Mohon tunggu...
Fitriana Rahmawati
Fitriana Rahmawati Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang suka menulis.

Sang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Titik Koma Kehidupan

20 Juli 2015   13:00 Diperbarui: 20 Juli 2015   13:00 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hidup ini bagai sebuah kalimat, tidak selamanya kita temukan koma sebelum titik. Ketika kita telah mencapai titik maka berakhirlah semua. Lalu Sang Pembaca akan tahu juga, mana kalimat yang baik, mana kalimat yang buruk, mana yang aktif, mana pula kalimat yang pasif.  

Konon katanya, mereka akan dipilah-pilah. Bisa jadi kalimat itu akan abadi tertulis di kertas putih dengan tinta terbaik dan aroma cendana keluar setiap lembaran itu dibuka. Bisa juga kalimat itu melekat di permukaan kertas yang buram, bisa jadi itu kertas bekas, bekas gorengan atau entah apa itu. 

Konon juga, kertas dengan kualitas terbaik terbatas jumlahnya. Pun sama dengan tintanya, tinta emas hanya akan digunakan untuk menuliskan kalimat terbaik. Lalu kertas buram, kusam, bekas gorengan jumlahnya itu berlimpah. Bahkan kita bisa menemukannya di tong sampah. Ya, kertas yang demikian akan berakhir di tungku pembakaran.

Kembali lagi, kalimat itu akan disortir Sang Pembaca. Subjek terbaik, lakon yang baik, serta pelengkap kalimat lain akan dipilahnya. Setiap kepala Penulis cukup diberi kesempatan untuk menuliskan satu kalimat terbaiknya.  

Celakanya, Penulis tidak pernah tahu berapa banyak koma yang ia miliki. Hingga waktunya tiba, tahu-tahu sudah menemui titik. Celaka juga bila penulis hanya membubuhkan kata yang tak berguna, umpatan, keluhan, cacian lalu ia bertemu dengan titik. 

Beruntunglah bila Penulis diberi kesempatan untuk menggunakan koma. Karena apa? Koma adalah kesempatan. Biarlah tadi tertuliskan anak kalimat yang buruk, kita masih bisa memperbaikinya setelah koma. Namun akan tetap celaka bila kalimat itu menjadi semakin buruk setelah koma. 

Koma adalah kesempatan, jika kalimat adalah hidup dan titik adalah kematian. Koma itu datang dengan cara terbaiknya, Penulis bisa saja diuji, dijatuhkan, dibuatnya terlena bahkan dibuat hampir menyentuh titik kematian, koma. Kita penulis dan Dia adalah Sang Pembaca. Dia pula yang mengabadikan tulisan kita. Abadi di selembar kertas terbaik atau terkutuk.

Jadi tidak ada salahnya bagi kita untuk mulai merangkai kalimat terbaik itu, Subjek yang baik, Lakon yang berbudi, lalu kenakan pada Objek yang tepat, dengan momen terbaik, tempat yang layak dan cara yang diridhoi. Hei, apa yang kalian pikirkan? Ini hanyalah hakikat untuk menulis kalimat yang baik. Biar Sang Pembaca yang memilah, menimbang, dan mengabadikan kalimat kita. 

Saya bukanlah titik, tidak akan membuat kalian "habis" kala bertemu dengan saya, karena diri ini bukanlah hakim. Hanya datang sebagai penyampai warta dengan cara yang saya kehendaki. Sebut saja saya bak Peri. Peri Bahasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun