Mohon tunggu...
Firman Telaumbanua
Firman Telaumbanua Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Ilmu itu Ada Masanya: BERSYUKUR selalu dan BERBAGI lah, sebab itulah Kunci membuka Dunia. www.firmantel.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Prospek Perawat di Masa Depan, Bagaimana Menyikapi?

25 Juli 2013   12:13 Diperbarui: 4 April 2017   18:30 1548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1374729971853416886

BAGAIMANA KITA MENYIKAPI DAN BAGAIMANA PROSPEK PERAWAT DI MASA DEPAN.

PERTAMA, PENINGKATAN JENJANG PENDIDIKAN (PERAWAT)

Solusi untuk menjawab pertanyaan di atas adalah dengan berbenah diri. Memperbaiki kualitas lulusan perawat melalui jenjang pendidikan Perawat (S1 Keperawatan), bukan hanya menambah jumlah Perawat tetapi memperbaiki kualitas Perawat melalui perbaikan insitusi pendidikan penyelenggara program Perawat. Institusi harus memperhatikan PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, sebagai tindak lanjut berlakunya SISDIKNAS th. 2003. Dalam UU No 20/2003, pendidikan diploma masuk dalam jenis pendidikan vokasi sedangkan pendidikan perawat menempati jenis pendidikan profesional. Dengan memperhatikan 5M, M1: Man – kualitas tenaga  pengajar; M2: Material – kecukupan sarana prasaran pembelajaran, M3 – Method – Kurikulum dan metode pmebelajaran yang sesuai dengan tekad KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi); M4 – Money – Anggaran untuk proses belajar mengajar dan penyediaan resources; dan M5 – Mutu /Marketing – kualitas dan upaya institusi untuk menangkap peluang pasar. Tanggung jawab moral institusi untuk lebih mengedepankan profesionalisme, bukan untuk orientasi kapitalisme semata. Bukan hanya untuk menghantarkan  lulusan Perawat sampai ke pintu gerbang, tetapi mengantarkan sampai ke gerbang memasuki dunia kerja.

KEDUA, MENATA PENDIDIKAN PERAWAT SECARA PROFESIONAL

Langkah awal yang perlu ditempuh oleh Perawat profesional adalah mengembangkan Pendidikan Tinggi Keperawatan dan memberikan kesempatan kepada para perawat untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga diharapkan pada akhir tahun 2015, semua pendidikan perawat yang ada di rumah sakit sudah memenuhi kriteria minimal sebagai perawat profesional (Perawat).

Pada saat ini pelbagai upaya untuk lebih mengembangkan pendidikan keperawatan profesional memang sedang dilakukan dengan mengkonversi pendidikan SPK ke jenjang Akademi Keperawatan dan dari lulusan Akademi Keperawatan diharapkan dapat melanjutkan ke jenjang S1 Keperawatan (Perawat). Namun prinsip asal konversi, asal cepat, asal dapat ijazah Perawat, dan asal-asalan menjadi kelabunya masa depan keperawatan. Hal ini menjadi kendala dalam upaya mempercepat profesionalisme keperawatan. Disana sini masih ditemukan berbagai penyimpangan dalam penerapan kurikulum, proses pembelajaran yang tidak sesuai dan tidak mendukung.  Perlu juga diadakan penataan yang mendasar dari Program Pendidikan Perawat dengan lebih menekankan pada upaya meningkatkan kualitas lulusan dan disamping mengembangkan kuantitas pendidikan.

Melihat fakta di atas maka dituntut peran dosen/ staf pengajar untuk lebih memahami relevansi ilmu-ilmu dasar dan ilmu keperawatan dalam mendukung pelaksanaan asuhan keperawatan kepada klien. Sejak mahasiswa mendapatkan ilmu Dasar isi kurikulum sudah diorientasikan dan dikaitkan dengan peran perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan, yaitu dalam membantu, mencegah, meningkatkan, dan mengembalikan fungsi yang terganggu akibat sakit yang dialami klien sehingga klien dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Penekanan dan pembekalan kompetensi perawat dengan AKSI: Attitude, Knowledge, Skill dan Insight.

KETIGA, KAJIAN BATANG TUBUH ILMU KEPERAWATAN DAN STANDAR KOMPETENSI PERAWAT

Ketidakjelasan batang tubuh Ilmu Keperawatan menjadikan penilaian masyarakat tentang Keperawatan (Asrul Azwar, 1999). Pertanyaan yagn sering timbul adalah apakah keperawatan sebagai ilmu? Meskipun pernyataan tersebut dibantah oleh Chitty (1997) bahwa “nursing is as ascience and art, separated from medicine science…..” CHS (1999) juga memperkuat pernyataannya bahwa ilmu keperawatan adalah sebagai ilmu, mereka mengemukakan bahwa ilmu keperawatan sendiri (dasar, anak, maternitas, medikal bedah, jiwa , dan komunitas). Aplikasinya menggunakan pendekatan dan metode penyelesaian masalah secara ilmiah ditujukan untuk mempertahankan, menopang, memelihara dan meningkatkan integritas seluruh kebutuhan dasar manusia.” Tetapi menyimak fakta yang ada di lapangan di Indonesia, pernyataan tersebut menarik untuk disimak. Banyak perawat yang tidak tahu dan tidak jelas tentang ilmu keperawatan yang dimaksudkan. Dari  pengertian tersebut membawa dampak terhadap isi kurikulum pada program pendidikan tinggi keperawatan. Institusi Pendidikan Tinggi Keperawatan belum mampu mengenalkan kejelasan ilmu keperawatan kepada peserta didik. Sehingga peserta didik mendapatkan orientasi ilmu dasar hampir sama seperti yang diajarkan pada program pendidikan kesehatan lain (kedokteran umum, dokter gigi, dan kesehatan masyarakat). Hal ini berakibat terhadap ketidakjelasan peran perawat dalam memberikan asuhan kesehatan kepada klien.

Kondisi yang lebih parah adalah sampai dengan saat ini, manakala profesi lain sudah tinggal landas, perawat masih tertinggal di landasan. Perawat masih berkutat terhadap belum jelasnya lingkup atau batang tubuh ilmu keperawatan. Asrul Azwar (1999) mengatakan bahwa “body of knowledge” ilmu keperawatan belum diakui dan belum tersosialisasikan dengan baik. Perawat belum bisa menunjukkan jati dirinya sebagai suatu profesi yang mempunyai batang tubuh ilmu tersendiri. Sebagian perawat masih belum melaksanakan riset yang disebabkan; keterbatasan waktu, tidak adanya anggaran dan “policy” yang tidak menguntungkan profesi perawat. Hal tersebut menjadikan suatu kontribusi terhadap mendungnya pengembangan kajian ilmu keperawatan saat ini.

Berlandaskan falsafah dan paradigma keperawatan maka nilai / makna yang dapat dikembangkan dari keperawatan dalam pengembangan keilmuan meyakini bahwa keperawatan mempunyai 3 nilai utama yang berhubungan satu dengan yang lainnya, meliputi:  (1) seni (art), (2) Ilmu (Science) dan (3) profesi (Profession).

A. Keperawatan sebagai suatu seni (art).

Seni (art) merupakan refleksi dari perasaan dan persepsi, sebab inti dan esensi keperawatan adalah interaksi interpersonal. Seni sebagai bagian dari keperawatan yang dapat diekspresikan dengan berbagai cara antara lain; sensitivitas dan responsif/tanggap perasaan perawat kepada klien, kemampuan perawat (art) untuk memahami bahasa nonverbal (perilaku) klien dalam mengungkapkan rasa cemas atau nyeri. Walaupun sebenarnya perilaku ini dapat dipelajari secara ilmiah (scientifically), perawat juga dapat belajar melalui penemuan dan praktik intuisi sebagai suatu seni. Sebagaimana yang ditulis oleh Donahue, 1985, “ Keperawatan bukan hanya suatu tehnik tetapi proses yang berhubungan dengan berbagai elemen antara lain ; jiwa, fikiran dan imajinasi. Keseluruhan elemen tersebut merupakan bagian yang sangat penting dalam meningkatkan kreatifitas imajinasi, sensitivitas jiwa, dan pemahaman / kemampuan berfikir yang merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan (care) yang efektif”. Gold (1978) menyatakan “kemampuan dalam memberikan asuhan keperawatan (caring) dipengaruhi oleh kemampuan dalam mengekspresikan diri, ekspresi merupakan bagian / elemen dari pada seni (art)”. Seni atau kemampuan ekspresi diri merupakan hal yang penting untuk mengembangkan kemampuan seseorang sebagai sesuatu yang unik. Intuisi keperawatan harus diidentifikasi dan didukung sebagai seni dalam keperawatan. Dimasa yang akan datang keperawatan adalah seni (art) menggabungkan antara perkembangan ilmu keperawatan dan tehnologi keperawatan (IPTEK Keperawatan) dengan kreativitas seni keperawatan.

B. Keperawatan sebagai suatu ilmu (Science).

Body of Knowledgeadalah unsur utama dalam mengembangkan pendidikan keperawatan. Diawali pernyataan oleh F. Nightingale (1859) sebagai orang pertama yang mengidentifikasi bahwa keperawatan sebagai suatu disiplin ilmu yang terpisah dengan ilmu medis (kedokteran). Untuk membuktikan pernyataan tersebut, maka beberapa pakar teori keperawatan berupaya untuk mendifinisikan keperawatan kedalam suatu konsep. Dari konsep-konsep keperawatan tersebut akan diketahui dan ditentukan bidang ilmu dan rumpun ilmu keperawatan.

Konsep keperawatan dikembangkan berdasar pada filosofi dan paradigma keperawatan. Pada filosofi keperawatan ada 3 (tiga) unsur utama yang menjadi keyakinan dan proses perfikir kritis dalam mengembangkan ilmu keperawatan yaitu ; humanism, holism and care. Dari ketiga unsur utama diyakini bahwa manusia “person” merupakan pusat / sentral asuhan keperawatan dan “care” sebagai dasar / landasan dalam praktik / asuhan keperawatan. Berdasarkan filosofi keperawatan, maka dikembangkan empat konsep utama paradigma keperawatan yaitu manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan. Manusia dipandang sebagai individu yang bersifat holistic dan humanistic yang dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan lingkungan baik internal maupun eksternal yang akan berpengaruh terhadap status kesehatannya, asuhan / pelayanan keperawatan merupakan praktik / tindakan keperawatan mandiri yang diberikan karena adanya ketidak mampuan manusia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

Keperawatan sebagai suatu profesi dan berdasarkan pengakuan masyarakat adalah ilmu kesehatan tentang asuhan / pelayanan keperawatan (The health science of caring) (Lindberg, 1990, hal 40). Caring adalah memberikan perhatian atau penghargaan kepada seorang manusia. Caring juga dapat diartikan memberikan bantuan kepada individu atau sebagai advokat pada individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

Keperawatan sebagai ilmu kesehatan tentang asuhan / pelayanan keperawatan adalah “asuhan / pelayanan keperawatan sebagai pendukung / bagian dalam ilmu kesehatan”, sama halnya dengan seni sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ilmu keperawatan (Lindberg, 1990, hal 40) .

C. Keperawatan sebagai suatu profesi (profession).

Keperawatan sebagai suatu profesi harus mengacu pada kriteria profesi antara lain : tubuh pengetahuan (Body of Knowledge ) yang berbatas jelas, pendidikan khusus berbasis “ keahlian” pada jenjang pendidikan tinggi, memberikan pelayanan pada masyarakat dan praktik sesuai bidang profesi, memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian, memberlakukan kode etik keprofesian dan motivasi bersifat “altruistik”.  Sampai saat ini profesi keperawatan dalam program penataan dan pemantapan  keseluruhan dari kriteria profesi sehingga akuntabilitas dan otonomi sebagai suatu profesi dapat dilaknakan secara optimal. Salah satunya dengan memantapkan tubuh pengetahuan ilmu keperawatan sesuai dengan filosofi dan paradigma keperawatan,  disamping itu juga menata jenjang studi / pendidikan keperawatan di pendidikan tinggi.

KEEMPAT, PENATAAN PRAKTIK KEPERAWATAN

Sejalan dengan akan diundangkannya praktik keperawatan,   maka diperlukan standar kompetensi profesi, salah satunya standar kompetensi perawat (SKP) yang memiliki pengakuan secara nasional. SKP Nasional Indonesia mengacu pada kerangka kerja Konsil Keperawatan Internasional (ICN, 2003) yang menekankan pada perawat generalis yang bekerja dengan klien individu, keluarga dan komunitas dalam tatanan  asuhan kesehatan di rumah sakit dan komunitas serta bekerja sama dengan pemberi asuhan kesehatan dan sosial lainnya. Dalam kerangka kerja ICN, kompetensi perawat generalis dikelompokkan menjadi 3 judul komptensi utama, yaitu: (1) praktik keperawatan profesional, etik, legal dan bertanggung jawab; (2) Pemberian asuhan dan manajemen keperawatan; dan (3) Pengembangan profesional.

Peran profesional perawat tidak akan bisa dicapai, kalau model praktik keperawatan di pelayanan belum ditata secara profesional, minimal pada penerapan model Tim atau primer. Sebagian besar rumah sakit di Indonesia model pelayanan keperawatan yang diterapkan adalah “fungsional” dimana perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien secara terfragmentasi misalnya perawat pada hari tugasnya hanya melaksanakan peran merawat luka kepada semua pasien tanpa mengindahkan kebutuhan klien yang lainnya. Model seperti ini bertentangan dengan filosofi keperawatan, sebagaimana disampaikan Chity (1997) yaitu “humanism, holism, and care.”

Model praktik keperawatan profesional yang dilaksanakan perawat di tatanan pelayanan keperawatan, masih menjadi suatu abstraksi. Pemerintah selalu menekankan bahwa model praktik keperawatan harus ditata dengan baik, tetapi kenyataan yang ada dilapangan masih merupakan suatu angan-angan. Dari pandangan saya, keadaan tersebut tidak terlepas dari sistem yang diterapkan, budaya kerja yang sudah mendarah daging enggan untuk menerapkan suatu perubahan. Dimana perawat dituntut untuk menata model praktik yang baik, di satu sisi terjadi beberapa Resistensi?Anggaran untuk pos keperawatan dikurangi, hal ini juga ditunjang oleh kurangnya keterlibatan perawat dalam membuat keputusan strategis.

Pelayanan asuhan keperawatan yang optimal akan terus sebagai suatu tuntutan bagi  organisasi pelayanan kesehatan. Saat ini adanya suatu keinginan untuk merubah sistem pemberian pelayanan kesehatan ke sistem desentralisasi. Dengan meningkatnya pendidikan bagi perawat, diharapkan dapat memberikan arah terhadap pelayanan keperawatan berdasarkan pada issue di masyarakat.

Sejak diakuinya keperawatan sebagai profesi dan ditumbuhkannya Pendidikan Tinggi Keperawatan (DIII Keperawatan, PSIK) dan berlakunya Undang-undang No. 36 tahun 2009, dan PERMENKES No. 148/2010; proses registrasi dan legislasi keperawatan, sebagai bentuk pengakuan adanya kewenangan dalam melaksanakan praktik keperawatan profesional. Ada 4 model praktik yang diharapkan ada, yaitu model praktik di rumah sakit, di rumah, berkelompok, dan individual. Akan tetapi pelaksanaan PERMENKES tersebut masih perlu mendapatkan persiapan yang optimal oleh profesi keperawatan.

Kita juga harus berhati-hati dengan berlakunya UU Praktik Kedokteran, mau tidak mau, suka tidak suka undang-undang tersebut membawa konsekuensi terhadap praktik keperawatan.

PENATAAN JENJANG KARIER SESUAI KOMPETENSI YG DIPERSYARATKAN

Jenjang karir profesional berbasis kompetensi dicapai melalui pendidikan formal dan pendidikan berkelanjutan. Prinsip pengembangan karir meliputi kualifikasi, penjenjangan, fungsi utama, kesempatan, standar profesi dan komitmen pimpinan. Penjenjangan mempunyai makna tingkatan kompetensi untuk melaksanakan asuhan keperawatan yang akuntabel dan etis sesuai batas kewenangan.

Penjenjangan karir profesional perawat secara umum meliputi:

1.Perawat Klinik (PK)

2.Perawat Manager (PM)

3.Perawat Pendidik (PP)

4.Perawat Peneliti/ Riset (PR)

Sistem promosi karir berdasarkan kualifikasi (credentialing) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1.Pendidikan dasar keperawatan minimal DIII (diploma III)

2.Pengalaman kerja di area klinik

3.Program PBP/ Sertifikasi

4.Uji  Kompetensi Nasional

5.Penataan ”job value/ reward system

BAGAIMANA PROSPEK BEKERJA DI PASAR GLOBAL

Awalnya sebagian besar alumni pendidikan ini, lebih banyak bekerja di bidang pendidikan (menjadi dosen), atau memilih bekerja menjadi perawat di RS . Namun saat ini semakin banyak pilihan untuk bekerja selain di pelayanan.

Tempat lahan kerja Perawat yang ada saat ini adalah :

  1. Menjadi Perawat di RS Negeri/Swasta (Cepat mencapai jabatan struktural; Kepala Ruangan, Bidang Keperawatan, Diklat dsb)
  2. Menjadi Dosen AKPER/AKPER/FIK di Negeri (PNS) atau di Swasta
  3. Bekerja di Asuransi Kesehatan, bagian klaim
  4. Medical Representative (Detailer) di Farmasi
  5. Bekerja di Penerbit Buku Kesehatan
  6. Menjadi Perawat di luar negeri
  7. Peneliti
  8. Pekerjaan lain

Prospek Kerja Perawat Di Luar Negeri

Inggris butuh 10.000, Jepang butuh 20.000, negara-negara Timur Tengah juga butuh ribuan, bahkan Amerika bisa mencapai angka ratusan ribu. Total dunia membutuhkan 2 juta per tahun untuk kebutuhan yang satu ini. Wah, butuh apa nih? Ternyata, butuh tenaga perawat! (Pikiran Rakyat, 2006).

Beberapa tahun terakhir ini, pengiriman yang cukup hangat di berbagai kalangan. Di tengah semakin meningkatnya jumlah pengangguran terdidik dari tahun ke tahun, tentu merupakan hal yang melegakan bahwa perawat dari Indonesia dilaporkan berpeluang bekerja di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Benua Eropa (Inggris, Belanda, Norwegia), Timur Tengah (Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Kuwait) dan kawasan Asia Tenggara (Singapura, Malaysia). Jumlah permintaan berkisar antara 30 orang sampai dengan tidak terbatas.

Kekurangan perawat di dalam negeri merupakan alasan utama negara-negara tersebut untuk menerima tenaga dari luar negeri. Di AS, misalnya, pada 2005 mengalami kekurangan 150.000 perawat, pada 2010 jumlah tersebut menjadi 275.000, pada 2015 sejumlah 507.000, dan pada 2020 menjadi 808.000 perawat. Namun demikian, kekurangan tersebut tersebut menyebabkan mereka lebih berfokus pada bagaimana menghasilkan perawat yang lebih banyak, bukan untuk mencetak perawat yang berpendidikan lebih baik (Bartels JE, 2005).

Di Indonesia, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (PPSDM Kesehatan) melaporkan bahwa jumlah terbesar Tenaga Kesehatan Profesional Indonesia (TKPI) yang telah bekerja di luar negeri mulai 1989 sampai dengan 2003 adalah perawat (97.48% dari total sebanyak 2494 orang). Meskipun jumlah perawat yang bekerja di luar negeri menempati prosentase terbesar dibandingkan tenaga kesehatan yang lain, masih terdapat beberapa poin penting yang perlu menjadi perhatian dan ditanggulangi mulai dari saat ini.

Dari beberapa laporan diketahui bahwa kendala utama yang dihadapi oleh para perawat Indonesia adalah kemampuan berbahasa Inggris dan keterampilan yang masih kurang. Berkenaan dengan ketrampilan perawat Indonesia yang masih kurang, terlihat dari segi skoring NLEX (National License Examination) yang masih rendah. Ujian NLEX sendiri merupakan prasyarat perawat Indonesia untuk dapat bekerja di luar negeri. Sebagai gambaran, skor yang diperoleh perawat Indonesia adalah angka 40. Padahal skoring yang dibutuhkan untuk bekerja di Eropa antara 50 sampai 70 dan di AS antara 70 sampai 80 (Pusdiknakes, 2007).

Dua hal tersebut tampaknya perlu untuk segera ditanggulangi selain faktor-faktor lain yang belum teridentifikasi dalam tulisan ini. Beranjak dari hal inilah sebenarnya lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia dapat mulai ikut berperan aktif dalam merumuskan strategi yang tepat dalam mendidik calon perawat. Laporan tentang pengalaman perawat yang berkerja di luar negeri perlu disampaikan dalam tulisan ini agar kita dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh. Sampai saat ini penulis belum menemukan laporan penelitian yang terkait dengan pengalaman perawat Indonesia yang bekerja di luar negeri. Di lain pihak, kebanyakan laporan penelitian di negara lain terkait topik tersebut menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dilaporkan bahwa alasan yang mendorong seorang perawat untuk bekerja di luar negeri antara lain gaji yang lebih tinggi, prospek karir dan pendidikan yang lebih menjanjikan(Buchan, J. & Calman, L, 2007).

Pada review penelitian oleh Magnusdottir (2005), penelitian Yi & Jezewski (2000) tentang penyesuaian diri 12 Perawat Korea yang bekerja di rumah sakit di AS melaporkan bahwa pada 2-3 tahun pertama mereka bekerja ditandai dengan usaha mengurangi stress psikologis, mengatasi kendala bahasa, dan menyesuaikan diri dengan praktek keperawatan di USA. Kemudian pada 5 - 10 tahun kemudian ditandai dengan belajar mengadopsi strategi penyelesaian masalah menurut budaya AS dan memelihara hubungan interpersonal. Mereka yang berhasil dalam proses tersebut dilaporkan merasa puas. Kendala-kendala di atas merupakan tantangan bagi perawat Indonesia untuk menunjukkan kemampuannya dalam upaya memenangkan persaingan di tingkat global.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun