Mohon tunggu...
Fitria Try Handayani
Fitria Try Handayani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang mahasiswa pembelajar

Mahasiswa pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Curahan Hati untuk Gus Dur

15 Juni 2021   23:27 Diperbarui: 15 Juni 2021   23:31 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Gus, aku ingin bercerita, curhat untuk-mu Gus. Bercerita tentang negeri-ku. Negeri-ku yang katanya kaya raya. Kaya orang, orang kaya, kaya alam, alam kaya, mungkin seperti itu Gus. Kau dimana Gus? dengarkan aku bercerita. 

Pertama, kau tak perlu kenal siapa aku. Yang terpenting adalah sekarang aku seorang mahasiswa Kimia semester awal. Universitas mana itu tak penting. Yang terpenting adalah aku bersyukur karena bisa kuliah dan kuliah di jurusan Kimia. 

Kimia membuat-ku Gus, memandang alam semesta ini seperti tak ada batasnya, luas begitu luas. Maka dari itu aku semakin mantap dengan Islam-ku sekarang Gus. 

Kedua, anggaplah ini sebuah curahan hati yang mungkin tak perlu dibaca. Tetapi tujuan-ku yang utama adalah aku bisa menyampaikan kegelisahanku selama ini untuk-Mu Gus .

Berangkat dari kekaguman-ku pada keanekaragaman organisme, sejenak aku berfikir bahwa Tuhan menciptakan makhluk-Nya memang berbeda-beda dan harus berbeda. 

Terutama manusia, karena di kitab suci sudah tertulis bahwa Tuhan menciptakan suku, bangsa yang berbeda agar kita saling mengenal, terlebih lagi saling menghargai. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk yang lain. Mereka diberi kelebihan yaitu berupa akal dan pikiran. 

Tetapi, dengan akal dan pikiran itu pula manusia bisa menjadi makhluk yang ingkar. Banyak permasalahan yang diperbuat oleh manusia itu sendiri. 

Semacam konfllik horizontal yang terjadi di Indonesia banyak-banyak ini. Kenapa di negeri yang katanya menghargai perbedaan dan plural masih saja terdapat masalah seperti ini. Ah.. manusia, kadang kau memang menjadi sumber dari segala sumber masalah.

Bulan Oktober kemarin, di media ramai diberitakan kasus konflik horizontal yang terjadi di Lampung Selatan. Masalahnya sepele, hanya karena melecehkan seorang gadis, lantas terjadi aksi penyerangan. 

Kalau kita lebih jeli melihatnya, konflik itu bukan berasal dari masalah sepele itu saja. Penyerangan bisa terjadi karena atas nama suku. Seperti kita tahu bahwa warga yang diserang adalah kebanyakan dari suku Bali. 

Bisa juga terjadi karena warga asli atau warga pribumi kurang respect terhadap warga pendatang yang bukan berasal dari suku-nya. Dari rasa kurang respect inilah timbul rasa benci karena warga pendatang bukan dari suku-nya. Maka, terjadilah aksi penyerangan yang membabi buta.

Arti dari masyarakat itu sendiri adalah syarikat, yang berarti berkumpul. Berkumpul disini bukan saja sekedar berkumpul tetapi ada pertautan antar individu untuk menjalankan dirinya sendiri masing-masing untuk menuju sesuatu yang diinginkan. Menurut saya, peran berbagai elemen di Lampung Selatan tidak berfungsi. Seperti peran dari tokoh masyarakat tersebut dirasa kurang yaitu antar dua tokoh kurang berkomunikasi untuk mengajak masyarakat dalam hal kebersamaan, gotong royong dan silaturahmi. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi adat istiadat daerahnya. Sehingga wajar, kalau sampai saat ini penokohan seseorang di suatu daerah menjadi sangat penting. Di samping dia menjadi figure di tengah masyarakat, dia menjadi sosok intelektual di sebuah masyarakat. Peran tokoh masyarakat harusnya lebih berfungsi sebagaimana mestinya ditengah arus globalisasi sekarang ini. Kemudian peran dari pemerintah dan penegak hukum. Elemen inilah yang penting untuk menjaga keharmonisan sebuah masyarakat. Peran pemerintah harus tetap pada koridornya, misalnya melayani, memimpin, mengayomi masyarakat. Lain halnya dengan penegak hukum, elemen ini harus mengerti tentang dimana ada kesalahan terjadi, disitulah kebenaran harus ditegakkan dan konstitusi masyarakat harus benar-benar dijaga. Ketika ketiga elemen tak berperan sebagaimana mestinya, maka akan terjadi ketidakseimbangan. Persyarikatan (masyarakat)  tadi akan menjadi rapuh, sehingga bisa menimbulkan konflik.

NU dan Tahlilan

Aku adalah seorang Nahdliyin Gus, seorang NU karena kebetulan keluarga dan lingkungan desa tempat tinggal-ku mayoritas adalah NU. Maka, mau tak mau aku juga mengikutinya. Ritual-ritual keagamaan dalam NU cukup menyentuh pada masyarakat lapis bawah, seperti aku ini Gus. Sebagai contoh tahlilan 7 hari setelah kematian seseorang. Tahlilan menurut-ku adalah gabungan idiom dan simpul-simpul sosial yang sangat kental untuk saling bersilaturahmi antar masyarakat. Selain melafalkan kalimat-kalimat do'a, tahlilan juga bisa mengingatkan orang yang mengikutinya agar selalu ingat kepada kematian. Bukankah Nabi Muhammad SAW berkata demikian? Orang yang paling cerdas adalah orang yang selalu ingat pada kematian. Untuk apa kematian diingat? Karena dengan selalu ingat, maka untuk menuju "kearah itu" kita seperti dipaksa agar selalu berbuat kebaikan dan mencari kebenaran. Tidak ada kepentingan yang tersembunyi untuk selalu berbuat kebaikan dan mencari kebenaran selain untuk mendapat ridho-Nya.

Selain memanjatkan doa kepada Sang Penguasa, tahlilan adalah gabungan simpul-simpul sosial. Bukan saja dilihat dari sisi agama, tahlilan juga tempat berkumpulnya antar warga masyarakat. Di dalamnya ada unsur pemerintah (Ketua RT dan perangkatnya), pemilik hajat dan yang diperintah (warga masyarakat). Ini adalah contoh ajang paling kecil dalam kegiatan masyarakat dimana terkandung nilai-nilai yang besar. Yang pertama adalah egaliter, semua komponen masyarakat dari pemerintah RT, masyarakat, pemilik hajat berkumpul menjadi satu. Kesamaan maksud dan kepentingan tahlilan adalah sama, yaitu mendoakan orang yang sudah meninggal. Kemudian semua komponen duduk dalam suatu hal, ruang, dan waktu yang sama, tidak ada pembeda antara Ketua RT harus di tempat yang istimewa, kyai harus disediakan makan dan minum yang khusus, tidak ada hal semacam itu. Semuanya menerima hak yang sama, tentu dengan keadilan yang sama pula. Yang kedua adalah komunikasi, silaturahmi, dan aspirasi. Ada makna komunikasi yang teerjadi ketika tahlilan dilakukan, yaitu komunikasi vertikal dan horizontal. Komunikasi vertikal terjadi ketika masyarakat yang hadir dalam tahlilan bermunajat kepada Tuhan untuk kebaikan orang yang telah meninggal. Masyarakat (orang) yang bermunajat tadi tentunya mengakui bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah dan perlu bantuan selain dari dirinya sendiri. Komunikasi horizontal yang terjadi di dalam tahlilan biasanya terjadi ketika tahlilan sudah selesai. Warga yang menghadiri satu sama lain saling berbicara dan sekedar mengobrol untuk menyampaikan masalah, kisah, atau hal-hal yang perlu di bicarakan. Kemudian, ada aspek penyampaian aspirasi pada tahlilan ketika forum-forum RT dirasa tidak cukup untuk menampung aspirasi warga. Selain itu, silaturahmi tetap berjalan secara konsisten selama 7 hari berturut-turut, 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Bukankah silaturahmi itu adalah pembawa rezeki?. Yang ketiga adalah keikhlasan dan terima kasih. Saat tahlilan sudah selesai, biasanya si punya hajat member semacam bingkisan yang dibungkus rapi di dalam plastik kresek yang isinya berupa bahan-bahan makanan pokok seperti beras, tempe, tahu, telur, minyak, dll. Bingkisan ini adalah sebuah symbol yang mewakili rasa terima kasih dan keikhlasan si punya hajat kepada masyarakat yang tahlilan.

Semacam Penutup

Bangsa ini adalah bangsa yang majemuk. Kita tidak bisa serta merta melupakan ajaran nenek moyang bangsa Indonesia dulu yang penganut animisme dan dinamisme. Kemudian Hindu dan Budha menawarkan ajaran baru dengan segala kebaikannya. Setelah itu, masuklah islam ke daratan Indonesia dengan damai. Yang terakhir, bangsa-bangsa Eropa yang sedang mengalami masa Renaisans datang ke Indonesia dengan misi Gospel-nya, yaitu menyebarkan agama Kristen. Lewat sejarah yang begitu panjang, melelahkan dan sampai pada akhirnya menghasilkan Bangsa yang majemuk seperti sekarang ini. Tahlilan yang sekarang masih dijalankan di masyarakat, itu tidak terlepas dari peran Master of Mind  yang menciptakannya. Ritual tahlilan merupakan sebuah karya yang perlu kita beri apresiasi tinggi. Hal ini juga tidak lepas dari para penyebar Islam di Pulau Jawa. Yaitu, wali songo. Kita harus berterima kasih kepada-nya. Dan semoga ritual tahlilan tetap bertahan untuk sekarang dan masa yang akan datang, ini tidak lain dan tidak bukan adalah hanya untuk menyatukan masyarakat diantara kemajemukan lewat sisi agama. Dan masih banyak lagi ritual keagamaan yang bisa kita lihat dari sisi yang berbeda-beda, jangan hanya mencerca bahwa itu adalah Bid'ah, Kufarat, dsb. Tetapi itu adalah olah cerdas nenek moyang bersinggungan dengan lingkungan yang perlu kita ambil positifnya.

Kemudian, aku sadar diri Gus, maka dari itu aku ingin belajar dan belajar kepada-mu Gus. Akhirnya, dengan mengaitkan masalah kekerasan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini dengan ritual keagamaan di NU, seperti tahlilan. Agar konflik horizontal dan kekerasan tidak terulang lagi di dalam masyarakat Indonesia, kita bisa mencontoh apa yang NU lakukan. Tujuannya adalah terbentuknya masyarakat yang harmonis dan hidup indah berdampingan dalam kemajemukan. Tidak harus dalam bentuk tahlilan, karena tahlilan tidak bisa dijalankan di luar agama Islam, maka ada alternatif  lain yang dianggap bisa mencontoh semangat tahlilan, sebagai contoh pekan kerigan, ayo gotong royong, sambatan, dll. Tetapi yang terpenting adalah nilai-nilai yang terkandung dalam alternatif-alternatif tersebut bisa meresap ke dalam hati masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun