Mohon tunggu...
Fitriani Nengsi
Fitriani Nengsi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Hubungan Internasional UMY, Seorang Pemimpi, Pendekar Hijau Hitam

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Abad Millenial: Generasi Koala?

18 Februari 2017   23:20 Diperbarui: 19 Februari 2017   09:22 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Satu lagi pesta demokrasi terlewati, yaitu PILKADA serentak di 7 provinsi yang ada di Indonesia pada tanggal 15 Februari 2017. Banyak hal yang menjadi sorotan selama rentang waktu persiapan menuju pesta demokrasi tersebut, salah satunya ialah pemilihan Gubernur DKI. Pemberitaan mengenai pemilihan Gubernur DKI lalu lalang melintang di seluruh media pers di Indonesia, baik itu media pers non-mainstream, mainstream, nasional bahkan lokal turut menjadikan berita tersebut menjadi Headline utama halaman mereka, seolah-olah pemberitaan itu menjadi sarapan harian masyarakat dan anehnya lagi, masyarakat seolah-olah tak pernah bosan dengan sarapan mereka itu. Doktrinisasi di media pers tersebut menjadi sangat kuat hingga menciptakan suatu anomali tertentu di tengah-tengah masyarakat

Globalisasi membawa arus dan pengaruh yang sangat dahsyat, khususnya di abad millenial ini. Globalisasi membuat segala sesuatunya menjadi aksesibel, artinya segala sesuatu dapat diakses dengan sangat mudah, tapi tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan bagi yang masih awam dengan segala teknologi yang ada. Apa yang terjadi di ujung dunia sana, dalam sepersekian detik dapat diketahui oleh manusia yang tinggal di ujung dunia satunya. Aksesibilitas dalam informasi menjadi sangat mudah, dan kemudahan dalam mencapai informasi itulah yang kemudian menjadi trend utama di abad millenial ini.

Indonesia sejak disahkannya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi salah satu tonggak kebebebasan pers yang ada di Indonesia. Dengan disahkannya UU tersebut, rezim otoritarian kemudian tenggelam dan terbitlah rezim reformasi yang mengagungkan kebebasan individu sebagai hadiah utama Indonesia memasuki gerbang abad millenial. Dan efeknya dari kebebasan individu itu masih dirasakan hingga sekarang, walaupun banyak yang mempermasalahkan tentang Revisi UU ITE yang katanya membatasi kebebasan individu, khususnya dalam kebebasan berekspresi, tetapi secara implikasi belum ada signifikan tertentu yang membatasi kebebebasan individu itu.

Kebebesan individu atau kebebesan berekspresi kemudian tumbuh dan mengakar menjadi suatu trend di masyarakat di tengah-tengah pesta demokrasi yang terjadi. Pesta demokrasi yang kemudian menjadi sarang untuk para pemegang kekuasaan untuk mengekspansi kekuasannya lebih luas lagi. Ekspansi kekuasaan mereka lakukan sesuai dengan faedahnya sebagai zoon politicon. Mempolitisasi ataupun dipolitisasi. Cara-cara yang lumrah dipakai para penguasa tersebut untuk mempolitisasi pikiran publik, sehingga publik pun terpolitisasi. Tetapi, yang perlu digaris bawahi disini adalah tidak semua usaha mempolitisasi tersebut hanyak untuk keserekahan semata. Ada yang murni untuk kemaslahatan. Kemudian, disinilah globalisasi memainkan perannya.

Segala aksesibilitas informasi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh para penguasa tersebut untuk mempolitisasi pikiran publik. segala macam media digunakan untuk mempolitisasi pikiran publik demi tercapainya kursi nomor satu di pesta demokrasi nanti. Para pemegang kekuasan itu saling bertarung, baik menggunakan hard power maupun soft power dan tentunya hal itumenjadi konsumsi publik yang gurih, layaknya memakan lotek pedas bercampur asam, manis dan gurih. Tentu sebagai seorang konsumer memiliki penilaian pribadi terhadap apa yang dimakannya. Publik disini kemudian memiliki penilaian yang berbeda-beda terhadap apa yang mereka baca di media.

Ya, memang berbeda-beda, tetapi sesuai dengan peran media pembentuk opini publik, opini publik kemudian dengan sangat mudahnya digoyahkan dengan dominasi pemberitaan yang ada. Kemudian dengan dijaminnya kebebasan berekspresi tiap-tiap warga negara, publik kemudian dengan mudahnya memberikan penilaian mereka dengan menggunakan kata-kata "bodoh" dan "tak mendidik". Disinilah kemudian yang mencetak Generasi Koala, terutama di negeri ini.

Layaknya koala yang hanya menghabiskan harinya hanya untuk tidur tanpa melakukan aktifitas lainnya selain makan dan buang air, Generasi Koala pun hanya menghabiskan hari-harinya membaca pemberitaan yang hanya dari satu perspektif saja, tanpa membaca ataupun berusaha mengetahui dari perspektif lainnya. Disinilah yang membuat Generasi Koala menjadi generasi pemalas dan generasi bodoh. Sekarang yan menjadi pertanyaan refleksi untuk diri sendiri, APAKAH KITA MAU MEMBIARKAN NEGERI INI DIBANGUN OLEH GENERASI KOALA ?

"Jadilah seperti elang yang bijaksana, yang tahu kapan harus memangsa mangsanya. Janganlah jadi seperti koala yang hanya menghabiskan waktunya untuk tidur. Jadilah generasi yang bujak yang cermat dalam menghadapi segala macam arus informasi yang masuk."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun