Mohon tunggu...
Firmino Botan
Firmino Botan Mohon Tunggu... Lainnya - Mencoba dengan harapan. Dan berharap untuk terus mencoba

Kesuksesan bukan hanya milik orang-orang yang pintar, melainkan juga milik mereka yang tekun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebebasan Sejati Kunci Membentuk Karakter Diri yang Sejati

2 Oktober 2021   09:01 Diperbarui: 2 Oktober 2021   09:11 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebebasan sejati: kunci membentuk karakter diri yang sejati.

Kebebasan merupakan hal fundamental yang dimiliki oleh setiap manusia. Dewasa ini, kita sering mendengar atau bahkan kita sendiri mengatakan bahwa kita adalah orang yang bebas.

Kita bebas untuk menjadi pribadi seperti apa, kita bebas untuk menentukan pilihan hidup, kita bebas untuk membangun relasi dengan siapa saja, kita bebas untuk menentukan gaya hidup (life style) dan masih ada banyak lagi kebebasan-kebebasan yang lain. Namun, kita dapat menganalisis sekaligus bertanya kepada diri sendiri, apakah kebebasan-kebebasan tersebut sudah menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas karakter diri saya? Atau, sudakah semakin memanusiakan saya sebagai manusia? Tak jarang, kita pun masih salah menggunakan kebebasan tersebut. Bahkan beranggapan bahwa saya bebas maka saya pun seenaknya atau sesukanya bertindak sesuai dengan kehendak pribadi.

Menurut Gaudium et Spes, artikel 17, "Kebebasan merupakan tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia". Dikatakan sebagai tanda gambar Allah yang mulia dalam diri manusia karena kebebasan manusia adalah sebuah anugerah atau pemberian dari Allah, dan manusia harus bertanggung jawab atas kebebasan tersebut kepada Allah (freedom is from God and for God). Di samping itu, kebebasan juga dapat dikatakan sebagai representasi kehadiran Allah di dalam diri manusia. Di mana membantu manusia bertumbuh menjadi pribadi yang berkarakter.

Karakter diri yang sejati memang selalu berkonfrontasi dengan topeng diri. Kebanyakan orang lebih suka menampilkan diri mereka, demi mendapat pujian, perhatian atau simpati  dari orang lain. Bahkan ironisnya, tidak semua orang menyadari hal tersebut. Karena demi menyenangkan orang lain atau agar diterima dalam sebuah kelompok tertentu, orang akhirnya harus mengenakan topeng diri (pencitraan). Oleh sebab itu, kita diajak untuk semakin menyadari siapa diri kita yang sesungguhnya. Sebab, ketika kita semakin mengenal diri kita sendiri, kita pun akan berperilaku sesuai dengan apa yang kita inginkan terhadap diri kita dan bukan semata-mata demi pujian atau diakui oleh orang lain.

Setelah menyadari siapa diri kita, tahap selanjutnya adalah proses pembentukan karakter diri. Akan tetapi, sebelumnya kita harus sadar bahwa, pembentukan karakter diri tidak cukup dengan pengetahuan, atau pengetahuan bukanlah satu-satunya sarana untuk pembentukan karakter diri. Melainkan harus disertai dengan latihan terus menerus atau pembiasaan.

Aristoteles seorang filsuf Yunani pernah berkata, "kamu adalah apa yang kamu lakukan berulang-ulang, sehingga keunggulan adalah kebiasaan." Atau, mengutip prinsip yang digunakan oleh para pelajar Romawi dahulu, "Repetitio est mater studiorum, pengulangan merupakan induk dari belajar.

Dengan pengulangan atau pembiasaan dalam konteks pembentukan karakter diri, orang akan memahami sesuatu secara mendalam dan pada gilirannya menjadikan itu sebagai miliknya.  Sementara itu Seneca pun kembali menegaskan, Dediscitanimus sero, quod didicit diu, apa yang sudah lama dipelajari atau sesuatu yang terus dibiasakan, sulit dilupakan. Karena hal tersebut sudah menjadi bagian integral dalam diri kita.

Orang yang terus melatih diri dalam proses dengan tekun merupakan pribadi yang berkarakter. Pribadi yang berkarakter menurut Foerster, dengan ciri: Pertama, Keteraturan Interior. Artinya, setiap tindakan yang dilakukannya selalu mengikuti hierarki nilai. Ia tidak tergoda untuk melakukan sesuatu secara tergesa-gesa, tetapi melakukannya secara cermat, teratur dan tepat. Kedua, Koherensi. Melalui sikap ini, biasanya ia teguh dalam prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko.

Ketiga, Otonomi. Kemampuan seseorang membatinkan atau menginternalisasi perbuatannya secara berulang-ulang akan menjadi nilai yang berharga bagi dirinya. Keempat, Keteguhan dan Kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang untuk terus berperilaku yang baik sementara kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan akan komitmen yang dipilih, (Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan, Ex Latina Claritas,"Ubi dubium, ibilibertas", hlm 93).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun