Membicarakan gaji pertama, seperti mengingatkan kembali tentang rasa bangga dan bahagia seorang sarjana yang baru diwisuda dan merasakan keinginan untuk bisa mendapatkan penghasilan dari bekal ijazah yang didapatkannya. Tentunya kondisi saat itu sekitar Desember 2001-an sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi sekarang yang sangat susah dalam mencari pekerjaan.
Bagi seorang lulusan baru, berita tentang penerimaan kerja adalah sebuah anugerah, secercah harapan yang menerangi jalan di tengah ketidakpastian. Bukan hanya tentang status atau pengakuan, namun lebih dari itu, ini adalah tentang sebuah kebebasan finansial, tentang terlepas dari bayang-bayang ketergantungan.
Saat itu, pikiran utamaku bukan lagi tentang mimpi-mimpi besar yang muluk-muluk, melainkan sebuah doa sederhana, yaitu agar aku bisa segera bekerja dan tidak lagi menjadi beban bagi kedua orang tuaku, terutama ibuku.
Pekerjaan Pertama Menjadi Perjalanan Menuju Gerbang Kemandirian
Masa-masa setelah kelulusan adalah fase yang penuh dengan tantangan. Euphoria wisuda segera digantikan oleh realita mencari pekerjaan. Setiap hari, aku menghabiskan waktu mencari iklan lowongan pekerjaan di hari Sabtu dan Minggu, di beberapa harian ternama di negeri ini, seperti Kompas, dan terkadang sesekali ke warnet untuk membuka informasi lowongan pekerjaan.
Tentu saja bisa dikatakan mencari lowongan, mengirimkan lamaran, dan mempersiapkan diri untuk wawancara, adalah hal yang mendebarkan bila dibandingkan dengan belajar dan membaca buku. Ada rasa cemas yang tak bisa dielakkan, terkadang bercampur dengan sedikit keputusasaan. Apalagi bila saat itu, teman-teman seangkatan mulai satu per satu mendapatkan pekerjaan, menambah tekanan yang kurasakan. Namun, ada satu hal yang terus menguatkanku, yaitu janji dalam hati untuk membahagiakan ibu.
Hidup di awal-awal bulan setelah lulus kuliah memang masih mengandalkan sisa-sisa tabungan. Beruntungnya, sejak masa kuliah aku sudah terbiasa mencari penghasilan tambahan melalui pekerjaan lepas (freelance). Saat itu, pekerjaan seperti menulis artikel dan order pengetikan komputer masih sangat jarang dan belum semarak sekarang, di mana teknologi seperti laptop canggih sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Berbekal kemampuan menulis yang lumayan dan ketelatenan, aku bisa mengumpulkan sedikit demi sedikit rupiah untuk menyambung hidup. Meskipun tidak seberapa, uang hasil jerih payah sendiri itu terasa begitu berharga. Itu adalah awal dari sebuah pemahaman tentang nilai uang dan kerja keras.
Beberapa bulan berlalu. Surat lamaran terus dikirimkan, wawancara demi wawancara dijalani. Hingga suatu hari, sebuah surat panggilan datang, yang menyampaikan kabar gembira, aku diterima di sebuah perusahaan milik asing (Jepang) di salah satu kota di Jawa Timur. Rasanya seperti ada beban berat yang terangkat dari pundak. Napas lega terhela, dan senyum tipis mengembang di bibir. Aku berhasil!
Menuju Kota Baru, Menyongsong Asa Demi Membahagiakan Orang Tua
Keputusan untuk merantau ke kota lain demi pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Meninggalkan rumah, meninggalkan kenyamanan, dan memulai segalanya dari nol di tempat yang asing, membutuhkan keberanian.
Namun, semangat untuk mandiri dan janji untuk membahagiakan ibu jauh lebih besar daripada ketakutan itu. Dengan tekad yang kuat, aku mempersiapkan segala sesuatunya. Barang-barang seadanya dikemas, dan dengan restu orang tua, aku berangkat menuju babak baru dalam hidupku.