Mohon tunggu...
Fir Nas
Fir Nas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Spiritualitas dan Kekerasan; Dampak Perilaku Generasi Masa Depan

14 September 2017   21:31 Diperbarui: 14 September 2017   21:34 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Tepat tanggal 10 Dzul-Hijjah 1438 H Ummat Islam memperingati hari Raya Idul Adha atau juga dikenal dengan hari raya kurban. Salah satu peristiwa yang selalu dikenang dan direnungkan adalah pengujian ALLAH kepada manusia utusannya. Yang kemudian diabadaikan dalam Al-quran Surah Ash-Shaffat; 102, yaitu ketika Nabi Ibrahim, yang bersedia mengorbankan putranya untuk Allah. Ringkas peristiwa kemudian sembelihan itu digantikan oleh-Nya dengan domba.

Peristiwa ini dapat dilihat sebagai salah satu bentuk Ketaatan dan Kesempurnaan Iman seorang manusia bernama Ibrahim A.S. Namun, kesempurnaan spiritual ini juga tetap masih diuji oleh Allah. Dari beberapa peristiwa yang menguji keimanan Beliau, peristiwa pengorbanan sang putra dijadikan sebagai moment yang diperingati oleh ummat manusia khususnya ummat Islam.

Pada beberapa pandangan, baik filsafat, sains, sufi dan agama menempatkan aspek spiritualitas sebagai salah satu sisi untuk mendefinisikan manusia. Spiritualitas dalam pandangan sains; menurut Tischler, Bimberman dan McKeaga dalam Linking emotional intelligence, spiritiality and workplace performance Definitions, models and ideas for research.Spiritualitas dalam beberapa bentuknya dapat dilihat sebagai cara, berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu. Lebih jauh lagi, spiritualitas berkenaan dengan sikap terbuka, memberi, dan penuh kasih seseorang terhadap sesuatu diluar dari dirinya.

Jika dalam praktek berkehidupan spiritualitas ini tercermin dengan baik, maka akan ada sesuatu yang pasti adalah sejauh mata memandang terdapat penampakan yang menengkan hati. Namun, hanya jika perilaku yang dilakukan bukan karena motivasi untuk meraih popularitas melalui simpati, tepuk tangan serta like yang meriah.

Adalah dia, Misbach yang dapat kita temui pada pemberitaan salah satu media online yaitu Tribun News, 2017. Yang memberitakan tentang kisah seorang Guru SMP menembus ke pedalaman Manokwari, Papua Barat. Sebagai seorang pengajar Misbach sadar bahwa membaca dan menghitung adalah sesuatu yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap anak. Dan itu tidak ditemui pada beberapa anak-anak di sana. Untuk itu, dengan menggunakan noken Misbach rela menggendong buku-buku sampai ke pedalaman untuk memenuhi kebutuhan ajar dan membaca anak-anak Manokwari.

Cerita tentang seorang Guru ini dapat menjadi cerminan bagaimana spiritualitas yang tergambar dalam sebuah perilaku. Ketekunan seorang Guru untuk memberi dengan kasih kepada sesama. Kemudian, bagaimana dengan peristiwa yang terjadi beberapa hari ini?

Viral diberitakan oleh media dan sosial media, Rohingya adalah kata yang sering kita temui. Ada apa dengan Rohingya dan siapa mereka? mengapa banyak simpati yang ditujukan untuk mereka? dan mengapa banyak kecaman yang ditujukan kepada orang atau pihak yang dianggap bertanggung jawab? Sangat disayangkan dalam tulisan ini tidak untuk membahas satu-per satu pertanyaan ini. Namun, fenomena ini akan dijadikan sebagai rujukan untuk memahami apa yang terjadi jika ketiadaan aspek spiritualitas pada diri seseorang.

Rohingnya adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan, atau Rohang dalam bahasa Rohingya) di Burma. Dalam sejarah setelah Perang Anglo-Burma Pertama tahun 1826, Inggris menganeksasi Arakan dan pemerintah pendudukan mendorong terjadinya migrasi pekerja dari Bengal datang kesana untuk bekerja sebagai buruh tani. Beberapa sumber informasiu menjelaskan bahwa mereka bermigrasi ke Myanmar dari Bengal terutama perpindahan yang berlangsung selama masa pemerintahan Inggris di Burma, dan pada batas tertentu perpindahan itu terjadi setelah kemerdekaan Burma pada tahun 1948 dan selama periode Perang Kemerdekaan Bangladesh pada tahun 1971 (Wikipedia, 2017).

Selama Perang Dunia II, pada tahun 1942 terjadi peristiwa pembantaian Arakan, dalam peristiwa ini pecah kekerasan komunal antara rekrutan milisi bersenjata Inggris dari Angkatan Ke-V Rohingya yang berseteru dengan orang-orang Budha Rakhine. Peristiwa berdarah ini menjadikan etnis-etnis yang mendiami daerah menjadi semakin terpolarisasi oleh konflik dan perbedaan keyakinan. Puncaknya pada tahun 1982, pemerintah Jenderal Ne Win berlaku hukum kewarganegaraan di Burma. Undang-undang tersebut menolak status kewarganegaraan etnis Rohingya (Wikipedia, 2017).

Dari sini, dapat dilihat jika sikap terbuka, memberi, dan penuh kasih seseorang terhadap sesuatu diluar dari dirinya khsusnya sesama manusia. Yang merupakan cerminan dari sisi spiritualitas sangat sulit ditemui. Mengingat banyak kondisi yang mendorong seorang individu untuk melakukan penguasaan, eksploitasi dan kekerasan sampai pembantaian terhadap manusia lainnya. Sehingga menjauhkan seseorang dari sisi spiritualitasnya.

Dorongan penguasaan ini bukanlah sesuatu yang kebetulan adanya. Salah seorang filsuf yang juga ahli matematika adalah dia Thomas Hobbes. Memandang manusia dalam hubungannya dengan sebuah system negara. Dalam pendangannya, Hobbes menjelaskan manusia memiliki kecenderungan keinginan untuk mempertahankan diri. Kerena kecenderungan ini, manusia didorong untuk saling mencurigai dan mendorong terjadinya perang hingga kekerasan. Dorongan ini yang mengkondisikan manusia untuk menglompokkan diri untuk melawan kelompok manusia lainnya.

Pada situasi ini, entah baik pihak pemerintahan Burma maupun Rohingya sendiri yang saling mencurigai dan berujung kekerasan oleh salah satu pihak. Akhirnya apa yang terjadi jika kondisi ini tetap dirawat (kekerasan dan penindasan terhadap kaum Rohingya)? Patrick J. Fowler et. al menjelaskan dalam Community violence: A meta-analysis on the effect of exposure and mental health outcomes of children and adolescents.Bahwa jika menyaksikan kekerasan secara langsung memiliki efek lebih besar dari pada mendengar tentang kekerasan. Tetapi kedua jenis paparan memiliki dampak yang sama pada masalah internalisasi.

Sementara itu, Bushman dan Huesmann juga mejelaskan dalam Short-term and long-term effects of violent media on aggression in children and adults.Bahwa paparan kekerasan secara keseluruhan ukuran efek signifikan terhadap kekerasan media pada orang dewasa dan anak-anak adalah perilaku agresif, aggressive thoughts, perasaan marah, arousal levels,dan helping behavior.

Artinya bahwa tindakan membiarkan kekerasan tetap terjadi dalam berbagai bentuknya dan menjadikannya sebagai konsumsi masyarakat banyak. Maka satu hal yang pasti, yaitu akan tercipta generasi-generasi yang memiliki masalah pada mental dan perilaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun