Mohon tunggu...
Firna Yulita Lismaya
Firna Yulita Lismaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional

Likey

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Cyber Diplomacy: Urgensi Peningkatan Keamanan Siber dalam Masyarakat Digital

2 Desember 2021   19:48 Diperbarui: 2 Desember 2021   19:58 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: https://twitter.com/bhumharit

Cyber Diplomacy merupakan transformasi dari diplomasi yang selama ini kita ketahui secara umum, dengan fokus pencapaian yang berorientasi pada isu-isu siber. Diplomasi sendiri merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk mempengaruhi pihak lain agar tujuan yang diinginkan dapat dicapai, baik dengan cara negosiasi dan perundingan maupun cara-cara koersif yang bersifat memaksa. Cyber Diplomacy ini berfokus secara khusus pada pembangunan kerja sama dan menjalin hubungan dengan negara maupun pihak lain dalam membahas perkembangan, penanganan, dan pencegahan ancaman terhadap isu-isu siber yang menjadi permasalahan bersama. Diplomasi ini dilakukan negara dengan harapan mampu mencapai kerja sama dalam meningkatkan dan memperkuat bidang-bidang siber yang masih menemui berbagai kendala dan ancaman yang sulit dilawan apabila negara bersikap individualis. Cyber Diplomacy dapat dijadikan sebagai media oleh negara dan aktor-aktor ruang siber untuk mendiskusikan potensi yang ada dan solusi untuk menangani permasalahan yang terjadi di ruang siber serta menyesuaikan kepentingan masing-masing pihak agar tidak bersinggungan.

Negara harus menyadari bahwa dimasa sekarang ini, wilayah darat, laut, udara, maupun luar angkasa merupakan area yang tidak lagi dapat 'dikekang' dari kemajuan yang terjadi diluar sana. Perkembangan teknologi beserta perangkat-perangkat dan jaringan yang semakin canggih menciptakan ruang baru melampaui lintas batas yang bisa disebut cyber space atau ruang siber. Ruang siber merupakan area dimana individu atau entitas dapat beraktivitas secara virtual dengan berbasis jaringan terutama internet. Untuk mengimbangi ancaman yang datang seiring dengan akses ruang siber yang tak terbatas, negara berusaha sangat keras untuk memproteksi. Namun, sebagaimana diketahui bahwa akan sangat sulit untuk mencegah ancaman dan menangani kendala yang ada apabila negara-negara bekerja secara terpisah karena ancaman dalam ranah siber merupakan ancaman yang sulit diidentifikasi dan dapat terjadi kapanpun dan dimanapun.

Urgensi Peningkatan Keamanan Siber dalam Masyarakat Digital

Perkembangan teknologi dan kecanggihan dalam ruang siber membuat masyarakat ikut bertansformasi menjadi masyarakat digital. Di era digital ini, interaksi sosial masyarakat sudah melewati lintas batas dan dapat terhubung satu sama lain secara luas melalui perangkat-perangkat yang terkoneksi dalam suatu jaringan. Tren pemanfaatan ruang siber terus meningkat, hal ini nampak dari meningkatnya penggunaan internet dan jumlah kunjungan ke laman media sosial dan platform belanja online dengan pembayaran via akun bank yang bisa diakses melalui aplikasi di smartphone. Meningkatnya konektivitas dan ketergantungan aktivitas ruang siber selaras dengan meningkatnya kejahatan transnasional berbasis siber. Peningkatan kejahatan siber ini harus diselesaikan dan diantisipasi sebaik mungkin agar tidak terjadi secara terus menerus dengan meningkatkan keamanan siber. Secara sederhana, konsep keamanan adalah ketiadaan rasa takut, bahaya, kecemasan, dan ancaman terhadap nilai-nilai yang dimiliki, seperti kehidupan, materi, identitas, status sosial, mata pencarian, dan lingkungan pergaulan sosial. Keamanan dapat dibagi menjadi dua konsep, yaitu keamanan tradisional dan keamanan non-tradisional. Dalam kajian Hubungan Internasional, konsep keamanan tradisional mengacu pada ancaman berbasis militer, seperti agresi, invasi, dan perang senjata. Sedangkan konsep keamanan non-tradisional memiliki cakupan yang lebih luas, meliputi keamanan ekonomi (economic security), keamanan energi (energy security), keamanan maritim (maritime security), keamanan lingkungan (environmental security), hingga keamanan siber (cyber security).

Keamanan siber dapat diartikan sebagai rangkaian mekanisme yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya disrupsi dan melindungi semua elemen ruang siber dari serangan atau ancaman baik pada software, hardware, maupun computer network (Fischer, 2009). Kemudahan yang tersedia mendatangkan peluang bagi oknum-oknum tidak bertanggung jawab memanfaatkan ruang siber untuk melakukan tindakan melanggar hukum dan merugikan pihak lain, tindakan ini sering disebut kejahatan siber atau cyber crime. Tidak hanya informasi dan data individu, aktor-aktor kejahatan siber juga menyasar website atau situs resmi milik pemerintah dan meretas informasi rahasia negara melalui malware atau program komputer yang menyusup untuk mencuri data. Tren global yang muncul dalam ruang siber meliputi ancaman terhadap aktivitas daring, ancaman terhadap kerentanan perangkat lunak, dan ancaman terhadap keamanan nasional dan tindakan spionase website. Interaksi masyarakat dalam penggunaan internet di ruang siber sangat bergantung pada kerahasiaan, ketersediaan, dan keutuhan informasi yang dapat diakses. Di Indonesia, berita terbaru yang menjadi perbincangan saat ini adalah jaringan pinjaman online yang menjerat para peminjam dengan jumlah pengembalian yang tidak masuk akal. Jaringan pinjaman online ini menawarkan pinjaman melalui pesan singkat maupun aplikasi pesan secara random. Syarat yang diberikan cenderung tidak rumit, mulai dari data pribadi seperti KTP, nomor ponsel jaminan, dan alamat saja. Dilansir dari berbagai sumber, jaringan pinjaman online ilegal ini dioperasikan oleh Warga Negara Asing (WNA) yang membuka kantor berkedok Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan merekrut tenaga kerja dalam negeri.

Saat ini, berkembang pula tren transaksi melalui dompet digital yang memberikan kemudahan pada penggunanya, cukup dengan scan kode maka transaksi pembayaran akan segera diproses. Peningkatan transaksi digital di berbagai negara diikuti oleh berbagai aktivitas peretasan, Singapura mengalami kerugian pada tahun 2018 karena 19.000 data kartu kredit nasabah diretas dan diperjualbelikan. Vietnam pun tak luput dari serangan hacker karena peretasan dialami oleh maskapai penerbangan Vietnam, hal ini mengakibatkan hilangnya data 410.000 pengguna (Ramadhan, 2019). Permasalahan lain yang muncul adalah kerahasiaan informasi pengguna ruang siber yang tidak terlepas dari ancaman kebocoran dan penyalahgunaan data. Setiap akun transaksi perbankan maupun akun berisi data penting selalu diproteksi oleh kata sandi, namun dengan kecanggihan teknologi yang selalu diupgrade, maka pelaku kejahatan siber pun semakin cerdik dan mampu memanipulasi proteksi akun dan meretas data-data privasi pengguna ruang siber. Perang informasi dalam ranah digital yang dimanfaatkan untuk menguntungkan salah satu pihak mengubah ruang siber menjadi ruang yang digunakan dalam melanggar teritorial dan batas negara untuk mencapai tujuan tertentu.

Untuk memastikan keamanan data pengguna dan informasi rahasia milik pemerintah, negara-negara sudah semestinya meningkatkan kerja sama agar dapat terwujud mekanisme yang dapat mencegah terjadinya tindak kejahatan di ruang siber terlepas dari adanya dua pendapat berbeda yang dipercaya oleh negara. Di satu sisi, sebagian besar negara barat mengemukakan bahwa aktivitas ruang siber harus terbuka dan bebas, sedangkan di sisi lain, beberapa negara berpendapat bahwa aktivitas internet dan ruang siber harus terorganisir dan pemerintah harus memiliki kontrol disana. Kelompok negara yang terus mempelajari ancaman siber, penanganannya, dan tinjauan hukum yang sesuai atau dikenal sebagai Groups of Governmental Experts (GGE). GGE memulai sidang pembahasannya sejak 2014 hingga tahun 2017, namun setelahnya GGE tidak berhasil menyepakati agenda sidang selanjutnya. Sulitnya menentukan regulasi dan hukum dalam ruang siber dikarenakan negara-negara sebagian besar belum mengadopsi regulasi bersama yang dikeluarkan. Ruang siber memerlukan adanya regulasi dan aturan mengikat dan harus dipatuhi bersama agar aktivitas siber yang terjadi didalamnya tidak melanggar kepentingan pihak lain dan tidak merugikan pihak manapun. Negara perlu berdiplomasi dan meningkatkan kerja sama dengan aktor-aktor non-negara yang terlibat dalam aktivitas ruang siber agar ancaman kejahatan siber dapat diminimalisir.

Bibliography

Fischer, E. (2009). Creating a National Framework for Cybersecurity: An Analysis of Issues and Options. New York: Nova Science Publishers.

Hamonangan, I., & Assegaff, Z. (2020). Cyber Diplomacy: Menuju Masyarakat Internasional yang Damai di Era Digital. Padjajaran Journal of International Relations (PADJIR), Vol. 1, No. 3, 311-332.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun