"Seratus Ribu dan Satu Pelajaran"
Aku tidak pernah benar-benar menyukai kata kerja. Bukan karena aku malas, tapi karena aku lebih mencintai kata belajar. Duduk berlama-lama di depan buku, mengamati tingkah anak-anak, atau sekadar menulis catatan hati di sela-sela materi kuliah---itulah duniaku. Tapi hidup, seperti biasa, tidak selalu sejalan dengan keinginan.
Waktu itu, kondisi keluarga sedang tidak baik. Ayah sudah tidak bisa lagi bekerja seperti dulu, dan biaya hidup terus berjalan. Mau tidak mau, aku harus turun ke lapangan. Aku harus kerja.
Dengan setengah hati dan penuh kecanggungan, aku menerima tawaran menjadi asisten guru di sebuah sekolah dasar. Awalnya aku mengira akan betah---bagaimanapun ini masih dunia pendidikan. Tapi realita tak seindah angan. Tugas administrasi, tekanan dari atasan, dan anak-anak yang tak selalu manis membuatku lelah secara fisik dan emosi. Aku terus bertanya dalam hati: "Apa aku sanggup?"
Tapi hidup terus berjalan, dan aku terus datang setiap hari.
Hingga akhirnya, hari itu datang juga---hari gaji pertamaku.
Amplop putih itu terasa ringan di tangan, tapi berat di dada. Aku menatapnya lama, bahkan terlalu lama. Di dalamnya mungkin tak seberapa, tapi itu hasil keringatku sendiri. Hasil dari menahan tangis, belajar sabar, dan berpura-pura tegar.
Malamnya, aku duduk di samping mamah. Dalam hening yang agak canggung, aku menyerahkan amplop itu.
"Ini, mah... gaji pertama aku," kataku, hampir berbisik.
Mamah menatapku, lalu tersenyum. "Kamu yakin mau kasih semuanya?"
Aku mengangguk. Mungkin itu satu-satunya keputusan paling mantap yang kuambil dalam sebulan terakhir.