah dasar. Awalnya aku mengira akan betah---bagaimanapun ini masih dunia pendidikan. Tapi realita tak seindah angan. Tugas administrasi, tekanan dari atasan, dan anak-anak yang tak selalu manis membuatku lelah secara fisik dan emosi. Aku terus bertanya dalam hati: "Apa aku sanggup?"

Tapi hidup terus berjalan, dan aku terus datang setiap hari.

Hingga akhirnya, hari itu datang juga---hari gaji pertamaku.

Amplop putih itu terasa ringan di tangan, tapi berat di dada. Aku menatapnya lama, bahkan terlalu lama. Di dalamnya mungkin tak seberapa, tapi itu hasil keringatku sendiri. Hasil dari menahan tangis, belajar sabar, dan berpura-pura tegar.

Malamnya, aku duduk di samping mamah. Dalam hening yang agak canggung, aku menyerahkan amplop itu.

"Ini, mah... gaji pertama aku," kataku, hampir berbisik.

Mamah menatapku, lalu tersenyum. "Kamu yakin mau kasih semuanya?"

Aku mengangguk. Mungkin itu satu-satunya keputusan paling mantap yang kuambil dalam sebulan terakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun