Mohon tunggu...
fitratul insani
fitratul insani Mohon Tunggu... Freelancer - Political science, Universitas Airlangga

Learn to be better

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Implikasi Budaya Patriarki terhadap Beban Ganda Perempuan di Kala Pandemi

3 Agustus 2020   11:54 Diperbarui: 3 Agustus 2020   11:51 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Persoalan gender menjadi persoalan yang tidak ada habisnya dalam sebuah masyarakat dengan budaya patriarkis yang menjamur seperti Indonesia. Relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan membuat laki-laki tumbuh menjadi kelompok yang dominan, sedangkan perempuan tumbuh menjadi kelompok yang subordinat dan termarjinalkan dalam kehidupan sosial.

Meskipun di Indonesia telah mengenal emansipasi wanita yang diperjuangkan oleh R.A. Kartini, namun hingga saat ini perjuangan perempuan untuk mencapai kesetaraan masih sangatlah jauh. Melihat realitas yang ada dalam kehidupan sosial di Indonesia bahwa perempuan masih terbelenggu dengan budaya yang patriarkis, konsep patriarkis sudah sangat melekat dalam pemikiran masyarakat Indonesia. Oleh karena itu perempuan masih sangat lekat dengan stereotipe yang terbangun dalam masyarakat.

Dalam kondisi pandemi ini, yang mengharuskan mobilitas dibatasi, menyebabkan semua kegiatan sekolah dirumahkan, pekerja melakukan work from home, segala aktivitas diluar diminimalisir serta dihimbau untuk melakukan segala aktivitas dirumah, dan lain sebagainya. Hal-hal ini dilakukan agar penyebaran kasus covid yang dari hari ke hari semakin bertambah dapat dibatasi dan trennya dapat menurun. Dengan begitu segala aktivitas mulai dilakukan dirumah.

 Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, mengutip perkataan Penasihat Risiko Bidang Kemanusiaan dan Bencana UN Women Asia dan Pasifik, Maria Holtsberg, yaitu "Krisis selalu memperburuk ketimpangan gender". Perempuan-perempuan pekerja yang melakukan work from home seringkali harus bekerja lebih keras dibandingkan ketika bekerja di kantor.

Pasalnya, ketika di rumah, perempuan pekerja, khususnya yang sudah menjadi ibu, memiliki beban ganda. Dalam menjalankan pekerjaannya sebagai karyawan sebuah perusahaan, dia juga harus menjalankan pekerjaan rumah, ditambah dengan keberadaan anak dirumah yang juga menjadi tanggung jawabnya. Mereka harus menanggung semua beban ini secara bersamaan dan perlu proses adaptasi yang ekstra untuk dapat menyeimbangkan dan menjalankan semuanya.

Namun, lagi-lagi beban semacam ini hanya dirasakan oleh perempuan, tidak dengan laki-laki. Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin mengatakan beban berlipat ganda di tengah pandemi ini terutama ditanggung oleh perempuan yang berkeluarga dan bekerja. Karena sebagian besar laki-laki tetap memiliki tanggung jawab utama pada pekerjaan, sedangkan pekerjaan rumah dan mengurus anak tidak dibebankan kepada kaum laki-laki. Semua hal tersebut dibebankan kepada perempuan.

Sangat jelas terlihat relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, dan stereotipe mengenai pekerjaan rumah dan mengurus anak selalu diserahkan kepada perempuan tanpa melalui pembagian yang rata dengan laki-laki. Padahal laki-laki dan perempuan memiliki beban pekerjaan yang sama, namun tetap saja jika terkait dengan pekerjaan domestik selalu dikonstruk menjadi ranah perempuan.

Pada akhirnya jika kondisi yang ada terus menerus demikian, maka budaya patriarki akan terus langgeng dan tumbuh subur di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini akan tumbuh sebagai sebuah ironi, pasalnya perempuan akan selalu dirugikan dalam kondisi seperti ini. Mereka dibebankan dengan kewajiban-kewajiban yang pada dasarnya dibentuk oleh konstruk sosial yang terus menerus diamini dan memunculkan anggapan bahwa memang seharusnya seperti itu, padahal tidak demikian.

Dalam taraf tertentu, perempuan yang menanggung beban ganda ini jika terus menerus demikian akan menimbulkan tekanan sendiri bagi dirinya. Apalagi minimnya interaksi sosial yang membuat seseorang semakin stres makin menambah rumit persoalan ini. Belum lagi terdapat data dari LBH Apik yang menyatakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat sejak pemberlakuan work from home.

Jika diluar sana banyak perempuan yang menanggung beban ganda dan mengalami KDRT, ditambah minimnya interaksi sosial, maka akan sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan mentalnya. Belakangan ini pemerintah memfasilitasi layanan konseling bernama Layanan Sejiwa untuk mengatasi permasalahan psikologis yang menimpa di tengah pandemi.

Meskipun begitu, layanan tersebut hanyalah sebuah langkah sementara yang diambil oleh pemerintah untuk menangani masyarakat yang psikologisnya sedang tertekan. Namun, persoalan beban ganda perempuan ini bukanlah persoalan psikologis, melainkan persoalan budaya. Maka yang menjadi solusi atas persoalan ini bukanlah layanan konseling yang sifatnya untuk menyembuhkan saja, melainkan harus mencabut akar dari persoalan ini, yaitu budaya patriarkis itu sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun