Menurut data NCD-RisC, Indonesia menempati urutan ke-168 dari 200 negara dengan tingkat obesitas laki-laki dewasa tertinggi. Sebanyak 6,53 persen orang dewasa laki-laki di Indonesia mengalami obesitas per 1 Maret 2024.Â
Menurut WHO, acuan obesitas yaitu dengan IMT di atas 25, di mana obesitas I memiliki IMT sebesar 25-29,9 sedangkan obesitas II memiliki IMT di atas 30. IMT menjadi acuan untuk obesitas yang dihitung dari formula berat badan dalam kg dibagi tinggi badan dalam meter dipangkatkan dua. IMT menjadi tolak ukur untuk mengetahui apakah berat badan dalam batas ideal atau terdapat kelebihan berat badan.Â
Selain itu terdapat pengukuran lingkar perut untuk mengetahui apakah terdapat obesitas sentral. Menurut WHO lingkar perut laki-laki di atas 90 cm termasuk obesitas sentral sedangkan perempuan di atas 80 cm. Obesitas sentral terkait penumpukan lemak pada daerah perut. Lingkar perut sebagai indikator tolak ukur seberapa buncit perut pada orang dewasa.Â
Obesitas menjadi ancaman kesehatan bagi masyarakat dunia termasuk Indonesia. Setiap tahun angka obesitas cenderung mengalami peningkatan. Faktor akses makanan yang semakin cepat dengan kemudahan teknologi memberi peluang percepatan pertumbuhan angka obesitas. Makanan cepat saji dan high process food semakin banyak dan menjamur di setiap sudut daerah di Tanah Air yang menjadi penyumbang angka obesitas. Rendahnya aktivitas fisik juga memicu kerentanan terhadap obesitas.Â
Obesitas terjadi karena asupan kalori dari makanan yang masuk ke tubuh tidak seimbang dengan pengeluarannya. Kita membutuhkan energi untuk beraktivitas yang bersumber dari pembakaran kalori makanan. Rendahnya aktivitas fisik terkait dengan pembakaran kalori yang masuk tidak signifikan. Aktivitas rendah hanya membakar sedikit kalori sehingga kelebihan kalori disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk lemak.Â
Lemak biasanya tersimpan di antara organ hati dan pencernaan, bila semakin berlebihan akan menumpuk di bawah kulit dan membungkus otot-otot tubuh seperti pada bagian paha, bokong, perut, lengan, hingga dagu. Maka dari itu, orang yang mengalami obesitas akan terlihat membesar pada postur tubuhnya. Mereka yang obesitas sentral, perutnya tampak membuncit dengan kaki dan tangan lebih kecil.Â
Obesitas tidak hanya menyasar pada orang dewasa. Anak-anak juga sudah banyak mengalami obesitas. Menurut riset kesehatan dasar, 1 dari 5 anak Indonesia mengalami kelebihan berat badan. Persentase obesitas terus meningkat dalam satu dekade yaitu 8% pada 2007 menjadi 21,8% pada 2018. Obesitas pada anak terkait permasalahan gizi dan kurangnya aktivitas fisik.Â
Pola makan anak yang tinggi kalori dan rendah serat memicu kelebihan berat badan. Seperti banyak diberitakan di media masa bahwa orang tua membekali anak dengan makanan ultra proses, jajanan manis, dan minuman kemasan. Pola makan ini membentuk kebiasaan anak untuk memilih makana. Kaya kalori daripada pemenuhan gizi seimbang yang lebih sehat dari makanan real food.Â
Masyarakat tanah Air menganggap anak dengan tubuh gemuk lebih sehat dibandingkan anak kurus. Anak gemuk mencermikan nutrisi yang disantap lebih tinggi. Anak kurus dianggap tidak memenuhi gizi seimbang. Belum tentu anak kurus memiliki gizi yang rendah. Biasanya mereka lebih aktif bergerak dan makan makanan sehat. Sedangkan anak bertubuh gemuk bisa juga didapatkan dari faktor genetik dan dapatan dari pola makan dan aktivitas fisik yang rendah.Â
Apalagi saat ini anak yang terlahir dalam pengaruh teknologi, semakin minim aktivitas fisik. Mereka terbiasa makan dan beraktivitas ditemani gadget. Selain itu, anak yang memasuki usia sekolah lebih sering diantar jemput oleh orang tua atau pengasuhnya. Mereka jarang berjalan kaki. Hal ini membuat kekuatan kaki anak menurun. Bila terjatuh, mereka rentan mengalami patah tulang. Selain itu, anak juga mudah mengalami kelelahan bila diajak beraktivitas yang memicu fisik.