Saat ini sedang ramai pemberitaan di tanah air mengenai pembengkakan pencari kerja yang membanjiri setiap pembukaan lowongan kerja swasta dan pemerintah daerah. Pemburu kerja terlihat berdesakan dalam kerumunan pembukaan lowongan kerja. Mereka serempak menggenakan kemeja putih dan bawahan hitam sambil menenteng map cokelat.Â
Banyaknya pelamar kerja yang datang ke pembukaan lowongan kerja tersebut, membuat mereka saling sikut dan mendorong untuk mendahului peserta lain dalam menyerahkan berkas lamarannya. Ada yang sampai terjatuh ke selokan dan mengalami cidera.Â
Mengapa mereka sulit untuk mengantri? Alasan yang pasti, bahwa mereka takut kesempatan kerja tersebut tidak berpihak kepada mereka karena surat lamaran yang tidak sampai di meja perekrut.
Padahal, perusahaan swasta dan pemerintah daerah yang membuka lowongan kerja, masih menerima berkas lamaran yang dikirim ke email perusahaan. Maka dari itu, sebetulnya para pencari kerja tidak perlu sampai berdesakan untuk menyerahkan lamaran. Tetapi berbeda dengan beberapa kejadian di mana perusahaan menerima berkas dalam bentuk fisik. Hal ini tentu menimbulkan kekacauan saat rekrutmen berlangsung.Â
Momen pencari kerja yang berdesakan di pembukaan lowongan kerja ini diabadikan oleh orang-orang di media sosial yang memicu perang opini di kolom komentar oleh masyarakat di media sosial. Seluruh opini bermuara pada satu keluhan yaitu peran pemerintah yang dinilai masih tidak mampu mewadahi surplus orang produktif di tanah air.Â
Pada 2025 ini, terjadi lonjakan tenaga kerja usia produktif yaitu individu dewasa dari usia 17 tahun hingga 55 tahun. Â Pencari kerja dengan usia produktif terdiri dari tiga cluster yaitu mereka yang baru lulus sekolah menengah atas atau kejuruan atau yang baru lulus kuliah, mereka yang hendak berpindah pekerjaan, dan mereka yang baru di-PHK.Â
Tiga cluster pencari kerja ini membentuk gelombang tsunami yang semakin memprihatinkan. Mereka saling bertempur untuk mendapatkan pekerjaan. Ditambah krisis perang dagang dan ekonomi di berbagai negara adi daya seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Cina yang berlangsung sengit hingga mempengaruhi ekosistem keuangan global di seluruh dunia.Â
Mereka yang saat ini dalam keadaan menganggur tentu akan mengalami tekanan psikologis. Bila mereka tulang punggung keluarga, hal ini akan menjadi beban tambahan. Selain itu, mereka yang sudah menghabiskan banyak biaya untuk pendidikan, harus terseok-seok memikul tanggung jawab ijazah yang belum menemukan pijakan karir yang pasti.Â
Belum lagi mereka yang sudah tertekan luar biasa di perusahaan tempatnya bekerja, keinginan untuk mengakhiri karir dan berpindah perusahaan, namun keadaan masih belum berpihak padanya. Kemudian, mereka yang sudah lama menganggur walau pendidikannya sarjana Strata 1 dan Strata 2 belum mendapatkan pekerjaaan dalam kurun lebih dari 1 tahun. Â
Mereka yang masih belum menemukan pekerjaan mengalami fase dimana jodoh karirnya masih dalam penantian. Banyak dari mereka sudah berupaya untuk mendapatkan pekerjaan, mulai dari perbaikan CV, latihan wawancara kerja, hingga mengikuti pelatihan karir yang berhubungan dengan keterampilan teknologi dan internet marketing. Namun dari semua itu, mereka memang harus masih bersabar.Â