Aku terdiam tak bersuara sedikitpun. Matanya yang teduh menjelajahi wajahku dengan penuh kasih sayang. Sungguh, kini aku merasa takut kehilangan.
Dia terus menatapku hingga perlahan mataku mengembun mengundang gerimis yang siap tumpah.
Ingin sekali aku bicara banyak dengannya, tapi lidahku kelu untuk berucap.
"Mungkin kamu gak sadar setiap kali kamu melihatku, aku tak menemukan diriku dalam matamu tapi bayangan orang lain yang ada di sana."
Aku masih belum percaya dengan apa yang ku dengar, apa aku separah itu.
"Kamu juga terlalu sering salah sebut namaku saat kamu memanggilku," ucapnya kini sambil membereskan sisa makanannya yang tinggal beberapa sendok. Sepertinya dia sudah tak ingin memakannya lagi.
Aku menunduk tak kuasa melihat wajahnya yang terluka karena sikapku selama ini. Nasi Boran yang sedari tadi kupegang tak ku hiraukan lagi meskipun nasinya mulai dingin.
Entah sudah berapa liter air mataku jatuh di depannya. Seharusnya dia marah padaku karena dia berhak marah karena aku diam-diam masih mengekori masa lalu yang entah di mana ujungnya. Tapi sebaliknya dia malah tersenyum lebar,
"Aku mencintaimu," kataku tulus.
"Aku tahu kok. Tapi aku hanya tidak ingin kamu menempatkan aku bersebelahan dengan masa lalumu. Aku ingin kamu melepasnya."
"Maaf...maafkan aku," tangisku semakin deras.