Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Elegi di Titik Nadir (Sebuah Kisah Tsunami) - Bagian 2 (Tamat)

5 Juli 2010   13:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:05 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kisah sebelumnya (BAGIAN 1).....

--------------------------------------------------------

Buih-buih ombak itu kembali berkejar-kejaran menyentuh kakiku. Seolah ingin menemaniku yang masih termenung sendirian sambil memeluk lutut di bibir pantai Lhok Nga. Mataku tak lepas-lepasnya menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang tiada bandingannya. Tak sanggup kubayangkan bagaimana luluh lantaknya tempat ini ketika tsunami melanda, hampir enam tahun yang lalu. Pasti berbeda sekali 180 derajat dengan kondisi saat ini.

Seketika memoriku melayang pada sosok kedua orangtua dan adikku yang menjadi korban dari tragedi itu.

[caption id="attachment_184738" align="alignright" width="160" caption="http://ni2s.multiply.com"][/caption]

“Ayah… Ibu… Alika…. apa kalian juga merasakan kerinduanku?” Aku tak sanggup lagi menahan air mata. Hatiku benar-benar sedang mengharu-biru. Anehnya, sejenak kemudian bibirku pun refleks menyebutkan sebuah nama lagi yang masih melekat di ingatanku hingga saat ini. Seseorang yang sebenarnya ingin kubuang jauh dari memori otakku, namun entah mengapa bayangannya masih saja selalu hadir. “Bang Fadlan…”

Siapa Fadlan? Fadlan terhitung sepupu jauhku. Dulu, aku dan Fadlan sempat bertunangan dan rencana pernikahan kami pun telah dibicarakan oleh keluarga besar. Namun, tiba-tiba saja hubungan itu ‘terpaksa’ usai karena Fadlan dijebak oleh seorang perempuan yang mengaku telah mengandung benihnya. Aku benar-benar shock! Perih sekali hatiku mengingatnya….

Berminggu-minggu aku tak mau bertemu dengannya. Fadlan pun bergerilya membersihkan namanya dan mengatakan semua itu hanyalah fitnah semata. Namun, aku sudah terlanjur tak percaya! Karena banyak saksi yang memberatkannya. Maka, momen berkumpulnya keluarga besar kami menjadi waktu yang tepat baginya untuk mencoba kembali merebut hatiku. Sejujurnya, aku masih sangat mencintainya. Namun, rasa itu belum cukup untuk mengembalikan kepercayaanku padanya. Aku merasa dikhianati…!!!

Namun malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Tanggal 26 Desember 2004 itu menjadi hari yang sangat kelabu. Bukan bersenang-senang dengan agenda piknik bersama di pantai yang kami alami, melainkan sebuah tragedi! Maka, nasib Fadlan pun sama dengan nasib orangtua dan keluarga besarku yang hilang ditelan dahsyatnya bencana itu. Oh, betapa tsunami telah merenggut semuanya… semua orang-orang yang kucinta….

Aku menghela nafas panjang. Kukatup mata sejenak untuk menetralisir suasana hatiku yang remuk redam. Selintas tadi sempat terbayang betapa dahsyatnya air bah berwarna hitam pekat itu menggulung tubuhku yang tak berdaya. Aku pasrah sepasrah-pasrahnya pada maut yang menghampiriku saat itu. Bahkan, aku tak pernah menyangka sama sekali jika Allah masih memberikanku kesempatan hidup untuk yang kedua kali….

Ketika sadar, aku telah mendapati diriku terbaring di sebuah rumah sakit. Kata dokter, aku sudah pingsan berhari-hari. Ketika ditemukan, tubuhku telah terhempas puluhan kilometer jauhnya dari rumah kos Nadia, sahabatku, dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Tertimpa mayat-mayat yang bergelimangan lumpur dan sampah-sampah yang terbawa air bah. Malah para relawan yang mengevakuasi sempat mengira aku pun telah menjadi bangkai. Namun, ada salah seorang relawan yang mendengar ceracauan dari bibirku. “Allah…Allah”. Maka sang relawan dan rekan-rekannya pun langsung mengevakuasiku menuju Rumah Sakit Zainal Abidin.

Berhari-hari aku mengalami perawatan intensif. Air pekat bak pelumas yang sempat tertelan, benar-benar membuat kondisiku masih tak stabil. Tim dokter berusaha keras mengeluarkan cairan-cairan itu dari dalam tubuhku. Alhasil, berangsur-angsur kondisiku mulai membaik meski berkali-kali aku memuntahkan isi perutku. Butiran-butiran pasir hitam pun keluar dari setiap celah lubang di tubuhku. Tak bisa kubayangkan berapa banyak air bah yang sudah terminum olehku. Aku hanya bisa pasrah…. karena yang ada di pikiranku saat itu hanyalah nasib keluargaku.

Aku benar-benar sebatang kara… Kadang-kadang rasanya…aku ingin mati saja…. Namun, setiap kali aku menangis dan putus asa, aku selalu teringat akan cerita pak dokter yang merawatku tentang betapa sang relawan baik hati itu berusaha menyelamatkan nyawaku. Selama aku belum siuman, sang relawan selalu menyempatkan diri setiap hari menjengukku. Berdoa di dekat telingaku, walaupun hanya lima belas menit saja. Setelah itu ia akan pergi dan kembali melaksanakan tugas kemanusiaannya. Namun, semenjak aku sadar, tak sekalipun ia menjengukku lagi. Padahal, aku hanya ingin berterima kasih pada relawan itu, yang bahkan wajahnya pun tak pernah kulihat. Maka, di atas pembaringan itu, aku memohon pada Yang Maha Kuasa agar bisa dipertemukan lagi dengan sang relawan tersebut.

Ternyata doaku itu dikabulkan-Nya. Suatu ketika, Makcik Mirna, adik ibuku beserta suaminya, Pakcik Rudy, menemukanku di rumah sakit itu. Ternyata sudah berhari-hari, sejak peristiwa minggu kelabu itu, mereka langsung terbang dari Jakarta untuk mencari keluargaku. Mereka kehilangan jejak dan hampir putus asa. Meski sudah mencari informasi ke sana-kemari, namun tak kunjung membuahkan hasil untuk melacak keberadaan kami. Akhirnya mereka bertemu dengan sang relawan yang sempat mengevakuasiku waktu itu. Ia sedang bertugas di sebuah posko. Sang relawan pun mengantarkan mereka untuk bertemu denganku. Maka, sejak itulah aku seperti kembali menemukan kehangatan baru di tengah kehampaan dan kesedihanku.

Namanya masih terpatri di hatiku. AQSA. Sang relawan tampan dari sebuah LSM asing. Ia seperti malaikat yang dikirimkan Tuhan buatku. Berkali-kali ia berjasa untukku. Bahkan, ia tak kenal lelah membantu Makcik Mirna dan Pakcik Rudy melacak keberadaan keluargaku.

Hari demi hari aku semakin dekat dengannya. Berkat bantuannya pula aku bertemu dengan Nadia, sahabatku. Nadia juga selamat dan dirawat di sebuah rumah sakit darurat. Kondisinya tidak separah aku, sehingga Nadia-lah yang duluan menjengukku. Namun sayangnya, Jannah dan Keumala – dua sahabatku yang lainnya – tak terselamatkan dalam kejadian tersebut. Jenazah mereka ditemukan tak jauh dari rumah kos Nadia. Aku sempat shock mendengarnya….

Kupeluk Nadia erat-erat. Air mata kami pun berlinangan. Ketika peristiwa itu terjadi, kami berdua sempat berpegangan, namun terpisahkan oleh sapuan arus air bah nan maha dahsyat. Keluarga Nadia di Lhokseumawe selamat, namun entah bagaimana dengan kondisi keluargaku. Ayah… Ibu… Alika…Bang Fadlan dan seluruh keluarga besarku, aku benar-benar tak tahu nasib mereka. Apakah masih hidup ataukah telah tiada? Bahkan menurut kabar, rumahku pun hanya tinggal puing-puing berserakan. Namun jasad mereka tak jua ditemukan. Apakah semua telah tersapu oleh gelombang tsunami ke laut lepas? Ah, entahlah…. Aku sungguh tak sanggup membayangkannya….

Kutumpahkan semua rasa yang menyesakkan dada dengan isakan tangis di bahu Nadia. Tangis atas kehilangan orang-orang yang sangat kucinta. Makcik Mirna, Pakcik Rudy dan Aqsa pun hanya mampu tertunduk, ikut larut dalam suasana pilu yang kurasakan saat itu.

**

Malam ini menjadi malam terakhirku di Banda Aceh. Selepas subuh besok aku harus segera beranjak menuju Bandara Sultan Iskandar Muda, kembali ke Jakarta. Maka itu, Nadia dan  Mirza, suaminya, menjemputku malam ini untuk makan malam bersama. Sebelum turun ke lobby Hotel Hermes, Nadia memintaku untuk berdandan yang cantik dan anggun. Aku tak mengerti maksudnya, tapi kuikuti saja kemauannya. Alhasil, ketika Nadia melihatku, ia sempat berdecak kagum. Waaaaah, jadi sal-ting neh…. Hehehe.

Tanpa banyak bertanya, kuikuti saja langkah pasutri baru itu menuju ruang restoran hotel. Dari kejauhan, di sebuah meja, samar-samar kulihat seorang pria sedang duduk sendiri seperti menunggu seseorang. Kontan aku terperanjat! Wajah itu, benar-benar tak asing lagi buatku!

“Masya Allah…. Nadia, itu kan..."

"Ssssttt!!!...Ayo, ikut saja….,” potong Nadia seraya menggamit tanganku. Makin lama objek itu semakin jelas dan aku tak bisa melakukan apa-apa selain menurut saja.

Ya Allah… Apa aku sedang bermimpi? Mata itu.. senyum itu… malaikatku, dia hadir di hadapanku!!! Tolong bangunkan aku, Tuhan… jika semua ini hanya mimpi….

Hatiku benar-benar bergejolak. Perutku mules dan tanganku dingin. Aku tak menduga sama sekali. Nadia dan Mirza telah mempertemukan aku dengan lelaki itu malam ini. Lelaki yang sudah hampir enam tahun lamanya tak pernah kutemui. AQSA….

Sejujurnya, aku tak siap bertemu dengannya saat ini. Namun, entah mengapa ada rasa bahagia ketika melihat sosoknya kembali hadir di pelupuk mataku.

Seketika kenangan itu muncul kembali. Betapa laki-laki itu begitu banyak membantuku untuk melewati hari-hari sulit karena kehilangan keluargaku. Pelan-pelan ketulusannya mampu menyentuh lembut jiwaku. Bahkan, ia sempat berharap aku mau membuka hati untuk menerima kehadirannya. Tapi… aku menolak…! Bukan aku tak menyukainya, tapi kenangan pahit dengan pengkhianatan Fadlan yang cukup menyakitkan, membuatku gamang untuk kembali membuka hati pada laki-laki lain, termasuk Aqsa. Aku memang butuh waktu lebih lama untuk menata kembali hatiku atas kehilangan semua orang yang kucintai. Aku tahu, ia kecewa. Namun, Aqsa pun berusaha memahami dan menghormati keputusanku waktu itu.

Dengan jiwa besar, ia melepasku meninggalkan tanah leluhurku demi kehidupan yang lebih baik. Setelah itu, kami tak pernah bertemu atau saling kontak lagi. Terakhir, setelah setahun kepindahanku ke Jakarta, Nadia mengabarkan kalau Aqsa disekolahkan lagi ke Inggris oleh lembaga tempat ia bekerja. Waktu itu, aku sempat terpaku mendengarnya. Tiba-tiba saja, aku merasa selama ini telah menjadi orang yang sangat naif. Bahkan, nuraniku tak mampu berdusta lagi….. Aku merasa kehilangan dirinya…

Namun, terbuktilah kata orang-orang bahwa rezeki, jodoh dan maut sudah berada dalam genggaman-Nya. Takdir menentukan kami untuk bertemu kembali. Beberapa hari yang lalu Aqsa menghadiri resepsi pernikahan Nadia dan Mirza. Ia tahu aku juga datang. Namun, Aqsa meminta Nadia untuk merahasiakan kehadirannya padaku. Ternyata ia sengaja mengatur perjumpaan ini untuk memberikan sebuah kejutan. Dan, jujur saja… aku memang surprise sekali!

Sepanjang makan malam, aku benar-benar tak berkutik. Padahal, Aqsa, Mirza, beserta Nadia terus saling bercengkerama. Aku tahu mereka selalu berusaha melibatkanku dalam setiap obrolan. Namun bodohnya, lagi-lagi aku hanya mampu menundukkan pandangan. Sambil menekuri gelas jus yang hampir kosong, setengah mati aku mencoba menenangkan degup jantungku yang tak mau jua berkompromi dengan tuannya.

[caption id="attachment_184772" align="alignleft" width="300" caption="http://myniceprofile.com"][/caption]

“Meutia..?” Sebuah suara nge-bass yang diam-diam kurindukan itu lembut menyapa gendang telinga. Melenakanku sedetik, hingga sebuah sikutan Nadia sontak membuatku gelagapan. Cepat-cepat aku tersadar dari lamunanku yang sudah melambung tinggi entah ke langit ke berapa….

“Maaf….kalau… kali ini… aku terlalu lancang, Meutia… Aku sudah membicarakan ini dengan Nadia dan Mirza sebelumnya.” Suara Aqsa terdengar agak tersendat. Aku tak bisa menebak apa yang sedang ia pikirkan. “Kalau boleh, besok aku ingin ikut denganmu ke Jakarta…”

Kontan wajahku langsung mendongak. Menatapnya sebentar, sebelum akhirnya kembali membuang pandanganku ke lantai restoran yang mulus dan licin. Panik..!! Aku merasa wajahku pasti sudah seperti kepiting rebus. Irama jantungku semakin tak karuan. Sekilas kulirik raut Nadia, sahabatku itu malah tersenyum senang. Aaaah, Nadiaaaaa… bagaimana ini?

“U.. untuk keperluan apa Abang ingin ikut denganku?” gumamku sambil memandangnya sekilas. Aku benar-benar tak menemukan kalimat lain yang lebih tepat, selain melontarkan pertanyaan bodoh itu. Bahkan, kini perutku lebih mules lagi dari sebelumnya. Karena berharap-harap cemas menunggu jawaban apa yang akan meluncur dari bibir Aqsa….

“Aku ingin bertemu Makcik Mirna dan Pakcik Rudy, Tia. Aku ingin melamarmu menjadi istriku…..” Aqsa mengucapkan kalimat barusan dengan pasti. Tanpa tersendat-sendat lagi.

Glek! Huuuuaaaaaa….. Benar kaaaaan?Ya Rabb...  Apa ini bukan mimpi belaka? Rasanya sedetik itu juga aku ingin sekali menyembunyikan wajahku di balik meja makan. Aku tak kuasa menahan senyum malu-malu….Duuuh, kenapa semua jadi serba salah? Oh, Ayah… Ibu… aku harus katakan apa…??!! Aku seperti berada dalam pusaran tsunami yang membuatku tak berdaya. Namun, entah mengapa, bibirku malah refleks mengajukan sebuah pertanyaan lagi padanya.

“Mengapa Bang Aqsa begitu yakin kalau aku akan menerima lamaran Abang?”

Sejurus kemudian, aku merasa sebelah tangan Nadia meremas tanganku di bawah meja. Tampaknya dia begitu gregetan dengan pertanyaan konyolku. Uuuuh…, otak, hati, dan bibirku memang sedang tak sinkron….

“Aku harus yakin tentang itu. Bukankah keyakinan dan harapan yang membuatmu tetap ada hingga detik ini? Maka, aku pun harus seperti itu. Kalau pun aku harus menunggumu lebih lama lagi, Insya Allah aku siap….!!!” Aqsa menatapku dengan lukisan senyuman terindah yang amat sangat kurindukan. Oh Tuhaaaan,….hatiku meleleh…

Sejenak aku terpana. Tak sanggup berkata apa-apa lagi. Namun, aku tahu…. di relung hatiku yang terdalam… hanya syukur pada-Nya yang mampu kurasakan. Karena malam ini… Aku sangaaaaaaat BAHAGIA… BENAR-BENAR BAHAGIA….

- TAMAT -

*Catatan :

  • Cerbung ini disarikan dari kisah beberapa sahabatku (nama disamarkan) yang telah banyak dimodifikasi (terutama dari pertengahan cerita di postingan ini hingga ending adalah fiksi belaka).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun