Mohon tunggu...
Firman Seponada
Firman Seponada Mohon Tunggu... -

Memegang idealisme itu laksana menggenggam bara api. Tak banyak orang mau melakukannya. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari pelindung telapak agar tak melepuh.....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kartini Pulau Pahawang

21 April 2010   06:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:40 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_123438" align="alignleft" width="220" caption="Iyung dalam lukisan (Dok: zetyahardez.blogspot.com)"][/caption] Yulianti bukan guru biasa. Perempuan kelahiran Tanjungkarang, 17 Juli 1974 ini, rela meninggalkan kehidupan kota yang serba mudah. Dia malah memilih mengabdikan diri di sebuah pulau terpencil: Pahawang. Ini pulau kecil berpenghuni warga hasil pembauran suku Lampung dan Bugis. Untuk mencapai desa pulau itu butuh waktu sekitar 20 menit. Itu kalau naik speed boat dari dermaga Desa Ketapang, Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Sedangkan andai naik perahu motor dari dermaga Gudang Lelang, Telukbetung, Bandar Lampung, harus menghabiskan waktu 2,5 jam. Terbelakang, miskin, dan kumuh. Begitulah gambaran umum kehidupan masyarakat di Desa Pulau Pahawang. Kenyataan itu pula yang mendorong Mitra Bentala pada tahun 2001 mengirim Yulianti, seorang akivisnya, mendampingi warga di sana. LSM lingkungan yang fokus pada isu pesisir itu memilih aktivis perempuannya menetap di pulau itu memang pilihan tepat. Maklum, sekitar 1.664 jiwa penduduk desa ini, 60 persen di antaranya kaum hawa. Sejak itu Yulianti mengorganisasi masyarakat. Forum-forum diskusi dihidupkan untuk membahas dan mencari jalan keluar berbagai permasalahan yang dihadapi warga. Mbak Iyung, begitu Yulianti disapa, sedih melihat keterbelakangan warga Desa Pulau Pahawang. Baik dari sisi ekonomi maupun pendidikan. Dia tergerak membantu. Tetapi, kepada warga dia selalu menekankan perubahan hanya mungkin dilakukan oleh warga sendiri. LSM hanyalah jembatan antara warga, pemerintah, dan donator. [caption id="attachment_123440" align="alignright" width="300" caption="Iyung tanam bakau (Dok: ulun.lampunggech.com)"][/caption] Kecintaan Iyung kepada Pulau Pahawang begitu besar. Sehingga, dia betah tinggal di sana, di pulau yang jauh dari keramaian, tiada listrik dan sarana hiburan. Dia juga memutuskan menikah dengan Suryadi, pemuda desa itu, untuk membuatnya makin terikat pada kehidupan warga Pulau Pahawang. Kini, Iyung dan Suryadi dikaruniai anak perempuan yang cantik, Fathiya Rizqi Suryadi. Di pulau terpencil itu, Iyung sungguh-sungguh total mengabdikan dirinya. Dia tidak hanya gigih mengampanyekan perlunya menjaga kelestarian pulau itu, tetapi juga terjun menjadi guru bagi anak-anak di sana. Dia bersama warga kemudian mendirikan sebuah SD dengan fasilitas seadanya. Yang penting ada tempat belajar baca-tulis bagi anak-anak pulau itu. Iyung mengajar di SD kurang fasilitas itu, tanpa digaji! Tetapi dia gembira melakoninya karena punya mimpi mampu mencetak insan bermutu dari jerih payahnya. Jebolan Politeknik Universitas Lampung Jurusan Perkebunan tahun 1994 ini, cakap mengajar murid-muridnya. Tetapi, bekal pendidikan formal dan kemampuan mendidik itu dianggap pemerintah belum cukup sebagai syarat mengangkat dia menjadi guru PNS. Maka, Iyung kemudian mengambil Akta IV jurusan Biologi di Universitas Lampung. Dia selesaikan program formal kompetensi mengajar itu tahun 2006. Setahun dari itu dia diangkat menjadi PNS, setelah berjuang enam tahun lebih menjadi relawan guru di pulau terpencil. Atas perjuangan Yulianti dan warga, pemerintah memutuskan membangun SMP Terbuka Pahawang. Ini untuk menampung jebolan SD Pulau Pahawang. Lagi-lagi, Yulianti yang harus mengajar di sekolah itu. Tetapi Iyung tidak sendirian lagi mengajar. Sebab, sudah ada beberapa warga dan guru kiriman pemerintah mengawaninya membikin pandai anak-anak di sana. Sebagai guru, Iyung menanamkan kebiasaan positif kepada siswanya. Anak-anak lebih mudah menerima masukan ketimbang orang dewasa, begitu keyakinan Iyung. Di antaranya dengan melibatkan para pelajar SD dalam aksi penanaman kembali bakau di Pulau Pahawang. Dua minggu sekali Yulianti membawa siswanya yang kelas 4 sampai 6, ke pantai. Para bocah ini dilatih mencintai lingkungan, dengan menanam bibit bakau. Ini untuk menyelamatkan hutan bakau di Pulau Pahawang yang dirusak para pencari cacing untuk pakan udang. [caption id="attachment_123444" align="alignleft" width="300" caption="Mangrove tebal di Pulau Pahawang (Dok: Oyos Saroso HN)"][/caption] Belasan pelajar SD Negeri Pulau Pahawang, beramai-ramai turun ke pantai. Masih mengenakan seragam sekolah, mereka terjun ke lumpur untuk menanam benih bakau di sepanjang zona kritis pulau itu. Siswa tampak riang gembira mengikuti pelajaran ekstra itu. Sebab, Yulianti, ibu Guru mereka, pandai mengemas acara menjadi menyenangkan. Mereka tampak riang membersihkan sampah dan bebatuan yang berserakan di lokasi penanaman bibit bakau. Karena dikerjakan sembari menyanyi dan bersenda-gurau, anak-anak itu betah berlama-lama berkotor lumpur. Setelah lama didampingi LSM, kehidupan warga Desa Pulau Pahawang sedikit berubah. Mereka tidak lagi menggunakan bom dan racun untuk menangkap ikan. Kesadaran akan arti pentingnya hutan mangrove juga sudah tumbuh. Berbagai teknik budidaya, baik perikanan maupun pertanian juga mulai digeliatkan warga desa itu. Meskipun demikian, permasalahan masih menggunduk di desa pulau itu. Di antaranya soal pentingnya kesehatan. Banyak warga masih buang hajat di sembarang tempat. Ini kebiasaan lama yang sulit diubah. Hanya sekitar 20 persen warga yang rumahnya memiliki kamar mandi dengan jamban. Dulu, pada tahun 2002, Pemkab Lampung Selatan membangun delapan fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus) untuk 403 keluarga di sini. Di setiap dusun dibangun dua MCK. Sayang, karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan lingkungan, MCK itu akhirnya rusak. Sekarang, fasilitas umum itu tinggal satu yang bisa dipakai. Warga masih menjadikan laut sebagai jamban. Sebagian besar mereka tidak memahami kebiasaan buruk itu menyebabkan penduduk rawan penyakit kulit, diare, dan penyakit lainnya. Kecuali itu, di pulau ini hanya ada satu tenaga kesehatan, bidan desa, yang dikirim Dinas Kesehatan sejak tahun 1998. Hingga kini belum ada tambahan tenaga kesehatan baru. Meskipun demikian, kehidupan warga Desa Pulau Pahawang sudah membaik. Warga tidak ada lagi yang berani menangkap ikan dengan racun dan bom. Mereka juga tidak mau menebangi pohon di tepi pantai dan di Gunung Pahawang. Ini berkat kerja tak kenal pamrih dari para aktivis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun