Mohon tunggu...
Firol Mustaqimah
Firol Mustaqimah Mohon Tunggu... Penulis - Student of sociology

Jakarta Islamic University Sociology 2018

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Islam dan Kepemimpinan Perempuan

15 November 2019   23:38 Diperbarui: 15 November 2019   23:48 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini merupakan sebuah inti sari dari buku " Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas" yang ditulis oleh dosen saya tercinta Ibu Neng Dara Affiah. Terdapat tiga bab dalam buku tersebut dan yang membuat saya tertarik adalah apa yang ditulis oleh Bu Neng pada bab pertama, yang beliau beri judul " Islam dan Kepemimpinan Perempuan".

 Berbicara mengenai perempuan, pasti selalu dikonotasikan sebagai feminisme. Saya membenarkan akan hal itu pada apa yang akan dibahas oleh tulisan ini. Namun yang perlu diingat bahwa feminisme bukanlah sebuah gagasan yang menghendaki kesetaraaan anatara laki-laki dan perempuan yang direalisasikan dengan "laki-laki melakukan pekerjaan perempuan" dan sebaliknya. Feminisme dalam arti yang sesungguhnya yaitu yang menghendaki kesetaraan atau keadilan gender dengan tidak memposisikan baik laki-laki maupun perempuan diposisi paling tinggi, yang kemudian mempengaruhi hak-hak yang seharusnya didapatkannya.

Gender dalam kacamata Islam

 Pertama-tama saya akan membahas isu ini melalui kacamata agama, yang mana justru seringkali dalil-dalil agama inilah yang dijadikan argumentasi untuk menolak peran perempuan terutama dalam hal kepemimpinan. Dalam salah satu ayat alqur'an, tepatnya surah Al-Hujurat ayat 13 disebutkan secara jelas akan kesetaraan manusia baik berdasarkan kasta, ras, dan jenis kelamin. Rasulullah SAW sang nabi mulia pun mecerminkan dalam perilakunya akan hak-hak perempuan, walaupun beliau hidup pada masa dimana perempuan dianggap sebagai aib dan diremehkan.

 Dalam alqur'an surah Al-Baqarah ayat 30 Allah menciptakan manusia, laki-laki maupun perempuan sebagai khalifah (pemimpin) dibumi. Kepemimpinan disini tentunya memiliki arti yang sangat luas. Bisa saja menjadi pemimpin pemerintahan, pemimpin Pendidikan, pemimpin keluarga, dll. Namun yang perlu dicatat disini adalah manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri yang mana memiliki tanggung jawab dan harus dilaksanakan dengan amanah. Jika meninjau dari ayat tersebut, islam tidaklah membatasi siapapun untuk menjadi pemimpin, baik laki-laki maupun perempuan meiliki derajat yang sama dalam hal kepemimpinan.

 Salah satu ayat alqur'an yang sering dijadikan sebagai argumen untuk menolak kepemimpinan perempuan yakni surah An-Nisa ayat 34 yang berbunyi "laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan". Yang menjadi pangkal perdebatan adalah kata qowwam yang sering diasumsikan bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab, kekuasaan dan wewenang atas fisik dan moral prempuan serta memiliki kelebihan diatas yang lain. Dari pemaknaan diatas Nampak jelas bahwa pria ada pada posisi superior, sementara perempuan pada posisi yang inferior. Argument superioritas laki-laki ini didasarkan pada asumsi bahwa pihak laki-laki memiliki asset kekayaan yang dapat membiayai kehidupan perempuan. Selain itu, laki-laki dianggap memiliki kelebihan penalaran (al-aql), tekad yang kuat (al-hazm), kekuatan (al-quwwah), kemampuan tulisan (al-kitabah), dan keberanian (al-furusiyyah wa al-ramy).

 Menurut ahli tafsir yang brspektif feminis, makna dari kata "kelebihan" pada ayat tersebut tergantung pada kuaitas masing-masing individu yang tidak didasarkan pada gender. Begitu pula Amina Wadud Muhsin menyatakan bahwa "kelebihan" tersebut tidak bersifat hakiki, melainkan fungsional. Jadi, diebut superior selama yang bersangkutan memiliki kriteria alqur'an yakni memiliki kelebihan dan memberi nafkah, tentu saja ini tidak terbatas baik laki-laki maupun perempuan. Selain melihat dari tafsiran ayatnya, perlu kita ketahui pula konteks kelahiran ayat tersebut. Pertama, ayat ini turun dalam konteks hubungan suami istri. Kedua, melarang perempuan menjadi pemimpin bertentangan dengan konsep dasar Tuhan menciptakan semua makhluk denga derajat yang sama. Ketiga, adanya kekerasan domestik pada masyarakat arab pra islam.

 Meskipun dalam islam sudah jelas tidak melarang perempuan menjadi pemimpin tapi eksistensi pemimpin perempuan maasih terbatas. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah pemahaman yang salah kaprah tentang ajarn Islam. Selain itu, adanya ego kolektif masyarakat muslim yang melanggengkan patriarki dengan internaisasi niai bahwa laki-laki meripakan manusia utama dan perempuan sebagai pelengkap. Berikut ada beberapa cara untuk dapat membentuk pemimpin perempuan dalam berbagai ranah kehidupan. 1) tidak membeda-bedakan pola pengasuhan anak baik laki-laki maupun perempuan. 2) anak laki-laki dan perempuan dapat mengakses apa saja sepanjang bermanfaat bagi perkembangannya. 3) memberikan kebebasan atas pilihannya. 3) melatih perempuan jatuh bangun dengan pilihannya sehingga dalam proses itu akan muncul pendewasaan diri dan "otonomi" diri. 5) menghindari pengekerangkengan perempuan dengn dalih "perlindungan" karena akan menjadikannya kerdil dan gagap dalam menghadapi realitas kehidupan.

Kepemimpinan Perempuan dan Atonomi diri:

Seorang Megawati Soekarnoputri

 Dalam teori sosialisasi politik dinyatakan, keluarga dan orang tua adalah penentu utama anak untuk terlibat dalam kehidupan politik. Seiring perkembangan hidup seseorang, peranan kelompok sepergaulan semakin menentukan sikapnya dimasa mendatang. Persoalannya, tergantung kelompok mana yang dominan mempengaruhi orang tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun