Mohon tunggu...
Firnas 08
Firnas 08 Mohon Tunggu... -

browniesm

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Saya (Tidak) Salah Jurusan

9 Oktober 2011   02:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:10 1993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ini tahun kedua saya kuliah di jurusan ***. Sejauh ini saya masih belum mendapat ketertarikan khusus kuliah di jurusan yang mengharuskan para mahasiswanya berfikir penuh logika itu. Jujur, saya tidak menghendaki perasaan ini. Tapi terkadang rasa sesal masuk ke jurusan ini acap kali tersirat manakala saya direndahkan dengan cemooh teman-teman saya.

pernah suatu hari teman saya berkata,”kamu itu anak ***, tapi gini aja gak bisa!”, “kamu itu kan gak terlalu bisa masalah kayak gini”, “kamu itu bla bla bla”, begitulah seterusnya. Sekalipun dengan nada bercanda, tapi itu semua tidak lucu. Saya pun tidak membalas. Tapi di lubuk hati paling dalam ingin rasanya saya menjerit sekencang-kencangnya. tidak tahukah kalian bahwa aku sudah berusaha untuk menyetarakan diri dengan kalian yang memang ‘menginginkan’ masuk jurusan ini!

Saya memang tidak terlalu pintar dalam bidang ini. Saya akui itu. Bahkan saat masih di semester satu dahulu IP saya sangat jelek. Hanya 2, 32. Sedangkan teman-teman saya banyak sekali yang IP-nya di atas 3.00. Bahkan ada juga yang mendapatkan IP mutlak, 4.00. Iri? Sudah pasti iya. Siapa yang tidak iri melihat kesenjangan IP macam itu? Tapi saya tidak lantas merendahkan diri saya sendiri. Saya sudah cukup rendah diri saat masuk jurusan ini. Jika terlalu merendahkan lagi, entah jadi manusia pecundang seperti apa lagi saya ini.

Melihat hal itu, saya pun bertekat keras untuk memperbaikinya di semester 2. Saya bertekat untuk mendapatkan IPK diatas 3.00. Saya pun berkata kepada teman saya, ”untuk mendapatkan IPK 3.00, semester 2 nanti aku harus dapet IP minimal 3.70. Biar aku bisa ambil 24 sks kayak temen-temen yang lain”. Dan tahukah kalian apa balasan teman saya? dia berkata, ”Bolehlah kamu mengharap seperti itu. Tapi kamu harus realistis dong! Kamu mau IP 3.70 sedangkan IP kamu aja cuman 2.32. Bagaimana bisa? Kamu boleh mimpi, tapi kamu harus realistis biar saat kamu gagal mendapatkan mimpi itu, kamu gak terlalu kecewa. Logis lah!”

Sekali lagi, saya direndahkan.

Bibir saya kelu mendengar jawaban teman saya itu. Saya tidak mampu berkata lagi selain ingin menangis saat itu. Sakit rasanya dilarang bermimpi. Padahal tuhan pun memberikan mimpi pada makhluknya secara cuma-cuma. Tidak pandang kaya-miskin, pintar-bodoh,rupawan-jelek, semua bebas untuk bermimpi. Kemudian, kenapa saya dilarang bermimpi? kenapa mimpi saya dihujat oleh keadaan “realistis”? logiskah ini semua?

Di saat seperti ini, orang tua lah yang menguatkan saya. Mereka hebat. Mereka membuat saya berani untuk melanjutkan mimpi itu sekali pun teman-teman bilang ini tidak mungkin. Karena merekalah motivasi saya. Saya amat ingin membahagiakan mereka. Mungkin mereka tidak berkata, namun mereka berperan. Ya, karena mereka memang hanya tokoh khayalan saya saja saat saya terjatuh dalam kondisi terpuruk. Tidak perlulah saya bercerita kepada mereka soal ini. Saya tidak ingin merengek seperti anak umur 7 tahun yang diejek oleh teman-temannya. Saya tidak ingin menambah beban mereka yang telah bersusah payah menginginkan saya masuk jurusan ini. Maka, saya buatlah ‘tokoh khayalan’ ini yang terkadang bisa tersenyum, sedih, dan marah saat saya ingin mengambil suatu keputusan. ‘tokoh khayalan’ inilah sebenarnya motivator saya di ‘dunia maya’. Dan karena tokoh ini pula saya tidak merasa sendiri saat saya dijatuhkan oleh banyak persepsi.

Mengenai mimpi itu, saya pun bermodal ‘bonek’ –bondo nekat- untuk mendapatkannya. Saya berkata pada diri saya sendiri, “tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika kita mau berusaha keras. Tidak peduli seperti apa aku sebelumnya. Belum tentu yang sebelumnya lebih baik ketimbang aku akan lebih baik keesokannya. Ini aku. Dan tak seorang pun boleh melarangku bermimpi! setinggi apa pun mimpiku, aku siap dengan segala resikonya. Kalian bukan tuhan yang mampu memprediksi ending dari mimpi ku!”

Saya pun berusaha keras. Sungguh, banyak sekali cobaan dalam menggapai mimpi ‘IPK 3.00’ itu. Mulai dari faktor ketidak beruntungan sampai dengan faktor deskriminasi kasta kelas yang mengharuskan saya berada diurutan ke-2 dari kelas ‘bawah’ yang selalu di pandang sebelah mata. Namun semua itu tidak bisa menghentikan keinginan saya yang keras. Saya sudah bermimpi, saya sudah berjanji pada mimpi saya, dan saya akan buktikan mimpi ini.

Akan tetapi, di tengah jalan saya sedikit merubah haluan. Usaha sekeras ini sangatlah culas jika semata-mata hanya untuk IPK. Untuk apa IPK bagus tapi nyatanya saya tidak mendapat apa-apa dari usaha saya? Bukankah justru itu yang akan menjadi bekal saya di kemudian hari? Bukankah ilmu lebih penting ketimbang nilai? Ditambah teman saya pernah berkata yang kurang lebih seperti ini; “kalau kamu kuliah hanya untuk nilai, jadilah karyawan saja yang ingin memamerkan nilainya kepada para bos. Tapi kalau kamu ingin jadi bos, jangan rendahkan dirimu dengan nilai. Ambillah ilmu itu sebanyak-banyaknya. Karena disitulah kamu bisa mengembangkannya. Kamu bisa menjadi apa pun yang kamu mau dengan ilmu. Lagi pula, jika hanya sekedar nilai tak perlulah kamu buang-buang waktu untuk kuliah. Siapkan saja uang yang banyak, ijazah pun akan cepat sampai di tangan. Seperti para pejabat.”

Semakin saya renungi, semakin saya mengerti.

Saya pun meluruskan niat saya yang semula jihad untuk IPK 3.00. Saya bertolak pada keadaan dimana saya harus faham dengan apa yang saat ini saya pelajari. Tak lupa pula, usaha ini terus saya maksimalkan semampu saya.

And here I’m.

Semester 2 telah berlalu. Sembari menunggu IP semester turun, saya mengikuti program semester pendek untuk mengangkat nilai semester 1 yang masih jelek. Karena program semester pendek itu, IP semester 1 saya yang hanya 2.32 itu naik menjadi 3.02. Dan tak lama setelah pengumuman IP semester pendek, IP semester 2 saya pun diumumkan. Hanya 3.00. Tapi percayalah, saya bahagia bukan kepalang mendapatkan IP itu. Memang tidak seberapa, namun saya sudah mati-matian mendapatkannya. Selain itu, ada kepuasan tersendiri dalam diri ini bahwa saya tidak semata-mata hanya mendapatkan IP itu. Melainkan, ilmu yang kurang lebih saya mulai memahaminya sebagai anak *** yang bisa dikatakan sangat ‘awam’ mengenai bidangnya sendiri.

sungguh akhir tahun yang menyenangkan kala itu.

Dan mengenai mimpi ‘IPK 3.00’ itu, tuhan sedikit mengubah alurnya. Memang IP semester 2 inisaya belum mampu meraih IP 3.70. Akan tetapi lihatlah, IPK saya tetap 3.00. bahkan ada tambahan 0.01 di belakangnya. Memang benar kutipan pernyataan “man jadda wa jadda” dari novel yang saya baca. “siapa yang berusaha, dialah yang berhasil”

Mungkin awalnya semua meragukan saya. Tidak apa, saya tidak marah sekali pun hati saya sakit mendengar cemoohan itu. Saya tidak marah, sekali pun mimpi saya ditertawakan. Toh karena tawa kalian pula pada akhirnya saya bisa tertawa seperti saat ini. Saya mungkin memang tidak pandai dalam jurusan ini selayaknya kalian. Namun saya percaya pada mimpi saya, usaha saya dan keyakinan saya untuk terus berubah lebih baik dari ‘nothing to something’.

Dan yang lebih terpenting, berdoalah.Tuhan akan mendengar doamu, akan merangkul mimpimu, dan akan memberimu semangat untuk terus maju. Tak peduli bagaimana alur tuhan mewujudkan impianmu. Ia mempunyai rencana yang lebih baik dari pada rencanamu. Teruslah berusaha. Jangan mau berhenti untuk pedulikan tawa orang yang meledekmu. Sesungguhnya mereka hanya iri melihat usahamu. Berjuanglah kawan!

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun