Mentari Ramadan memancarkan kehangatan yang lembut, menyentuh kulit Pak Rais yang keriput.
Di kamar sederhananya, Pak Rais terbaring lemah, tubuhnya digerogoti penyakit yang tak kunjung sembuh. Di usianya yang senja, ia merenungi masa lalu, terutama hubungannya dengan Alex, putra semata wayangnya yang telah lama pergi merantau.
Pak Rais dikenal sebagai sosok yang keras kepala dan egois. Ia selalu ingin menang sendiri, bahkan dalam urusan keluarga. Sifatnya itu membuat Alex merasa terkekang dan akhirnya memilih untuk pergi jauh, mencari kebebasan dan kebahagiaannya sendiri.
Setiap kali Ramadan tiba, kerinduan Pak Rais pada Alex semakin menggebu. Ia selalu berharap putranya akan pulang, namun egonya yang tinggi selalu menghalangi niatnya untuk meminta maaf.
Tahun ini, Ramadan datang dengan membawa kesadaran yang mendalam bagi Pak Rais. Ia merasa ajalnya sudah dekat, dan ia tak ingin pergi dengan membawa penyesalan.
Dengan suara bergetar, Pak Rais memanggil Bu Romlah, tetangganya yang baik hati. "Bu Romlah, tolong bantu saya menulis surat untuk Alex," pintanya dengan nada memohon. Bu Romlah terkejut, tak pernah ia melihat Pak Rais selemah ini.
Dalam surat itu, Pak Rais mencurahkan segala penyesalannya. Ia mengakui kesalahannya, meminta maaf atas segala perbuatannya, dan memohon Alex untuk pulang sebelum terlambat. "Nak, ayah sangat merindukanmu. Ramadan ini, ayah ingin kita berdua saling memaafkan," tulisnya dengan air mata yang menetes di pipi.
Bu Romlah mengirimkan surat itu ke alamat Alex di kota seberang.
Hari-hari berlalu dengan lambat, dan setiap kali suara motor terdengar di jalanan, jantung Pak Rais berdegup kencang, berharap itu adalah Alex.
Di kota seberang, Alex menerima surat dari Bu Romlah. Ia terkejut membaca isi surat itu, tak menyangka ayahnya akan menulis surat seperti itu. Selama ini, Alex selalu memendam rasa rindu pada ayahnya, namun luka masa lalu membuatnya enggan untuk pulang.